Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (59)

Minggu, 01 Maret 2020



JAM di layar telepon genggamku menunjukkan angka 02.25. Sudah dini hari! Waktu begitu cepat berlari. Serasa cuma 15 menit kami membuka lapak diskusi. 

Kafe Gedung Meneng sudah lengang. Tak ada lagi pengunjung. Tersisa hanya karyawan dan anak-anak yang biasa tidur di sini.

Maklum KGM adalah "markas" yang terbuka. Siapa saja yang kemalaman dan mau tidur di sini, tinggal pilih yang dirasa nyaman. Mahasiswa yang enggan pulang ke kosannya, boleh berselonjor di KGM. Merekalah yang kini mengelola kafe ini.

Joshua sudah menghabisi empat gelas kopi. Ia menang dua gelas dariku. Sebelum aku terindikasi magh, aku bisa menghabisi empat gelas dalam satu obrolan.

Kami belum beranjak. Lembar-lembar kertas sudah bertumpuk. Itulah bagan yang kamu tulis. Perbagian dengan fokus masing-masing. 

Anak KGM ada yang belum tidur. Aku panggil dia. Pesan 2 gelas ukuran medium ice chocolate late. Sambil tetap merancang. Lumayan tebal buku kami nanti jika sudah dicetak. 

"Kita ingin buku semi novel politik ini tanpa pengantar apa pun. Kita kepas saja. Bagaimana Busy?" 

Aku setuju.

"Paling-paling ada halaman dedikasi. Khusus mereka yang membantu lancarnya proyek buku ini," usulku.

"Juga jangan. Cukup kita beri tanda penghargaan 1 eksemplar," katanya.

"Oke kalau begitu. Boleh juga..."

Pukul 04.30 kami tinggalkan KGM. Kami berpisah di jalan protokol kota ini. Aku pulang. Joshua entah ke mana.

Tapi, kami berjanji pekan depan bertemu lagi. Sama-sama menyerahkan draft tugas masing-masing. Setelah itu kami edit bersama seraya menyusun bagian per bagian. Supaya terjalin benang merah novel kami. 

*

Bab pertama sudah jadi. Aku usul pada Joshua, bab berikut mengangkat figur bos pabrik. Urusan ini kupercayakan pada Joshua. Sebab ia paham sekali soal Madam Liana, yang ke mana-mana kerap mamakai baju tanpa lengan. Sehingga bulu keteknya berkibar-kibar. 

Madam Liana dikenal jago memenangkan pilkada di Distrik Ambarukma dan distrik bagian yang lahannya bisa dikuasai pabriknya. Perempuan bermata sipit ini siap mengucurkan anggaran berkarung-karung dan sembako bertruk-truk.

"Yang penting kamu menang, sayang. Yang penting kamu tak lari dari dekapanku kalau sudah jadi," katanya.

Boneka-boneka Madam Liana akan sama menjawab; "Siap Madam. Siap apa pun. Hamba janji...."

Begitu jawaban yang senada dari para boneka yang didorong jadi kepala distrik dengan sumber dana yang dikeluarkan Madam Liana.

Tidak kecil! Itu sebabnya, tatkala kandidatnya diteror politik uang, Madam siap habis-habisan untuk menyumpal mulut para pengawas, pengadilan, dan sebagainya. Ia juga memberi iming-iming untuk mengembalikan dana yang sudah dipakai lawan politiknya.

"Berapa modalmu terpakai? Madam Liana siap membayar. Asalkan kau tak ikut menuntut usut politik uang. Tak turut memanas-manasi pihak pengadu. Cukup anda diam, atau seolah-olah menyatakan kekalahan dan mengucapkan selamat pada jagoan Madam. Bila perlu iklan ucapan selamat itu Madam yang bayar, bagaimana? Deal?" pesuruh Madam Liana menemui lawan-lawan polotiknya. 

Tentu saja siapa yang tidak mau uangnya dipulangkan? Daripada menerima kekalahan sekaligus modal tak kembali, lebih baik tawaran Madam Liana diterima.

Untuk apa memancing ikan kalau umpan habis, satu ekor ikan pun tak dibawa pulang? Mereka membatin.

Itulah cara Madam Liana memenangkan bonekanya. Sekali ia mengeluarkan uang, pantang tak dapat untung. 

"Politik adalah judi. Jangan punya pikiran kalah dan menang hal biasa. Itu tindakan bodoh! Dalam perjudian abaikan kalah. Dengan cara apa pun, halal atau haram, harus keluar sebagai pemenang. Pecundang hanya milik orang yang tak bermodal dan berpikiran asal maju dalam politik. Bukan itu! Tetapi merebut kemenangan, dan kesempatan itu datang cuma sekali! Ingat itu. Yang tak sepaham dengan pokiran Madam, menyingkir sebelum bertarung. Madam siapkan apa pun kalau kalian kecapean, kurang vitamin. Dan kurang hiburan. Siap Madam bawa ke hiburan," kata Madam Liana di depan jagoan dan tim suksesnya, dari bagian pekerja hingga pemikir. Dari konseptor sampai media. 

Soal pers, tak tanggung-tanggung Madam Liana rekrut pemimpin kuli tinta. Dialah yang mengendalikan setiap informasi, kampanye, hingga membungkam kabar buruk sang kandidat. 

"Buat berita yang baik-baik, yang menyentuh rakyat yang dilakukan kandidat. Sebanyak-banyaknya dan sharing ke berbagai media massa. Juga buat media online yang banyak dengan ragam nama. Ini tigas anda. Madam tak mau baca berita yang miring tentang kandidat kita," pesan Madam kepada Juanda Seprian, pimpinan para wartawan. 

Juanda mengangguk. Meski, dalam hati, ia mengatakan bahwa ini adalah ancaman.

Akal bulus Seprian tiba-tiba muncul cemerlang. Ia perintahkan anak buahnya yang pandai IT agar membuat website. Sepuluh lebih website media bermacam-macam nama.

"Bagus! Bagus!" puji Madam. "Seprian esok Sabtu ikut Madam ya..." sambung Madam Liana.

Seprian diajak ke Jakarta. Selain menerima kucuran dana untuk media, biaya mendatangkan dalang dan artis, juga menerima perempuan cantik menemani di kamar hotel.

Juanda Seprian merasa servis yang surprise. Ia pun giat bekerja. Terbayang kemenangan kandidatnya, terbayang pula proyek-proyek yang bakal dikelolanya. Uang dan uang.

Seprian bisa membangun rumah mewah. Rumah yang dipunyainya di kompleks perumahan, lalu ia kontrakkan. 

Madam Liana tak pernah kalah. Karena itu ia juga tak pernah rugi. Perusahaannya dlindungi. Pajak-pajaknya mendapat "diskon" tidak tercatat. Mendapat kemudahan mencaplok tanah-tanah ulayat maupun milik negara

Setiap mutasi ataupun penetapan jabatan di distrik harus persetujuan Madam. Kalau tidak, dia marah dan segera dianulir. Para pejabat akhirnya tak cuma takut pada kepala distrik, ditambah dengan Madam Liana.

Siapa Madam? 

Perpuan berkulit putih dan mata sipit, keluarganya dekat dengan pusat Kerajaan Cendana. Karena itu pula ia bekerja sama membebaskan lahan kosong dan ulayat, untuk ladang bagi jalannya pabrik metanol. Sampai kini, walau tak lagi dilindungo kerajaan, kukunya tetap menghunjam di pusat kekuasaan. Penguasa anti upeti Madam dekat. 

Madam singel parent. Ia juga belum memiliki momongan. Perkawinannya gagal. Tapi perusahaannya maju pesat. Kabarnya, untuk menyarlurkan keinginan dari hasratnya yang tak bisa ditahan, ia bisa dengan boneka-bonekanya.

Sampai lima halaman di bagian ini, aku sepakat. Joshua pandai meramu realita menjadi fiksi. 

"Coba kau dalami lagi melalui riset, di mana Madam Liana mengadakan pertemuan dengan bonekanya. Tapi aku lebih meyakini dia punya peliharaan. Cuma siapa lelaki itu?" kataku menyela sejenak, setelah kubaca bagian yang ditulis Joshua ini.

"Sudah. Sudah ada. Tenang. Akan kuturunkan di bab berikut..." jawabnya.

Lalu diam. Kami pesan lagi minuman. Kali ini espresso. Kuambil rokok. Setelah terselip di bibir, kubalar ujungmya. Asap pertama kubuang seluruhnya.

Hisapan keempat, Dinda meneleponku. Ia masih di Jambi, dan memberi tahu bahwa ia pulang pada Senin malam.

"Ok Nda. Hati-hati ya di jalan...." kataku.

"Ya Busy. Eh tapi, bsa jemput aku di stasiun? Soalnya subuh sampai, aku khawatir subuh-subuh pulang. Masih sepi pastinya."

"InsyaAllah," jawabku.

"Bisa Busy?" ia mengulang.

"Ya bisa," kataku kemudian.

"Terima kasih ya Busy," kata dia. "Eh lagi di mana? Sama Renakah?" ia menambahkan.

"Ya. Aku bersama Joshua di KGM..." jawabku singkat.

"Johsua?"

"Ya. Kawanku di media. Sekarang dia pemilik website."

"O ok. Sehat selalu ya Busy...."

"Sama-sama Nda."

"O ya lupa Busye. Dua hari lalu aku bertemu Sur. Lalu dia ajak aku makan malam di resto dengan Angsa Duo. Dia..."

"O ya dia cerita. Selamat ya menikmati Kota Jambi," kataku.

"Gak kok. Habis makan malam aku langsung ke hotel. Aku juga bawa kawanku. Dia sendiri dan langsung ke pengipannya..."

Aku tak merespon. Dinda permisi untuk menutup obrolan. Setelah ia kembali mengingatkan.

"Senin malam aku dari Palembang ya. Jangan lupa Selasa subuh ya Busye." (Bersambung)






#isbedy
#paus sastra lampung
#cerita bersambung
#lamban saatra isbedy stiawan zs












LIPSUS