Cari Berita

Breaking News

Pringsewu Kabupaten Layak Anak. Layakkah?

INILAMPUNG
Rabu, 19 Februari 2020
Views

PERTANYAAN pada judul artikel ini mungikin mewakili sebagian besar masyarakat di Kabupaten Pringsewu. 

Betapa tidak, 23 Juli 2019  yang lalu, Kabupaten Pringsewu menerima penghargaan sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA). Penghargaan ini tentu bukan predikat “kaleng-kaleng” karena langsung diberikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kepada Bupati Pringsewu di Makasar.

Bahkan sebagai bentuk optimismenya, Pemda bersama Wakil Gubernur Lampung menggelar deklarasi KLA pada 7 Februari lalu. Para pejabat ini tampak sangat optimis bahwa Kabupaten Pringsewu di Tahun 2020 kembali mendapatkan penghargaan KLA, bahkan ditargetkan meningkat ke level madya dan ditambah Anugerah Parahita Ekapraya, suatu penghargaan bagi para pimpinan dalam komitmennya pada isu kesetaraan gender. 

Program ini tampaknya sangat serius dipersiapkan oleh pemda. Di awal bulan Februari 2020, melalui Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, Pemda menggelar rapat koordinasi percepatan pengembangan Kabupaten Layak Anak (Pringsewukab.go.id, 5 Februari 2020). 

Tentu perlu segera di persiapan karena kita mahfum, penghargaan KLA terjadwal rutin pada tanggal 23 Juli sebagai bagian peringatan Hari Anak Nasional.  

Namun ada ironi, di tengah sibuknya pemda mempersiapkan predikat KLA itu, ternyata masih ditemukan kasus “pencabulan” terhadap anak dibawah umur. Terbaru, pada 16 Februari 2020 jajaran kepolisian di wilayah Kabupaten Pringsewu menangkap dua pelaku atas dua kasus pencabulan, hasil laporan masyarakat. 

Apakah hanya dua kasus ini? Bagaimana anak yang tidak berani melapor? Bagaimana yang tersembunyi dan mungkin masih berlangsung? Tentu kita tidak boleh berprasangka. Mari kita lihat datanya, Pertengahan Tahun 2019 ditemukan 17 kasus masalah sosial (radartanggamus, 25 Juni 2019). 

Bahkan kasus pelecehan seksual dibumi Jejama Secancanan ini menurut Kajari Pringsewu, prosentasenya lebih tinggi 65-70 % dibandingkan kasus pidana umum (Lampost, 5 Maret 2019). Ini data pertengahan Tahun 2019 yang terekspose oleh SKH online. Apakah data itu tidak bertambah? Tentu perlu kajian riset yang lebih mendalam. 

Tetapi saya meyakini, bahwa temuan kasus yang “terekam” dalam pemberitaan itu hanya fenomena gunung es.

Sesungguhnya ada persoalan jauh lebih besar dan kompleks yang belum terlihat. Mengapa? Masalah seksual masih menjadi hal yang sangat “tabu” untuk di perbincangkan dalam budaya masyarakat kita. Belum lagi anggapan sebagai “aib” keluarga, maka masyarakat akan cenderung tertutup. 

Predikat itu Untuk Siapa?
Ketika kita mendengar kata “layak” maka pikiran kita akan mengarah pada suatu keadaan yang pantas baik fisik maupun non fisik. Kabupaten layak anak berarti suatu tempat tinggal yang pantas untuk ditinggali oleh anak-anak. Kepantasan itu tentu akan berkonotasi pada keadaan yang aman, nyaman, ramah, keberpihakan, keadilan, ketersediaan tempat bermain dan sebagainya. 

Esensinya suatu tempat tinggal yang dapat menggembirakan anak-anak, bukan justru mengganggu, mengkhawatirkan dan bahaya bagi anak-anak. Inilah persepsi umum yang hampir dipastikan berkembang ditengah masyarakat ketika mendefinisikan Kabupaten Layak Anak. Dan ini lumrah, karena masyarakat kita cenderung pada hal konkrit-faktual bukan berfikir administratif-birokratik karena memang bukan birokrat. 

Ketika akhir Tahun 2019 ada elemen masyarakat dan mahasiswa sampai menggelar aksi dan mempertanyakan predikat KLA ini, itulah ekspresi kekecewaan karena masih terus ditemukan kasus pelecehan seksual terhadap anak. Masyarakat menganggap tidak ada korelasi antara predikat yang diberikan dengan fakta yang mereka saksikan. 

Apa Sebenarnya Indikator Penilaian Kabupaten Layak Anak? 
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) telah membuat rambu-rambu untuk mengevaluasi aktivitas Kabupaten Layak Anak melalui Permen Nomor 12 Tahun 2011. Terdapat 31 indikator yang terbagi kedalam 6 bagian, satu penguatan kelembagaan dan lima klaster. Jika tidak mampu menerjemahkan Permen 12 Tahun 2011 secara substantif, memang Pemda yang “berkejar” KLA hanya akan berkutat pada aktivitas normatif. 

Gaungnya akan jauh terlihat lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan dan perlindungan terhadap hak anak itu sendiri. Dan rasanya inilah yang sekarang sedang berlangsung di bumi jejama secancanan tercinta ini. Pemerintah lebih sibuk mempersiapkan dokumen penilaian dan “mempercantik fisik” dibandingkan melakukan aktivitas pemberdayaan berbasis masyarakat. 

Maka wajar dalam rakor percepatan pengembangan KLA isu yang dibahas seputar penyiapan Zona Selamat Sekolah (ZSS), Ruang Bermain Ramah Anak dan difabel. Program yang berkaitan langsung dengan Isu-isu pemberdayaan berbasis masyarakat belum menjadi prioritas. Misalnya: pentingnya ketahanan keluarga, seminar parenting berbasis desa dan sebagainya. 

Perkokoh Esensi Tanpa Meninggalkan Eksistensi
Esensi Kabupaten Layak Anak adalah adanya kepastian pemerintah hadir dalam ikhtiar pemberdayaan dan sekaligus melindungi anak dari berbagai ancaman, seperti: kekarasan, keterlantaran, hingga eksploitasi. Kesadaran ini sesungguhnya telah hadir dalam “pikiran” Bapak Bupati. Hal itu terlihat dalam sambutan beliau ketika mencanangkan Pekon Panggung Rejo dan Panggung Rejo Utara sebagai Pekon Layak Anak (Pringsewukab.go.id 7 Maret 2018). Pikiran ini tentu perlu diterjemahkan oleh OPD terkait agar hal yang esensial tidak ditinggalkan dan eksistensinya juga bisa didapatkan. Apa itu yang esensi dan eksistensi? 

Pemerintah dapat berbangga dengan predikat KLA sebagai bentuk eksistensi dan anak-anak dapat terhindar dari para “predator anak” sebagai hal yang sangat esensi atas predikat Kabupaten Layak Anak itu sendiri. Bagaimana caranya? Tentu ruang ini tidak cukup untuk mengulas secara komprehensif.

Setidaknya, sebagai Kabupaten “komunitas” Pringsewu memiliki kekuatan besar untuk mensinergikan seluruh elemen dalam ikhtiar “memerangi” mereka para “predator anak”. Minimal sebagai bentuk komitmen awal Bapak Bupati dapat membuat Perbup yang berorientasi pada ketahanan keluarga. 

Kembalikan Predikat KLA itu pada esensinya, sebab para pemimpin ketika di akhirat kelak tidak akan ditanya berapa predikat yang telah diraih? Tetapi bagaimana ia melindungi orang-orang yang dipimpinnya. Sebagaimana Khalifah Umar Bin Khatab, yang ingin masuk syurga dengan memanggul gandum sendiri ketika mendapati rakyat yang dipimpinnya kelaparan dan hanya bisa memasak batu. 
Semoga para pemimpin negeri ini, kelak termasuk kategori 7 golongan yang akan diberikan naungan di akhirat, karena “berburu” untuk mendapatkan  predikat pemimpi yang adil. 

Dr. Hardi Santosa, M.Pd
Doktor Bidang Bimbingan dan Konseling, Pengamat Sosial

LIPSUS