Cari Berita

Breaking News

Dunia Berbalik

INILAMPUNG
Senin, 30 Maret 2020








Oleh: Dalem Tehang

SUDAH dua pekan ini, Adit tinggal di rumah kakeknya, di Menggala, Tulangbawang. Semula, ia hanya ingin sehari dua saja silaturahmi dan melepas kangen di kampung halaman orangtuanya.


Namun karena mewabahnya virus corona, memaksanya untuk tetap tinggal di rumah sang kakek, sesuai anjuran pemerintah untuk tidak keluar rumah.

Walau tanpa kepastian sampai kapan. Pagi ini, ia sengaja buatkan sendiri minuman kopi untuk sang kakek. Yang tinggal bersama dua pembantu rumah tangga, sepeninggal sang nenek yang tutup usia setahun silam.

Setelah menaruhkan segelas kopi di meja samping sang kakek menikmati suasana pagi yang ceria, Adit menarik kursi. Duduk bersebelahan dengan sang kakek: Sidi Marwan.


"Kenapa kamu mau kost? Kan bisa tetap tinggal di rumah. Itu kan papa kamu yang bangun," kata Sidi Marwan. Memulai obrolan.

"Ya nggak enaklah, Sidi. Mama kan sekarang dengan suami barunya. Bukan dengan papa lagi. Adit risih aja sih," sahut Adit.

"Mestinya, mama kamu yang keluar dari rumah itu setelah dia nikah lagi. Bukan kamu yang ngerasa terusir. Kamu kan anak tunggal dari pernikahan papa dan mama kamu. Yang bener itu, suami baru mama kamu, bawa mama kamu keluar dari rumah itu. Bukan malah keenakan tinggal di rumah yang papa kamu bangun," kata Sidi Marwan.

Ada nada geram pada suaranya.

"Sewajarnya sih emang gitu, Sidi. Tapi peristiwa yang terjadi pada papa dan mama kan bisa dibilang sangat langka di dunia ini. Maka Adit milih segera kost aja. Yang deket kampus. Biar lebih konsentrasi kuliah dan cepet wisuda," ujar Adit.

"Yang kamu maksud peristiwa yang dialami papa dan mama kamu langka itu apa? Sidi nggak pernah tahu ceritanya. Tahu-tahu papa kamu telepon dan bilang kalau sudah pisah dengan mama kamu. Dia minta Sidi untuk merhatiin kamu. Itu aja, nggak ada omongan yang lain," kata Sidi Marwan.

Adit menarik nafas dalam-dalam. Berat batinnya untuk mengisahkan cerita rumah tangga orangtuanya walau kepada kakek sendiri. Sebagai anak tunggal, ia tahu persis perjalanan kehidupan kedua orangtuanya; Umar dan Yanti.

Sidi Marwan tahu, cucu kesayangannya tengah berpikir keras. Menyelaraskan suara hati dan pikirannya untuk mengurai kisah kehidupan orangtuanya atau tidak. Sampai kemudian? Adit bicara: "Sidi mau Adit ceritain kisah papa dan mama nggak? Yang Adit bilang sangat langka terjadi di dunia?"

Sidi Marwan mengangguk. Sambil melepas senyum.

Ia bangga, cucu kesayangannya mampu bersikap setelah mengolah keseimbangan keinginan pikiran dan perasaannya.

Adit pun memulai ceritanya. Papanya, Umar, seorang pengusaha sukses. Mamanya, Yanti, seorang pegawai bank pemerintah yang memiliki jabatan cukup bergengsi. Kehidupan pasangan ini sangat mapan. Rumah mentereng dengan halaman bertaman yang sangat luas.

Memiliki kendaraan-kendaraan mewah. Dan juga usaha kuliner dengan beberapa cabang yang terus berkembang. Sebagai anak tunggal, Adit, terlimpahi dengan materi. Meski setiap ke kampus, ia memilih menggunakan sepeda motor. Mobil pribadinya yang berkelas hanya dibawanya saat kongkow dengan teman-temannya diluar kampus.


Keharmonisan keluarga ini mulai goyah saat hadir wanita lain dalam hidup Umar. Pengusaha sukses yang dikenal dekat dengan kalangan pejabat ini, terbakar api asmara pada sosok Dewi, seorang pegawai BUMN.

Umar dan Dewi terbuai pada indahnya kedekatan mereka. Yang lahir dari pertemuan makan siang di sebuah restoran hotel ternama.

Umar yang diam-diam sudah terpikat pada sosok Dewi, menyiapkan semua menu kesukaan wanita muda itu. Dibumbui dengan sanjungan-sanjungan akan keelokan posturnya, Umar pun mampu menanam simpati di hati Dewi pada pertemuan spesial pertama mereka.

Hubungan berlanjut.

Komunikasi mereka rutin. Saling kirim foto, saling beri kabar kegiatan keseharian masing-masing. Perlahan tapi pasti, hati mereka pun menyatu. Saling membutuhkan. Rona-rona cinta merekah. Mencuat dalam wajah keduanya. Api asmara kian membesar.

 Membakar hasrat batin keduanya. Umar kian jauh dari istri dan anak semata wayangnya. Tak ada lagi makan siang bersama Yanti dan Adit. Yang dulu menjadi kebiasaan mereka. Memanfaatkan waktu di sela kesibukan, untuk tetap menjaga kebersamaan. Makan siang Umar berganti bersama Dewi.  Umar dan Dewi tak terpisahkan lagi.

 Sampai kemudian Umar berniat menikahi Dewi. Meski nikah siri. Dewi yang masih memiliki suami, juga berteguh hati. Menyambut niat Umar untuk menjadi istrinya. Tak peduli walau hanya nikah siri.
Ditemuinya sang suami, Doni, yang tengah menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Kalianda, karena tersangkut kasus narkoba.

Dewi berterusterang pada pria yang telah memberinya dua anak itu akan hubungan terlarangnya selama ini dengan Umar. Doni yang sejak lama telah punya feeling akan perselingkuhan sang istri, juga sadar akan posisi serta keterbatasannya saat ini, tak menghalangi.

Ia menyetujui permintaan Dewi untuk mengakhiri rumah tangga mereka. Gugatan cerai yang diajukan Dewi pun berjalan mulus.

Impiannya bersuamikan Umar, akhirnya terwujud. Mereka menikah siri di sebuah pondok pesantren di wilayah Telukbetung. Mereka menikah siri karena Umar tak berani meminta izin untuk menikah lagi pada Yanti.

Dua tahun Umar memiliki dua istri. Yanti tak pernah tahu ada Dewi dalam kehidupan sang suami. Sampai Umar harus berurusan dengan aparat hukum. Pekerjaan pembangunan jalan yang dikerjakannya, bermasalah. Umar pun ditahan.

Keberadaan Dewi terungkap saat Umar dalam tahanan polisi.

Yanti yang biasanya membesuk Umar pada siang hari sekaligus membawa makan siangnya, datang pagi hari dengan membawa sarapan untuk sang suami. Ternyata telah ada wanita lain disana, yang tengah menyuapi suaminya sarapan.

Tak pelak, terungkaplah semuanya. Umar dan Dewi tak bisa lagi mengelak.
Keesokan harinya, Yanti konsultasi ke pengacara. Menguasakan untuk menggugat cerai. Pecahlah cawan rumah tangga Umar dan Yanti yang telah dibina selama 23 tahun itu.

Umar divonis 5 tahun penjara atas kasus tindak pidana korupsi akibat proyek pembangunan yang dikerjakannya bermasalah. Ia menjalani hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa. Dewi yang masih berstatus istri, hanya seminggu sekali membesuk Umar. Ia disibuki pekerjaan di kantornya dan sering dinas keluar kota.

Adit-lah yang setiap hari datang. Mengkiati waktu dengan jadwal kuliahnya. Untuk terus membesarkan dan menyemangati hati papanya.

Suatu malam, Yanti mengajak Adit bicara. Menyampaikan niatnya akan melepas status janda yang telah dijalani selama satu tahun.

Adit merestui niat sang mama. Ia tahu jika sang mama tetap perlu pria sebagai pendamping hidupnya. Menikahlah Yanti dengan pria bernama Doni.

Selepas akad nikah, Yanti meminta pengertian Adit untuk mereka tetap tinggal di rumah megah yang dulu ditempati bersama Umar, papanya. Sampai Adit nanti berkeluarga.

"Sidi mau tahu siapa Doni, suami mama yang baru itu?" ujar Adit pada sang kakek yang tampak tercenung mendengarkan ceritanya.

Sidi Marwan menggelengkan kepalanya. Adit tersenyum. Sinis berbaur dengan kesedihan.
"Doni suami mama yang baru itu bekas suami Dewi, istri siri papa," kata Adit.

"Kok kamu tahu?" sela Sidi Marwan.
"Papa yang kasih tahu. Waktu Adit tunjukin foto saat mama nikah, papa langsung istighfar. Dia kenal betul kalau laki-laki yang menikah dengan mama itu adalah Doni, bekas suami istri papa yang sekarang," lanjut Adit sambil tersenyum.

"Subhanallah. Kok bisa begini ya cerita kehidupan papa dan mama kamu. Kejadian semacam ini sangat langka. Apa kata papa kamu waktu tahu siapa suami mama kamu yang sekarang," ucap Sidi Marwan.

"Papa cuma bilang: dunia berbalik," kata Adit. Dengan nada getir. (*)



penulis: pemerhati masalah sosial dan budaya, tinggal d Bandarlampung.

LIPSUS