Cari Berita

Breaking News

Geliat Pilkada & Radikalisme

INILAMPUNG
Jumat, 06 Maret 2020

Oleh: Dalem Tehang

SAAT ini,  berbagai kegiatan menyambut pilkada di 8 kabupaten/kota se-Lampung sedang memasuki babak menentukan. Para tokoh yang bakal maju menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, terus menguatkan lobi-lobi politiknya untuk mendapatkan rekomendasi partai atau koalisi partai. Setelah akhir pekan kemarin, calon independen mendaftar di KPU.

Geliat menyambut pilkada serentak 2020 memang sudah terasakan sampai ke akar rumput. Tim sukses masing-masing tokoh yang berhasrat mentas di panggung pesta demokrasi tahun ini, terus merayap. Membangun dan melebarkan jaringan. Berusaha menyentuh semua elemen masyarakat.

Sesungguhnya, semua yang tengah bergeliat di masyarakat saat ini, biasa-biasa saja. Setiap akan ada pilkada, ya memang begitulah. Dan semakin dekat waktu pilkada, intensitasnya akan kian tinggi. 

Apalagi, toh ujung-ujungnya nanti, yang lebih siap secara finansial-lah yang akan menang. Sekuat apapun modal sosial dan modal politik, tetap akan bertekuk lutut di depan modal fulus yang tidak terbatas.

Saya menjadi tergerak untuk "mengusik" soal pilkada, ketika tak satu pun tokoh yang bakal maju, pernah bicara; membahas; dan bersolusi soal radikalisme. Semua terjebak dengan bahasa-bahasa klise; maju pilkada sebagai pengabdian, sebagai perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, memajukan ekonomi rakyat, dan bahasa-bahasa meninabobokkan lainnya.

Kenapa perlu bicara radikalisme? Fakta dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan bahwa Lampung menempati urutan kedua nasional akan bahaya ancaman paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam bahasa lain, Lampung rentan dan darurat penyebaran paham radikalisme dan intoleran. 

Fakta yang diungkap BNPT ini tentu tidak main-main. Itu sebabnya, sudah saatnya seluruh masyarakat Lampung menyeriusi hal ini. Saya tidak tahu pasti, sudah sejauhmana pihak-pihak terkait telah berupaya untuk menangkal perkembangan paham-paham non-Pancasila itu. 

Saya acung jempol ketika di Balai Kampung Segala Mider, Kecamatan Pubian, Lamteng, Minggu (23-3) lalu, digelar Sarasehan Pencegahan Paham Radikalisme dan Intoleran. Sarasehan yang digagas Polres Lamteng dan NII Crisis Center ini membuka mata kita bahwa Lampung dalam kondisi darurat penyebaran paham radikalisme dan intoleran. 

Ken Setiawan, mantan pendiri NII Crisis Center, yang hadir dalam sarasehan itu, terang-terangan mengungkapkan bila Lampung -Lamteng khususnya- saat ini darurat penyebaran paham radikalisme dan intoleran.

Posisi Lampung sebagai pintu gerbang Pulau Sumatera, menurut Ken, menjadi lalu lintas masyarakat dari seluruh penjuru negeri. Karenanya, perkembangan paham radikalisme dan intoleran sangat cepat di masyarakat.

Ken Setiawan menuturkan, para penyebar paham radikalisme dan intoleran mengarah anak-anak muda sebagai korbannya. Hal ini karena kaum muda masih labil dan mudah untuk dipengaruhi dengan pemikiran-pemikiran yang baru. 

Meruntut pada data BNPT dan apa yang diungkap Ken Setiawan, selayaknya masalah perkembangan paham radikalisme dan intoleran yang sangat pesat di masyarakat, menjadi perhatian serius para tokoh yang akan maju di pilkada 2020 ini. Sebab, membangun mental masyarakat yang Pancasilais amat sangat penting dibandingkan dengan program infrastruktur misalnya. 

Dengan posisi urutan kedua nasional sebagai daerah darurat penyebaran radikalisme dan intoleran, sesungguhnya nasionalisme kita sebagai masyarakat Lampung sedang terancam. Hanya, kita tidak sadar akan bahaya itu. Kita juga tidak peka bahwa saat ini timbul berbagai paham yang sedang mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara. Yang mengancam kesatuan dan persatuan masyarakat kita yang majemuk.

Saya berharap, para tokoh yang akan maju pilkada punya konsep yang praktis, efektif, dan efisien untuk menangkal terus merebaknya paham-paham radikalisme dan intoleran. 

Dan arifnya, persoalan ini tidak tenggelam oleh geliat dan gegap gempitanya pilkada. Sebaliknya, momen pilkada ini bisa menjadi ajang menurunkan intensitas penyebaran paham radikalisme dan intoleran di tengah-tengah masyarakat kita. Semoga. (*)

penulis: pemerhati masalah sosial politik, tinggal di Bandarlampung.

LIPSUS