Cari Berita

Breaking News

Konspirasi Wuhan-400

INILAMPUNG
Senin, 16 Maret 2020

KEMARIN, hampir seharian saya kedatangan tamu.  

Teman lama yang sering menjadi karib, ketika kami masih rajin talaqi. Tanpa angin tanpa hujan, tetiba dia bercerita tentang sebuah Novel. 

Ini menarik. Saya memandangnya, tajam. Kening mengernyit, ndlongop.
"Lha, wes edan, po!" Demikian kata yang menjadi ekspresi keterkejutan saya. Sekaligus kebingungan.  

Bagaimana mungkin, seseorang yang saban hari pakai jubah, kemana-mana berpenampilan khas orang arab, berjanggut lebat dan jidatnya hitam itu, yang setiap mengucapkan kata mesti dengan "musti". Juga, pada setiap jeda kalimat  pasti ada kata "Masya Alloh" mendadak bicara soal novel. Dan judulnya, sangat kapir. Yaitu, The Eyes of Darkness karya Dean Koontz.

Dia yang membuat saya, sampai sekarang akhirnya, batal menulis buku karena diancam bakal masuk neraka wel. Dalilnya, saya ingat betul, sekitar 19 tahun lalu, yang dengan fasih membacakan ayat berikut artinya. Tafsir pada ayat Al Quran yang belakangan dia mengakui kalau terjemahan ayat itu, ngawur. 

Ayat itu artinya, bukan nulis buku, tetapi ahli kitab. Tentu, setelah saya tanya ke sana ke mari. 

Momentum itulah saya menemukan kalimat yang tepat. “Potonganmu, hafal Quran gak, ngerti bahasa arab ya serampangan, berani-beraninya ngartikan dan dakwah dengan ayat-ayat suci, ngawur lagi.” 

Ah, masa lalu tetaplah, masa paling indah untuk dirawat. Bukan untuk disesali, terkadang sebagai bahan tertawaan saja.

Kami bermuka-muka dan tanya seputar kabar. Lalu saya ke belakang. Menyedu kopi. 

Sembari mempersilahkan, saya menyeruput kopi. 

Kami melanjutkan, duduk berhadap-hadapan. Di meja, di depan kami, di sela dua cangkir kopi, ada majalah yang memuat judul besar Gerbang Resesi: Corona dan Utang. 

Dia melirik dan berkata cukup samar. “Corona. Subhanallah. Tepat sekali. Ana mau membahas itu dengan antum.”

Nah, novel itu, kata dia, ada tokoh utama namanya Christina Evans. Dibuka dengan kata pertama. Selasa, 30 Desember. Tina melihat anaknya yang berusia 11 tahun. Namanya, Danny. Lalu lisan kearab-araban dari teman saya itu berucap. "But Danny had been dead more than a year." 

Saya yang tidak tahu arti bahasa itu, entah apa benar juga kalimat yang saya tulis itu, kembali ndlongop. Sambil ngowoh. Bersin-bersin.

Dengan lanyah, tamu saya ini menjelaskan kalau artinya, anak Tina, panggilan yang diminta ketika Elliot Stryker menyebut Mrs.Evans itu, sudah mati setahun lalu. Panjang sekali, dia cerita seolah saya masuk ke hubungan emosional antara Tina yang terpukul dengan kesedihan karena Danny meninggal.  

Berkisah tentang pergulatan seorang ibu yang selalu dihantui mimpi karena kehilangan putra kesayangan. Termasuk, saya ikut merasakan ucapan Tina yang ditirukan tamu saya yang paradoks ini.  “Saya tidak peduli pada filosofi dan moral tentang perang biologis itu.” 

Namun, dia terus bercerita seperti pendongeng. Saya ingat epik para pejuang yang kami dengar setiap lepas isya. Rasanya, hadir kembali masa-masa ketika kami masih sering satu majelis mengulas 60 kisah dari sahabat Nabi Muhammad SAW. Terutama bab Abu Ubaidah, yang beberapa hari ini, namanya berslieweran di medsos  sebagai referensi cara gubernur mengahadapi wabah.

Tina terus mengalami mimpi, kata dia. Kalau Danny, anaknya itu, terasa hidup kembali. 

Pernah ada adegan begini, kata dia, Danny masih hidup. Di suatu tempat yang aneh dan Tina berusaha menggapai tangan Danny, lalu petir menggelegar, langit langsung gelap. 

Sembari mencureng dan berdiri, tamu saya menganggkat tangan. Ekspresif, seperti zaman kami masih di suruh maju ke depan kelas, naik meja guru untuk deklamasi puisi.

Menariknya lagi, kata dia, percakapan Dr. Carlton Dombey pada Tina Evans. Soal virus Corona ini, di novel itu namanya Wuhan-400

Bukankah, Corona ini berasal dari Kota Wuhan itu? Juga diungkap South China Morning Post

Tamu saya bertanya. Dan saya tentu, mengangkat kedua bahu sambil menggeleng. Tidak tahu. 

Lalu dia menuturkan, di novel itu, virus mulai menyebar karena ada seorang ilmuwan China, bernama Li Chen. Dia pergi ke Amerika Serikat. Li Chen ini membawa disket yang berisi senjata biologis paling berbahaya di dunia. 

Diberi nama Wuhan-400 karena proses penciptaannya, dikembangkan di laboratorium RDNA, dekat Kota Wuhan dan lewat pengujian yang keempat ratus. 

Model virusnya, mikroorganisme buatan yang bisa membuat kejang. Wuhan-400 ini, di novel itu disebutkan sebagai adalah senjata yang sempurna. Hanya menimpa manusia. Tidak ada makhluk hidup lain yang bisa terpapar. Sifat virus itu seperti Spilis. Wuhan-400 tidak dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia selama lebih dari satu menit, yang berarti tidak dapat mencemari objek secara permanen atau seluruh tempat seperti halnya virus antraks dan mikroorganisme ganas lainnya.

Saya terbatuk. Berdiri mengambil cemilan. “Ini, intip goreng, asli enak, kiriman dari kampung,” kata saya sambil membuka kaleng Biskuit Khong Guan yang tutupnya, sudah mulai karatan. 

Teman saya, merasa terganggu, lalu melanjutkan, secara detil mengucapkan bacaan novel itu. Wuhan-400 akan hilang ketika orang yang terpapar, mati dan suhu tubuhnya turun di bawah 80 derajat Fahrenheit.
 
Parahnya, Wuhan-400 semua orang bisa menjadi agen biologis, dan pembawa infeksi hanya empat jam selama bersentuhan dengan virus. Masa inkubasi yang sangat singkat. Artinya, setelah terinfeksi, tidak ada yang hidup lebih dari dua puluh empat jam. Sebagian besar meninggal dalam dua belas jam.

Wuhan-400 ini, lebih buruk dari virus Ebola di Afrika yang filmnya kita tonton dengan membeli vcd bajakan di Pasar Glodok ketika ramai-ramainya harga udang windu, sangat mahal dan membuat kita, jadi anak muda yang kaya mendadak.

Saya memakan intip goreng. Tamu saya ini terus bercerita. Tingkat pembunuhan Wuhan-400 adalah seratus persen. Tidak ada yang bisa bertahan hidup. Orang China sudah mengujinya kepada para tahanan politik. Para ilmuwan juga belum menemukan antibodi atau antibiotik yang efektif guna melawan virusnya. 

Virus ini, begitu masuk ke tubuh manusia, langsung bermigrasi ke batang otak, dan di sana mulai mengeluarkan racun, menggerogoti jaringan otak. Lalu, bagian otak yang mengontrol semua fungsi otomatis tubuh, mati.

"Sabar-sabar, riko dari tadi nerocos bae! Ini virus corona apa Wuhan-400? Nyata apa fiksi? Ceritamu itu kan dari novel, sini inyong mbok minjem baca."

"Insya Allah. Ana gak punya, masya Allah. Ana juga belum baca bukunya, baru liat dari twitter. Subhanallah."

"Kang," kata saya. 

"Apa, Mas?" 

"Riko, kayak asu!"

Tamu saya itu meringis, lalu menirukan ucapan Danny pada ibunya. "They were bad people. It's all right, Mom. They were real bad people." 

“Asuk, riko ngapalne dialog, apa wis bisa bahasa Inggris?”

“A time to kill and a time to heal, bagus novel  ini kalau dibuat film,” kata tamu saya. Lalu ikut makan intip goreng. (*)

ENDRI Y.
Penggiat Komunitas Gedong Meneng

LIPSUS