AKU BACA LEMBARAN-LEMBARAN KORAN
(Satu Amsal)
aku baca lembaran-lembaran koran. dan pada setiap kolom
kusimak dunia yang terluka oleh bibirmu! bahkan hingga
ke halaman sebelah ada pisaumu bermandi
darah terkapar atau cinta yang diujudkan pada iklanmu
sia-sia membaca rahasia duniamu. dan pada setiap
kolom aku mengukur luas kubur atau kaveling penawaran
atau bahasa sanjungmu. lantas bibirmu, lisptickmu yang
merah merayuku untuk merobek!
kecuali dendam, ya Allah
aku melihat tubuhku tersayat di setiap
lembaran-lembaran koran. tak bergerak,
aku membacanya. aku menyimaknya
aku membaca lautan darah. aku membaca musim-musim
kemarau yang membantai taman bunga. pada setiap kolom
dan halaman anyir bibirmu menusuk nuraniku. tapi
karena bibirmu pula aku kasmaran dan patah hati
1987/isbedy stiawan zs dalam "Kota Cahaya" - Grasindo, Jakarta.
Hidup ini hanya perjalanan. Dari satu terminal ke terminal lainnya. Singgah sesaat di halte. Untuk gurau dan pukau.
Ketika Rena tak pamit ditambah tak lagi berkomunikasi, kuputuskan dia bukan hadir karena dipilih.
Meskipun berat menghapus kenangan bersamanya, selama ini kuyakini hanya memilih dia dari sekian perempuan yang kukenal. Kenyataannya, ia tak sampai ke hatiku sebagai wanita yang terpilih.
Masih membekas dalam benakku, bagaimana Rena dengan keras menentang saat aku menunda kepergiannya ke Bali.
Menurutnya, aku sudah memasuki pribadinya. Sudah berani melarang. Menekannya agar ini dan itu.
Tetapi, Rena pula banyak mendukung kesastrawananku. Ia juga penyayang dan penuh perhatian. Itulah sebabnya, aku lebih merasa nyaman jika bersama Rena.
Ah! Kenapa pula bayangan Rena mengusik pikiranku? Pikiran atau hatiku? Ya. Keduanya. Hati tak mungkin mengingat. Milik pikiranlah itu untuk mengingat. Tetapi pikiran tak akan bekerja, jika hati tidak menyambungkannya.
Begitu sebaliknya. Walaupun kita selalu memercayai hati lebih jujur daripada pikiran. Pikiran culas. Lalu apakah hati tak juga bisa membenci? Mencintai dan membenci adalah wilayah nurani.
Itulah kenapa hati dan pikiran saling bekerja sama. Hati yang bersuara, pikiran yang melogiskan.
Ah, entahlah! Mana yang benar, seperti orang berdebat antara telur dan ayam; mana dulu?
Pastinya, sejak kemarin pikiranku membayang wajah Rena. Senyumnya. Suaranya. Perhatiannya.
Dan, kemarahannya dua pekan lalu. Ketika ia berkeras mau ke Bali. Aku hanya minta dia menunda jadwalnya. Bukan saat itu, namun sekalian meluncurkan novelku.
"Bukankah hanya sepekan lagi? Bisa kan kamu nunda beberapa hari saja?" aku mengusulkan.
"Tidak bisa. Ini aku penting. Lagipula acaramu belum jelas. Sur belum nunjukkan tiket kita. Juga dia sampai sekarang belum mencairkan," sela Rena.
"Oke oke. Silakan kalau kamu pergi juga, aku gak nahan. Oke oke. Pergilah kamu. Lupakan masalah kita!" kataku. Aku marah.
Ia lebih emosi. Gelas pun dia lempar dan berserpihan di lantai. Rena menyeret kopernya dengan kasar. Menuju mobilnya. Ia tutup pintu mobil dengan membanting. Gerbang dibiarkan terbuka lebar.
Aku juga mengeluarkan mobil. Setelah kukunci pintu rumah dan gerbang. Kutinggalkan rumah Rena tanpa kusisalan barang milikku. Kunci gerbang kutitip pada ketua RT.
Sejak pertengkaran itu, aku tak lagi mendatangi rumah Rena. Komunikasi pun tak juga. Sesekali kubuka kontak WA Rena, dalam keadaan off. Status terakhir adalah saat launching Kedai Gedung Meneng.
Rena tidak berkabar.
Dinda membawakan bunga mekar.
Nita bersama kekasih barunya jauh berlayar.
Dan Sani, dan Yuli, Angraini sekelebat hadir lalu tak membekas.
Hanya Santi. Ia kerap berkabar, walau hanya bertanya: Bang Busy, apa kabar?"
Itulah orang-orang yang tak bisa kulupakan, karena sudah melekat di hatiku. Tentu kawan-kawan lainnya.
Sur, kawan semasa kuliah, seolah datang dengan sayap malaikatnya. Ia mengangkatku terbang ketika kehidupanku lagi terpuruk. Dari perusahaan media cetak, aku dan 80-an karyawan keluar. Jajaran redaksi versus bagian perusahaan. Soal keadilan. Soal hal sama-sama menganggap prinsif. Akhirnya kami yang eksodus membuat perusahan media cetak baru. Hanya setahun lebih bisa bertahan. Saat itulah aku bertemu Sur dalam waktu tak sengaja. Dia mengajakku makan malam. Ia menawarkan proyek menulis novel dari dunia kafe yang tengah booming di setiap kota.
Honornya menggiurkan. Aku bisa membeli mobil second. Lalu mengantar aku berkenalan dengan para pengunjung kafe. Salah duanya: Rena dan Dinda.
Kedua perempuan ini, begitu melekat. Mereka terlalu dekat dalam perjalananku melakukan survey dan menuangkan ke dalam novelku. Bahkan, yang memberi usul dan menyepakati soal ilustrasi sampul. Termasuk bentuk warna hurup.
Kini seorang sudah tak lagi berkabar. Dialah Rena.
(Bersambung)
#isbedy
#paus sastra lampung
#cerita bersambung
#lamban sastra isbedy stiawan zs