Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (61)

Rabu, 04 Maret 2020







USIAKU bukan lagi muda. Sudah angka empat. Bukan lagi untuk memilih, tapi mendapatkan yang dipilih oleh hati. Hanya hati yang tak pernah ingkar. 

Dari rahim ibu, aku lahir. Di Enggal. Hari Jumat selepas muslim keluar masjid. Tanggal 5, bulan Juni, dan tahun 1977. Aku dibesarkan dalam lingkungan keras. Anak-anak mudanya adalah pemadat, penjudi, dan penjahat. 

Setiap hari digelar perjudian persis di bawah jendela samping rumahku. Dari kecil aku melihat penjudi dan penjahat berkumpul. Membuat beberapa lingkaran. Di situ pula, mereka "menggambar" apa yang hendak dijarah. Aku kerap juga mengintip dari jendela, mereka bertikai. Itu kalau tersinggung, kalah judi, ataupun pembagian hasil pencurian tak imbang.

Pisau! Itu senjata utama mereka. Mencacah paha hal biasa. Merobek pipi sampai terkuak giginya sering kusaksikan. Tetapi tanpa air mata. Yang terluka dibawa ke puskesmas atau rumah sakit. Sementara yang menang masih bisa keluyuran. 

Ketika pemberlakuan Petrus (penembak misterius) di seluruh tanah air pada era Orde Baru, para tetanggaku itu satu persatu diangkut dari rumahnya pada malam hari. Esok subuh mayatnya diambil keluarga dari kawasan Tanjungbintang. Atau didor saat berkeliaran. Mereka yang bertatoo jadi target pertama dihilangkan.

Aku bukan penjudi atau pencuri. Tapi sebagai anak dekat pinggiran rel dan kawasan penjahat, masa remajaku tak bisa bebas sebagai anak baik-baik dan rumahan.

Aku menanam pohon ganja di kamar mandi. Setiap daun-daunnya cukup diambil, kupotong dan iris-iris kecil. Lalu kujemur di atas genting. Sampai kering dan siap kulinting. Selain melinting, aku pun suka minuman keras; vigour dioplos bir, dioplos spritus, arak yang dilabeli "obat' disingkat AO, dan lainnya. Atau diam-diam memesan pil vallium 5 di tukang obat pasar tengah.

Dulu 'madat' belum masuk kategori narkoba. Minuman keras hingga mabuk kacau tak sampai ke tangan polisi. Kami cukup menangani sendiri: dimasukkan ke bawah kursi lalu kami duduki. Kalau pemabuknya sulit diatasi, digendong lalu jeburkan di got kecil berair hitam yang tak mengalir. 

Bagi pengganja, juga mabuknya 'reseh' kami kerjai dengan cerita-cerita lucu. Sampai ia tertawa terpingkal-pingkal. Juga kami karang cerita menakutkan. Ia akan ketakutan tak alang.

Aku ingat bagaimana kami menenggelamkan tubuh Beni ke got. Atau Deka yang kami kerangkeng di bawah kursi. Semakin dia berontak, kian banyak yang menduduki kursi. Juga Cokro yang sehari-harinya dingin dan jarang bersuara, ketika tenggen ia tersenyum-senyum mirip sakit jiwa. Kepalanya manggut-manggut layaknya bebek. Sepertinya kami sedang menyaksikan pelawak!

Itu masa remaja. Saat aku di bangku SMP dan kelas 2 SMA. Masa lalu yang tidak boleh berulang. Kalau kini aku masih mengganja, sama saja pembodohan diri sendiri. Sama artinya aku mundur dua puluhan tahun ke belakang. Kenakalan anak-anak yang tertunda.

Dan, ketika aku tertarik dengan kesenian, aku bergabung dengan kelompok teater. Aku belajar memerankan tokoh lain. Aku masuk ke karakter rekaan pengarang dan sutradara. Saat itu aku masih mengelinting daun ganja ataupun biji kecubung. Kubawa ke dunia teater. Kuracuni yang bisa kulumpuhkan. 

Tetapi aku sadar. Tak boleh aku tergantung dengan barang itu. Aku harus memainkan karakter dari dalam diri yang dibangun oleh keinginan naskah. Bukan palsu karena ganja atau miras. 
 
Hatiku berkata, hanya pengecut dan takut jadi pecundang yang menggantungkan diri pada barang itu. Aku seakan hebat di panggung kalau sudah mengisap rokok linting itu. Akhirnya kutinggalkan. Dengan sangat mudah.

Kutatap lama langit-langit kamar. Bagaikan lembaran-lembaran kertas yang bercerita. Di sana tampak perjalanan hidupku. Sebuah novel berhalaman amat tebal.

Ada kisah romantis, sakit hati, dendam, cinta, ingkar, setia, juga perselingkuhan.

Aku ibaratkan itu semua layaknya asbak rokok. Benda itu menerima setiap puntung rokok. Diam namun melihar tiap peristiwa. 

Seperti pula lembaran-lembaran koran yang saban pagi kubaca darah yang mengucur, hoax, dan dendam yang bertubi. Kebohongan tak ampun.

AKU BACA LEMBARAN-LEMBARAN KORAN  
(Satu Amsal)

aku baca lembaran-lembaran koran. dan pada setiap kolom

kusimak dunia yang terluka oleh bibirmu! bahkan hingga

ke halaman sebelah ada pisaumu bermandi

darah terkapar atau cinta yang diujudkan pada iklanmu

sia-sia membaca rahasia duniamu. dan pada setiap

kolom aku mengukur luas kubur atau kaveling penawaran

atau bahasa sanjungmu. lantas bibirmu, lisptickmu yang

merah merayuku untuk merobek!

kecuali dendam, ya Allah

aku melihat tubuhku tersayat di setiap

lembaran-lembaran koran. tak bergerak,

aku membacanya. aku menyimaknya

aku membaca lautan darah. aku membaca musim-musim

kemarau yang membantai taman bunga. pada setiap kolom

dan halaman anyir bibirmu menusuk nuraniku. tapi

karena bibirmu pula aku kasmaran dan patah hati

1987/isbedy stiawan zs dalam "Kota Cahaya" - Grasindo, Jakarta.


Hidup ini hanya perjalanan. Dari satu terminal ke terminal lainnya. Singgah sesaat di halte. Untuk gurau dan pukau.

Ketika Rena tak pamit ditambah tak lagi berkomunikasi, kuputuskan dia bukan hadir karena dipilih. 

Meskipun berat menghapus kenangan bersamanya, selama ini kuyakini hanya memilih dia dari sekian perempuan yang kukenal. Kenyataannya, ia tak sampai ke hatiku sebagai wanita yang terpilih.

Masih membekas dalam benakku, bagaimana Rena dengan keras menentang saat aku menunda kepergiannya ke Bali. 

Menurutnya, aku sudah memasuki pribadinya. Sudah berani melarang. Menekannya agar ini dan itu. 

Tetapi, Rena pula banyak mendukung kesastrawananku. Ia juga penyayang dan penuh perhatian. Itulah sebabnya, aku lebih merasa nyaman jika bersama Rena. 

Ah! Kenapa pula bayangan Rena mengusik pikiranku? Pikiran atau hatiku? Ya. Keduanya. Hati tak mungkin mengingat. Milik pikiranlah itu untuk mengingat. Tetapi pikiran tak akan bekerja, jika hati tidak menyambungkannya. 

Begitu sebaliknya. Walaupun kita selalu memercayai hati lebih jujur daripada pikiran. Pikiran culas. Lalu apakah hati tak juga bisa membenci? Mencintai dan membenci adalah wilayah nurani.

Itulah kenapa hati dan pikiran saling bekerja sama. Hati yang bersuara, pikiran yang melogiskan. 

Ah, entahlah! Mana yang benar, seperti orang berdebat antara telur dan ayam; mana dulu? 

Pastinya, sejak kemarin pikiranku membayang wajah Rena. Senyumnya. Suaranya. Perhatiannya.

Dan, kemarahannya dua pekan lalu. Ketika ia berkeras mau ke Bali. Aku hanya minta dia menunda jadwalnya. Bukan saat itu, namun sekalian meluncurkan novelku.

"Bukankah hanya sepekan lagi? Bisa kan kamu nunda beberapa hari saja?" aku mengusulkan.

"Tidak bisa. Ini aku penting. Lagipula acaramu belum jelas. Sur belum nunjukkan tiket kita. Juga dia sampai sekarang belum mencairkan," sela Rena.

"Oke oke. Silakan kalau kamu pergi juga, aku gak nahan. Oke oke. Pergilah kamu. Lupakan masalah kita!" kataku. Aku marah.

Ia lebih emosi. Gelas pun dia lempar dan berserpihan di lantai. Rena menyeret kopernya dengan kasar. Menuju mobilnya. Ia tutup pintu mobil dengan membanting. Gerbang dibiarkan terbuka lebar.

Aku juga mengeluarkan mobil. Setelah kukunci pintu rumah dan gerbang. Kutinggalkan rumah Rena tanpa kusisalan barang milikku. Kunci gerbang kutitip pada ketua RT. 

Sejak pertengkaran itu, aku tak lagi mendatangi rumah Rena. Komunikasi pun tak juga. Sesekali kubuka kontak WA Rena, dalam keadaan off. Status terakhir adalah saat launching Kedai Gedung Meneng.

Rena tidak berkabar.

Dinda membawakan bunga mekar.

Nita bersama kekasih barunya jauh berlayar.

Dan Sani, dan Yuli, Angraini sekelebat hadir lalu tak membekas.

Hanya Santi. Ia kerap berkabar, walau hanya bertanya: Bang Busy, apa kabar?"

Itulah orang-orang yang tak bisa kulupakan, karena sudah melekat di hatiku. Tentu kawan-kawan lainnya.

Sur, kawan semasa kuliah, seolah datang dengan sayap malaikatnya. Ia mengangkatku terbang ketika kehidupanku lagi terpuruk. Dari perusahaan media cetak, aku dan 80-an karyawan keluar. Jajaran redaksi versus bagian perusahaan. Soal keadilan. Soal hal sama-sama menganggap prinsif. Akhirnya kami yang eksodus membuat perusahan media cetak baru. Hanya setahun lebih bisa bertahan. Saat itulah aku bertemu Sur dalam waktu tak sengaja. Dia mengajakku makan malam. Ia menawarkan proyek menulis novel dari dunia kafe yang tengah booming di setiap kota.

Honornya menggiurkan. Aku bisa membeli mobil second. Lalu mengantar aku berkenalan dengan para pengunjung kafe. Salah duanya: Rena dan Dinda.

Kedua perempuan ini, begitu melekat. Mereka terlalu dekat dalam perjalananku melakukan survey dan menuangkan ke dalam novelku. Bahkan, yang memberi usul dan menyepakati soal ilustrasi sampul. Termasuk bentuk warna hurup. 

Kini seorang sudah tak lagi berkabar. Dialah Rena.


(Bersambung)


#isbedy

#paus sastra lampung

#cerita bersambung

#lamban sastra isbedy stiawan zs





 









LIPSUS