(63)
HAMPIR saja kucandai perempuan di depanku yang hendak membuka pintu Kafe Marley, senja ini. Kukira ia Rena. Tak ada yang dibuang sedikitpun kemiripannya.
Aku sadar kalau perempuan ini bukan Rena, ada pada hidung. Perempuan ini sedikit saja kurang mancung batangnya. Ketika ia menoleh ke belakang. Aku berada 15 centi meter di punggungnya. Sangat jelas wajahnya. Hidung, bibir, kening, dan pipinya.
Alamak!
Dia tersenyum padaku. Hanya sekilas lalu masuki ruang depan Marley. Ia memberi salam pada kasir, menuju ruang belakang. Duduk di kursi dan di belaiangnya sebuah tulisan karya Bob Marley.
Apakah ia keluarga Rena? Misalnya adik bungsu yang pernah diceritakan dalam surelnya?
Aku memilih kursi dan meja yang satu garis di depannya. Aku ingin menikmati wajahnya yang bagai kembaran Rena. Dalam pikiranku, andai perempuan itu benar-benar Rena, aku akan mendekat dan kupeluk ia seketat-ketatnya agar tak lari lagi.
Dua kali dalam hidupku ditinggal perempuan tanpa kejelasan. Dulu Dinda. Sekarang Rena.
Kenapa pula dua wanita itu menggunakan huruf "a" di akhir namanya? Apakah karena sama itu, watak mereka menjadi sama pula? Kucari-cari, kucocok-cokokkan, tentang "a" pada akhir nama mereka.
Huruf "a" pada urutan pertama dari alfabet. Artinya ia diutamakan. Meski lainnya juga diperlukan. Rasnya huruf awal dari himpunan abjad ini, paling banyak dipakai. Sepetri alief dalam bahasa Arab maupun Alquran. Ia ditempatkan pertama sebelum ba ta tsa dan seterusnya. Alief juga dipakai di awal penyebutan Tuhan, yakni Allah. Kemudian pada dua kalimat syahadat, dimualai dengan huruf alief alias "a". Sementara Muhammad, rasul Allah, dalam kitab suci disebut dengan nama Ahmad. Artinya "a" juga sebagai awal dari nama Kekasih Allah tersebut.
Lalu, kenapa Rena dan Dinda memggunakan huruf itu di akhir namanya? Boleh jadi kedua orang tuanya atau yang memberi nama berpandangan dan menginginkan, keutamaan dan kemuilaan diraih di akhir bukan awal. Itu dibarengi dengan usaha dan perjuangan.
Usaha dan berjuang; kata kunci bagi manusia. Juga Dinda dan Rena. Juga aku dan kau. Keduanya sedang berjuang dan berusaha untuk menjadi manusia baik, diutamakan oleh keluarga, kawan, dan kekasih.
Ah! Kenapa pula aku mereka-reka soal huruf dalam nama seseorang? Aku bukan paranormal. Apalagi dukun yang bisa menerawang sesuatu yang misterius. Sesuatu yang ada dalam genggaman Allah semata.
Dan, perempuan di depanku seperti gelisah. Ia sudah menghabiskan enam batang rokok, padahal ia di kursi itu belum genap 60 menit. Dibanding dengan puntung rokokku di asbak, baru 2 batang. Perokok seriuskah ia? Atau karena desakan masalah dalam dirinya.
Aku akan menghabisi berbatang-batang rokok jika sedang kalut, emosi, bertengkar, dan mendapat tekanan. Bahkan pernah sebungkus hanya 120 menit. Cuma 2 jam. Sungguh memboroskan risiko dari emosi itu!
Tampak ia begitu gelisah. Jari-jemarinya bergerak dan brgetar. Untuk rokok kedelapan, korek apinya tak bisa menyalakan api. Berkali ia berupaya menghidupkan mancis di tangan kanannya, namun tak pula mengeluarkan api.
Gemas. Korek api itu dia lempar jauh. Matanya tertuju ke mejaku. Aku sedang memegang Zippo dan siap menyalakan rokok yang terselip di bibirku.
Ia tersenyum. Berdiri. Ingin menyambangi mejaku. Aku beranjal lebih dulu dan menghidupkan Zippo untuknya.
"Terima kasih ya mas," ujar dia. "Sendiri?" sambungnya.
Aku mengangguk.
"Kamu sendirian juga? Mana kawan atau abangnya..." balasku.
"Ya saya sendiri. Pikiran saya sedang kacau. Kalut. Oh maaf seharusnya tak berkata begitu," katanya. Ia sadar tak elok bicara masalah pribadi dengan seseorang yang baru dikenal. "Mau temani ngobrol, pindah ke sini, maksudku."
"Oke oke. Siapa tahu ada manfaatnya, minimal informasi dan atau apalah," kataku. Segera kupindahkan minuman dan makanan ringanku dari mejaku ke mejanya.
"Kamu mau pesan apa? Makan? Atau....." aku menawarkan padanya.
"Bagaimana roti bakar dua porsi? Kalau aku lapar aku pesan nasi nanti" katanya.
"Nasi pakai lauk...." aku bercanda.
"Tentu!" balasnya cepat. Tertawa.
"O ya nama mas siapa, boleh aku tahu? Kalau aku, Mericrhist," imbuh dia.
"Aku Busye.. "
"Hanya segitu?"
"Ada. Tapi cukup itu saja..."
"Busye Jatimulyono... aduh, benar tak ya?" Meri menerka-nerka. Dari wajahnya ia merasa familiar dengan namaku, atau pernah mendengar.
"Sebentar," katanya segera. Ia membuka layar gawainya. Masuk ke google. Memasukkan nama Busye Jatimulyono. "Yeah! Mas kan yang pengarang itu? Sastrawan terkenal itu kan?"
Aku hanya melenpar senyum.
"Aku bahagia bisa bertemu langsung dengan mas Busye. Benar kata mas tadi, siapa tahu ada manfaatnya. Ini lebih dari itu, berkah. Rezeki. Bagai mendapat durian runtuh."
"Gak nyangka banget bisa ketemu orangnya. Di depanku malah," katanya riang. "Mas mau tahu, pengarang favoritku itu mas Busye," ia melanjutkan.
Kemudian menyebut beberapa sastrawan, seperti Pramoedya Ananta Toer, Boris Pasternak, Mohammad Iqbal, Iwan Simatupang, Sapardi, Sutardji, Rendra, Abdul Hadi, dan Widji.
Aku mengangguk-angguk. Tak lupa kutambah suara decak-decak.
Ia bercerita, sejak SMP ia sudah sering menjuarai lomba baca dan cipta puisi dan cerpen. Pada SMA pernah memenangkan juara pertama FLSN tingkat Nasional.
"Aku sempat kuliah di jurusan sastra Rusia, tapi gak selesai. Tak ada biaya," ujarnya terkesan sedih.
Kemudian ia bekerja di toko buku. Di situ ia melahap buku-buku sastra dan bisnis. Mungkin orang pertama setiap buku baru masuk ke toko itu. Sikap nakalnya, merobek bungkus plastik buku. Lalu dibaca di antara rak. Atau ia bawa ke ruang kerja. Sore atau esoknya disusun kembali di rak buku.
Untuk kenakalannya, ia pernah ketahuan atasannya. Tak dihukum, hanya harus membayar buku di tangannya.
Menyesal?
"Tidak tu. Saya siap risiko, bahkan dikeluarkan. Ilmu itu kan mahal. Informasi itu tak gratis," jelas Meri.
"Kamu masih bekerja di toko buku itu?"
Ia menggeleng.
"Dari ilmu baca buku-buku bisnis, saya kini membuka toko buku. Di jalan protokol. Toko buku terbesar dan mewah, itulah milikku. Maka aku sering membaca buku-buku karya Mas Busye. Puisi paling kusuka," ia menjawab sekaligus memperjelas.
"Kenapa kamu suka puisi-puisiku?" Aku memancing.
"Puisi aku lirik aku suka. Bahasanya lancar, penuh simbol, maknanya dalam. Mensugesti, menyihir. Kok bisa ya? Pendek kata, bisa membuat pembaca 'klepek-klepek'," lanjutnya seraya tertawa.
Aku turut tersenyum.
Merichris kemudian menawarkan agar novelku yang segera terbit, dititip juga di toko bukunya.
"Aku bayar sebelum laku. Bukan konsinyasi. 50-50. Mau?" katanya.
"Oke. Langsung kuterima tawaranmu," jawabku sepontan.
Kami meretas birokrasi yang panjang. Mengabaikan peran distributor yang selama ini mematok 50 persen, bahkan lebih dari harga jual.
"Kapitalis!" desisku.
"Begitulah bisnis. Yang kuat bisa mengintimidasi yang kecil. Bisa memainkan pasar," sambut dia.
Aku tak respon.
Ingin kuninati roti bakar dilimuri coklat dan keju. Lalu berbincang. Akrab. Familiar. Sesekali diselingi humor dan sedikit bubu seksual.
Itulah hidup. Tetapi yang membuatku betah -- tidak menjemukan -- bersama Merichrist adalah karena dia sangat mirip Rena. Bahkan untuk intonasi dan gerak bibir dan mata saat berbicara. Seakan tak terlihat perbedaan.
Apakah Meri kembaran Rena? Ejawantah dari inner perempuan yang pernah singgah dalam hidupku?
Entahlah.
Sejenak hening.
Setelah melumat sebatang rokok lagi di asbak, Meri membuka percakapan.
"Kapan saya bisa terima novel terbaru mas Busye. Sementara 20 eksemplar saja dulu. Kalau penjualan bagus saya minta lagi. Saya langsung bayar, bukan konsinyasi..."
Aku berterima kasih pada Meri untuk tawaran yang menarik. Ia hanya ingin membantu penulis. Tawaran pertemanan, lebih tepatnya.
"O ya mas Busy, sebetulnya saya juga banyak menulis. Ya seperti puisi, tapi entah bagus apa tidak," katanya setelah tanpa percakapan.
"O ya? Coba aku lihat."
"Bagusnya baca dan kasih saran..." sela Meri untuk meluruskan apa yang kukatakan.
"Ok aku ralat. Aku siap membacanya. Kirim saja ke emailku atau WA," ujarku.
"Boleh aku minta?"
"Siap."
Aku beri email dan dan nomor WA-ku padanya. Tak butuh 5 menit, puisi-puisinya masuk ke gawaiku.
"Malam nanti kubaca di rumah ya?" ucapku.
"Tentu. Jadi tak mengganggu kita ngobrol. Hehe..."
Seperti kehabisan bahan yang dibincangkan, kami pun diam. Iseng-iseng kubuka kirikan Meri. Selintas kunikmati untaian kata-kata dalam tulisannya.
Curhat. Masih belum disebut puisi. Pemilihan kata yang kurang gereget. Bahkan bergaya pujangga lama.
Kalimat itu hanya ada dalam pikiranku. Belum waktunya sekarang kukomentari. Perlu pengamatan lebih dalam lagi. Harus dinarasikan kelemahan dan kelebihan jika ada. Dan, perlu ada pertemuan berikut.
(Bersambung)
#isbedy stiawan zs
#paus sastra lampung
#cerita bersambung
#lamban sastra isbedy stiawan zs