Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (SELESAI)

Jumat, 13 Maret 2020





ini mimpiku; 

bidadari cantik
menciumku. mengajak
susuri pantai, kunikmati 
jilatan ombak. pasirpasir 
berbisik; dirindui laut

cinta kadang datang 
bagai angin, dan pergi
serupa gelombang
meninggalkan jejak kaki
lalu ditelan kembali

kadang serupa rumahrumahan
di pasirpasir pantai sesaat
tegak, tapi berserpihan
dihantam air datang

dan aku akan menjaga
merawat cinta sebagai karang
biarkan pecah
namun yang dicita tetap gelora

sampai padamu adalah kidungnya
: kekasih




MIMPIKU aneh sekali. Tidak seperti biasa, ini kali seakan terjadi. Aku ada di dunia nyata. Semua peristiwa benderang. Tiada kabut. Atau serupa layar televisi yang dikerubungi semut lantaran sinyal. 

Rena mengajakku ke bibir dermaga. Ia menggamit tanganku. Kami berpegangan. Rambut sebahunya terurai dan melambai-lambai ditiup angin laut. 

Dia mengajakku makin di ujung dermaga. Angin terasa makin kencang. Ombak kian terdengar gemuruh. Tubuh kami seperti diombang-ambing. Diguncang-guncang.

"Kamu ke mana kita? Maksudku kau mau ajak aku ke mana?" tanyaku tergagap-gagap.

Aku ngeri. Benar-benar takut. Mulai terasa keringat mengucur. Sebesar beras. Dingin menyusuri kulitku. 

Aku pandangi Rena penuh harap agar ia membawaku ke pantai atau daratan. Bukan melangkah jauh mendekati bibir dermaga. Perahu-perahu yang terikat di belakang kami. Kini hanya hamparan laut biru. Teramat biru. Langit juga biru dan sedikit polesan putih. 

Aku gelisah. Cemas. Bagai anak muda yang mabuk barang memabukkan. Setiap aku melangkahkan kaki, tiap itu pula aku dicekam cemas. Entahlah. Aku tak bisa menggambarkan dengam lukisa  atau menjelaskan dengan kata-kata tentan gelisah dan kecemasanku saat ini.

Ia terus memegang tanganku.

"Rena. Kau tak mabuk kan? Kau masih bisa berkata toh?" kataku lagi.

Ia mengangguk.

"Aku lagi tak minum atau mengisap. Aku sadar. Buktinya aku bisa ngomong ini kan?"

"Lalu kau mau bawa aku ke mana?"

"Ke laut lepas. Pantai tak cocok buatmu."

Diam sejenak. 

"Kamu pantasnya berada di laut. Kau bisa pulang ke pantai jika sanggup berenang atau mampu meraih perahu," lanjut dia.

"Apa maksudmu, Rena? Aku tak ngerti," kataku. Benar-benar tak paham.

"Kamu tak akan pernah mengerti. Tak akan. Kamu asyik dengan dirimu. Dengan permainan imajinasimu. Makanya...."

Ia diam sejenak.

"Kalau kesanggupan bisa kita tunjukkan kapan saja. Kepercayaan amatlah mahal, maka sekali saja cukup. Namun kita begitu sulit berbuat. Sulit berbuat sesuatu agar orang lain percaya. Kamu tak pernah mau menjaga kepercayaanku," ujar Rena kemudian.

Aku makin tak mengerti. Seakan aku dibawanya ke labirin amat gelap. Aku bagai disodorkan kata filosofis. Tetapi apakah benar ia sedang bicara filsafat?

"Kamu boleh membela diri. Kenyataannya kamu tak bisa menghargai kepercayaanku," tekan dia lagi. Kali ini suaranya tinggi. Keras.

"Soal apa Rena?" desakku.

Aku sudah tak tahan dipermainkan ucapannya yang seolah filosofis, namun sejatinya tak bermakna. Tanpa nyawa.

"Hei, seharusnya aku yang mengatakan itu padamu. Kamu yang tak menghormati kepercayaanku. Sudah terlalu banyak aku memercayaimu. Aku tak pernah bertanya apa yang kamu lakukan saat aku tak ada," ujarku. Aku benar-benar pitam.

Lanjutku. "Aku tak pernah menanyakan siapa yang meneleponmu atau kau menelepon siapa. Termasuk dengan siapa kau ber-WA, video call melalui aplikasi WA. Kau pikir aku bodoh, kau yang biasa tak berkacamata saat memegang gawai. Tapi beberapa kali kupergoki kamu di pojok, tiduran, berkacamata indahmu ber-VC. Coba dengan siapa lagi kalau bukan dengan orang spesial?" 

Aku sudah kehabisan sabar. Tapi ia justru semakin emosi. Tak terima dengan ucapanku. 

Dia hendak mendorong tubuhku ke laut  Aku mengelak. Menepis tubuhnya. 

Aku bertahan. Ini kulakukan agar aku tak terjerembab, dan Rena juga tak terlempar ke laut. Malam kelam. Laut semakin hitam.

Angin sangat kencang. Gelombang besar, bergulung-gulung. Setinggi 2 meter. Pecahannya mengenai kaki kami. Sebagian celanaku sudah kuyup. 

Rena kembali mendorongku. Aku bertahan. Berteriak untuk menghentikannya.

"Rena! Sadar. Ini bahaya. Lautan. Bisa mati kita! Sabar...." 

"Bodo! Kamu memang layak mati! Gak ada yang bisa diambil dari kamu. Sampah!" balas dia.

Lalu dia mendorongku. Sekuat tenaganya. Ajaib, berbalik! Rena tersungkur lalu tertelan ombak yang datang bersamaan tubuhnya jatuh ke air.

"Renaaaaaa........."

Suaraku tertelan oleh debur ombak. Sesaat menggema. Dalam keheningan malam. Terkulai. Lalu aku duduk di atas dua kakiku. Seperti tahiyat.

Aku terbangun. Kuusap wajahku tiga kali. Lalu tidur lagi.

Entah berapa lama dari lelapku, mimpi datang. Dinda tersenyum. Memegang bahuku. Mengajakku berdiri.

"Sudahlah Busye, yang pergi belum tentu kembali. Kalaupun pulang tentu sudah lain. Yang hilang mungkin tak lagi ditemukan, kalaupun ditemukan sudah pula ada yang beda," pesan Dinda.

Aku hanya diam. Tetapi wajahku tertuju pada wajahnya. Perempuan di depanku kini begitu cantik. Lebih eksotis daripada dermaga dan laut. 

Kamu layaknya bidadari penolong. Kamu bidadari yang menendang maut dari diriku. Aku membatin.

Lalu ia memegang lenganku. Membawaku ke suatu tempat kebiasaanku. Kafe. Ya kafe. 

Selanjutnya menuruni tangga Kafe Gedung Meneng, masuk ke ruangan belakang. 

Di sini ada taman. Sebuah kolam lumayan besar. Ikan-ikan bersisik kekuning-kuningan berenang. Memburu makanan yang dilempar pengunjung. Setelah menyantap, ikan-ikan itu menjauh ke dasaer kolam. 
Di seberang kolam, dinding dihiasi relief. Aku kurang paham maksud lukisan di tembok itu. Tapi menurutku indah. Apalagi ada cahaya dari lampu sorot kuning.

"Seharusnya kamu tinggalkan dermaga. Kamu suka sekali hal-hal yang menantang dan berisiko tinggi. Berbahaya buat keselamatanmu..." ujarnya setelah memesan minuman.

Di kursi lain tampak Andi, Alfa, dan Darto tengah seru-serunya berdiskusi, yang perdebatannya cenderung lebih mengemuka.

Karena suara mereka keras, sampai  di tempatku terdengar jelas. Mereka berdebat soal patut tidaknya dari segi hukum soal pejabat yang merangkap jabatan di BUMD. Mereka terpecah karena sama-sama tak netral. Jadi yang muncul adalah bukan kebenaran, melainkan pembenaran.

"Kamu dengar mereka yang lagi diskusi itu?" bisikku pada Dinda. 

"Bukan dìskusi. Tikai ucap," Dinda seperti mau meluruskan.

Aku tertawa.

"Bisa aja kamu dapat istilah," pujiku.

"Nyatanya? Kawan-kawanmu itu bukan berdiskusi. Masing-masing mau mengusai dan menang. Karena sama-sama bertendensi, jadinya ya begitu," jelasnya.

"Kamu juga Busy, masih sering mengikuti emosi. Ingin menguasai dan menang," katanya kemudian. "Juga keliwat cuek."

Aku menatapnya dalam. Di mata Dinda kukihat putik bunga yang akan mekar. Ikan-ikan di kolam berkecipak. 

"Jadi kamu tak sadar sekitar. Ada yang mengharapmu...." masih kata dia.

Tiba-tiba aku terbangun. Sebelahku hanya bantal guling. Selimut yang lepas dari tubuhku.

Ah mimpi lagi. Hanya bunga tidur.

Dalam mimpi tadi, Dinda sudah mendekatkan bibirnya di wajahku. Tinggal bergerak sedikit, terjadilah apa yang akan terjadi. Getar itu sudah mencapai hatiku. Sudah tinggal meledak.

*

Kulihat arloji tangan di meja sebelah ranjang. Pukul 01.43. Iseng kutelepon Dinda. Kuyakin ia baru terlelap. Ternyata diterima.

"Halo, kamu sudah tidur?"

"Ya. Terbangun gara-gara dering teleponmu. Ada apa Busye?"

"Gak. Aku hanya kangen...."

"Ih kayak anak sekolahan. Pakek kangen," balas Dinda di seberang.

"Eh Nda, besok kamu bisa ajukan cuti?"

"Kenapa? Mau ke mana?"

"Bisa?"

"Ya bisalah. Kan aku belum ambil cuti tahun ini," jawab Dinda.

"Ok. Ambil ya. Sepekan aja..." kataku lagi. "Sepekan lagi diambil nanti, kalau jadi."

"Memangnya mau ke mana? Ada apa?" tanya Dinda. Dari nadanya, dia penasaran.

"Kita ke rumahmu. Aku mau menemui orang tuamu."

"Mau apa?" tanyanya makin penasaran. "Ciyusss?"

"Seriuslah!"

Diam sesaat.

"Siaap?" tanyaku lagi.

"Oke. Besok kuajukan cuti," tegasnya. "Tapi kau mau apa bertemu ayah ibuku?"

"Mau..."

"Berani?" tanya Dinda. Suaranya agak pelan, serak, karena baru bangun tidur. 

Pembicaraan kami terputus. Telepon genggamku low-bath. Aku belum sempat menjawab pertanyaan Dinda.

*
Sampai pukul 05.20 aku masih terjaga. Kebiasaanku kambuh. Jika tidur cepat dan terbangun malam, tidak mudah melanjutkan tidur kembali.

Selepas pukul 07.00 aku baru bisa terpejam. Dering telepon dari Dinda membuka mataku.

"Busye! Aku sudah dapat izin cuti. Mulai besok. Hari ini aku boleh pulang cepat. Jadi kan besok?" 

Aku mengangguk. Dinda tak akan tahu anggukan itu.



S e l e s a i

#isbedy
#paus sastra lampung
#cerita bersambung
#lamban sastra isbedy stiawan zs




LIPSUS