Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (68)

Rabu, 11 Maret 2020




DINDA belum datang. Terlambat 1 jam dari janjinya. Dan, aku masih percaya bahwa menunggu adalah pekerjaan membosankan. Meski saat ini aku bukan tengah menunggu Godot. Penantian yang sia-sia. Bukan.

Mungkin ada pekerjaan kantornys yang masih belum selesai. Aku maklum. Sejak setahun ini ia dipercaya memegang jabatan pemasaran di sebuah bank di kota ini. 

Mengisi kejenuhan kubuka laptop. Menyatukan naskah puisi ke dalam folder puisi, cerpen ke cerpen. Begitu pula esai dan makalah kusatukan di folder esai dan makalah. 

Aku juga merapikan typo untuk novel politikku. Soalnya Juli tahun ini juga harus sudah beredar dan didiskusikan. Kawan di komisioner KPU sudah merekomendasikan untuk kerja sama.

Secangkir kopi menemaniku. Teringat dengan puisi Joko Pinurbo dalam buku puisinya Perjamuan Khong Guan

Ada-ada saja si Jokpin. Pandai menciptakan judul yang menggelitik. Gumamku.

Pada puisi "Kopi Koplo" Jokpin, aku terperanjat. Aku seakan berdialog dengan maut yang mengambang di cangkir kopi di depanku.

Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu, kopi? 

Pertanyaan itu telah membetot kesadaranku. Apakah selama ini aku memang meminum kopi? Atau, "itu racun rindu yang mengandung aku."

Bayangakan, betapa menyakitkan apabila kopi yang kuminum ini ternyata bukan kopi. Melainkan racun rindu? 

Kalaulah rindu itu kepadamu, kekasih, biarlah aku ikhlas menyeruput berkali-kali dan bertubi-tubi. Agar aku selalu datang menemuimu. Kamu datang mengantar kerinduan.

Masalah kopi, aku dan Jokpin memang berselera sama. Seperti juga sama-sama perokok. Oleh karena itu, aku juga menulis puisi tentang kopi. Di antaranya "Puisi dalam Secangkir Kopi" yang kelak menjadi judul buku puisiku dan novelku.

Soal kopi itulah, mungkin kemudian yang menumbuhkan kedai atau kafe bagaikan sebuah tanaman di taman. Lalu tangan-tangan peracik yang membuat sajian kopi menjadi nikmat dan ketagihan. Jadi candu!

Segelas kopi sudah kuhabiskan. Aku merebus kopi lagi. Ya. Menyeruput kopi dengan cara menyeduh dengan merebus, beda rasa dan nikmatnya.

Akhirnya Dinda datang. 

"Maaf Busye, telat. Langsung rapat dengan pimpinan," katanya lalu ke dapur dan menyeduh kopi. "Bunuh ngantuk," sambungnya sambil menyeruput kopinya.

"Kamu sehat kan Busye?" Dinda membuka percakpan.

Aku mengiyakan.

"Kenapa bisa kamu ke Kafe Dream? Tanpa teman lagi," ia melanjutkan. 

Dream adalah sebuah kafe yang baru pertama kukunjungi. Berada di ujung kota. Sebetulnya cukup dikenal. Hanya orang tertentu dan punya nyali yang mau ke sana. Kafe ini lebih tepat pub. Live musik dan tempat orang yang mau mabuk-mabukan. Di sana, juga beberapa kafe di kota ini, kerap terjadi  kerusuhan yang berujung kematian.

Aku ke Kafe Dream lantaran janjian bertemu dengan Daniel. Ia berniat bekerja sama membuat buku biografi calon kepala daerah. Buku itu kelaknya diluncurkan dan dibagi-bagi pada masa kampanye dan lainnya.

"Honornya sangat menggiurkan, Busye. Aku cukup 10 persen dari kau," kata Daniel sehari sebelum pertemuan.

Kandidat kepala daerah yang dimaksud Daniel didukung oleh 3 partai politik. Namanya Sudarmo Ananto. 

"Dia ingin biografinya dtulis dengan gaya sastrawi. Maksudku jurnalis sastrawi. Tak harus serupa sastrawan yang menulis biografi Soeharto," jelas dia lagi.

Aku sepakat. Hanya batal karena kafe tersebut pada malam itu dipolice line seusai keributan yang menelan korban tewas.

"Mau menemui Daniel. Janji di sana. Eh gara-gara ada kerusuhan batal. Janjinya minggu depan di Marley. Kau boleh ikut kalau tak sibuk," kataku.

"Dapat job?"

Aku mengangguk.

"Nulis biografi Sudarmo Ananto," kataku kemudian.

"Itu yang kandidat kepala daerah kan?" tanyanya.

"Ya," kataku. "Doakan jadi ya..."

"Aku selalu berdoa untuk kesuksesanmu, Busye."

"Terima kasih."

Lalu kami siap-siap ke toko buku. Aku mau cari buku bografi yang ditulis Ramadhan KH itu. Setidaknya untuk belajar cara melihat sudut pandang dan menuliskannya.

Buku yang kucari ternyata sudah tidak ada. Tapi pengelola toko buku itu berjanji akan mencarinya. Karena ia yakin di gudang besar, buku itu masih tersisa.

Setelah itu kami ke kafe yang baru dibuka. Namanya Kedai Kopi Kangen Mantan. Di bilangan Universitas Rajo Hijau. 

Dinda heran kenapa ia kuajak mampir ke Kopi Kangen Mantan. Namanya saja aneh, juga baru ia ketahui. 

"Kedai ini baru buka dua malam lalu. Aku ingin mencicipi kopi buatannya. Sebagai pecinta kuliner dan kopi, harus merasakan semua racikan yang ada," aku menjelaskan.

Dinda mengangguk.

"Tapi, aku kan belum mantan. Kenapa dikangeni?" Dinda bercanda.

"Sebentar lagi kau jadi mantanku, dan pasti kukangeni. Sebab kau cantik dan pantas dirindui," jawabku merayu.

Ia tahu itu. Lalu pasti ia akan mengatakan, "Gombal. Lebay!"

"Kok gombal, Nda. "Soalnya kamu adalah istriku! Jadi kan mantan pacar. Hehe..."

"Jadi kekasihmu saja belum. Kapan kamu mengatakan 'i love u' padaku?" tukasnya.

"Apakah itu perlu? Masih pentingkah verbalisme?"

Dinda terdiam.

Aku lebih dari diam. Sebab yang bergolak di hatiku, aku ingin memeluknya.

Kamu tak perlu mengiyakan. Cukup percaya padaku sudah sangat membahagiakan. Seperti "kau tak perlu melindungiku, karena yang kuperlukan kau percaya padaku," kata James pada Kara si Super Girl. 


*
Dinda tiba-tiba tersadar. Melonjak. Ia menatapku lama sekali, sebelum ia berkata:

"Tadi pagi Rena meneleponku. Ia marah, katanya karena aku makanya kamu suka emosi. Juga kepergiannya seperti kau kehendaki," kata Dinda.

Aku tak langsung menjawab. Menarik napas kemudian kulepaskan.

"Dari mana ia tahu kalau aku menghendakinya pergi. Kenapa pula ia bawa-bawa kamu..." jawabku setelah beberapa saat hening.

"Entah dia bilang begitu. Tapi memangnya kamu tak menginginkan ia pergi?" tanya Dinda.

"Aku bukan tak menghendaki, tapi juga tak membiarkan. Ia sudah dewasa. Punya kemauan, kehendak, dan pilihan. Dia tahu setiap keputusan terbuka pula risikonya," jelasku.

"Kalau dia tak kembali padamu, kamu sedih?"

"Tak juga. Kamu mancing ya Nda, atau...."

"Cuma nanya," jawabnya singkat.

"Kalau nanya bukan itu kalimat dan bahasanya," ujatku. Kali ini aku mengusiknya.

"Bagaimana kata-katanya?" 

Dinda menunggu jawabanku.

"Kamu pasti tahu bagaimana kalimat itu. Karena kamu bukan untuk membuat kalimat...."

"Maksudmu?"

"Entahlah. Ada dalam dirimu. Hatimu. Pikiranmu."

lalu kututup gordin jendela
di luar sudah malam
juga di dalam diri
ada bintang kerlip

adakah itu cahaya cinta
dari kejora yang menyala?

ke dalam diri
kubawa cahayanya
kerlip dan nyala

selalu...



(Bersambung)





#isbedy
#paus sastra lampung
#cerita bersambung
#lamban sastra isbedy stiawan zs





LIPSUS