Cari Berita

Breaking News

Prikebertetanggaan Corona

INILAMPUNG
Sabtu, 28 Maret 2020

SAYA sudah bermukim di sini, sebelas tahun. Kenal dan akrab banyak wajah. Yang itu warga lama, yang ini warga baru. Mobilnya merk ini, motornya merk itu. Tapi, tidak tahu namanya siapa. Kerjanya dimana. Apalagi, prihal yang lebih pribadi.

Di kompleks kami, semua serba sendiri. Tidak ada tetangga mengetuk pintu atau teriak dari pekarangan rumah, lalu bertanya. Punya garam tidak? Ada ketumbar, gak? Minta nasi putihnya. Atau yang lebih ekstrem, minjam duitnya dulu untuk bayar sayur, dlsb. Di mana, masa kecil saya yang tinggal di perkampungan, hal model itu lazim terjadi. Dipastikan, ada di setiap harinya. 

Selalu bertukar pemberian. Kadang sore hari, mengantar bubur kacang hijau. Siangnya, diberi serantang opor ayam. Pokoknya, banyak keakraban yang khas. Gerimis sore hari pun, pakai payung mengantar pisang goreng. Satu rumah satu piring. Lalu seperti terjadwal, piring-piring dipulangkan. Ada yang kosong, ada yang berisi buah, makanan ringan, dlsb. 

Saling mengisi, saling memberi dan merawat prikebertetanggaan.

Kalau ada yang lewat, selalu ditanya. Mau kemana, lalu diminta mampir, bercakap-cakap sebentar, atau saling doa. Minimal berucap. Hati-hati di jalan. Dan pasti tahu, hendak kemana perginya tetangga itu, kalau lama nanti, sewaktu pulang pasti ada oleh-oleh, meski sejumput pilos, seuntalan dodol atau sekunyahan peyem.

Kalau ada tamu, saudara jauh yang datang. Semua tetangga berkerumun. Bertukar kabar atau berkenalan. Akan ada catatan, tetangga yang tidak "ngertaake", datang untuk mencicip oleh-oleh atau sebatas setor wajah. Kalau sudah mengertaake. Seolah ada kelegaan. Kewajiban bertetangga, telah tergugurkan. 

Ada sanksi sosial bagi warga yang tidak ngertaake. Yaitu, cibiran umum. Minimal dirasani sebagai orang tak punya rasa berprikebertetanggaan. Pasti dibuat malu hati sebab banyak orang bertanya, kemarin kemana tidak datang? 

Itulah kenapa, pasti ada syukuran. Berkerumun dalam satu rumah setiap momentum. Baik itu kenduri sebagai pertanda selamatan (lolos musibah) atau syukuran (mendapat berkah). 

Selama sebelas tahun ini, saya ingat, keramah tamahan sudah punah dan tidak ada lagi di permukiman saya. 

Penjual tahu tempe bersepeda setiap pagi yang teriak dan hampir kenal nama semua warga, juga sudah tak keliling, lama sekali. Diganti sari roti atau holand bekri. Mungkin karena pakai sepeda motor dan mobil, sangat cuek, ada pembeli atau tidak, terus berjalan, meski pelan. Tidak disertai pertanyaan model penjual tempe. Yang akrab memanggil nama. 

Saya sendiri, tanpa tahu, kapan saling berkenalan. Sudah akrab dengan nama masing-masing.

Seingat saya, pernah disentak. "Jangan manggil, Bu! Sebut saja, Mbokde Yem. Mak Yem, juga boleh."

"Kang, seminggu ini gak ada, kemana?" 

Bayangkan. Sedemikian dekat. Seolah punya catatan, kalau tidak beli pagi hari pasti sedang tidak di rumah. Keramahan model itu, sudah punah. 

Dan maraknya berita virus Corona, mencerabut semuanya. Antar-warga jadi kembali akrab. Saling bertanya dan menyapa. Memang, tidak seperti masa lalu yang ramahnya alami. Namun, acara lokdon-lokdonan ini, menjadikan kompleks kami rasanya, cukup tergugah kesadaran. Bahwa kehidupan kami, ternyata punya kisah dan kebersamaan. Semua serupa terlahir kembali, menjadi perkampungan tempo dulu. Yang penuh keakraban dan kepermaian.

Satu dua tetangga mulai bertukar pemberian, ini beras dari kampung, hasil panen sendiri. Ini pisang. Ini petai. Saling memberi hantaran dan menguatkan. 

Corona virus memberi pelajaran pada permukiman kami, bahwa sikap individualistik dan hidup bergaya modern tanpa tetangga itu. Ternyata, sama sekali tidak cocok dengan karakter kami.(*)

ENDRI Y.
Penggiat Komunitas Gedong Meneng

LIPSUS