Cari Berita

Breaking News

Air Mata Seorang Konsultan

INILAMPUNG
Selasa, 28 April 2020

Oleh: Dalem Tehang

"ANAK muda, kenapa setiap azan maghrib berkumandang, kamu meneteskan air mata? Apa pengalaman batin yang pernah kamu dapatkan?!" kata seorang pria setengah baya, yang mendadak muncul.

"Nama saya Umar. Saya tinggal di kamar sebelah. Baru dua minggu ini. Sebelumnya di Blok B. Sampeyan Pak Raden kan?!" Ucap Umar sambil berdiri dari kursi taman tempatnya duduk dan menyalami pria yang dipanggilnya Pak Raden. 

"Saya tahu namamu Umar. Tapi saya lebih suka panggil kamu Anak Muda. Kamu masih muda kan? Masih usia 40-an. Nggak keberatan kan dengan panggilan itu?" kata Pak Raden.

"Nggak. Saya nggak keberatan sama sekali dengan panggilan itu. Malah kelihatan keren. Trimakasih atas julukan itu. Dan sepertinya saya juga lebih suka panggil sampeyan dengan sebutan Pak Tua. Nggak keberatan kan?!" tanggap Umar.

Keduanya pun tertawa. Pak Raden menepuk-nepuk bahu Umar. Ada rasa bangga dalam tepukannya.

"Sengaja saya panggil kamu dengan sebutan Anak Muda itu biar kamu tetap optimis. Tetap kuat dan terus bermimpi untuk meraih sukses ke depannya," kata Pak Raden.

"Trimakasih motivasinya, Pak Tua. Tapi apa iya, kita yang ada disini, yang dalam posisi titik nadir begini, bisa bangkit lagi?!" sela Umar.

"Hahaha..! Kamu anak muda yang cengeng ternyata ya?! Tapi nggak apa-apa. Setidaknya kamu sudah berani sampaikan apa yang ada di hati dan pikiranmu. Bagus itu. Berarti sebenernya kamu masih punya mimpi. Punya obsesi. Hanya saja kamu takut. Kamu sudah disesaki dengan ilusi kalau yang sudah masuk disini, nggak bakal bisa bangkit lagi. Buang jauh-jauh pikiran itu. Justru dari sini awal kebangkitan kita," kata Pak Raden. Menyemangati.

Umar memandangi wajah pria yang kini duduk di depannya dengan seksama. Posturnya tinggi besar. Kulitnya hitam legam. Rambutnya tak terurus. Pun kumis dan jenggotnya.

"Anak Muda, jangan nilai orang itu dari penampilan. Dari pangkat, jabatan atau kekayaan. Karena itu menyilaukan. Dan sudah terlalu banyak orang yang terbuai dengan kesilauan itu. Kita jangan menambah panjang daftarnya," tutur Pak Raden sambil tersenyum. Seakan tahu Umar sedang menelisik dirinya.

Umar tergagap. Ia tak menyangka, apa yang tengah bergelut di pikirannya terbaca oleh pria usia 50-an tahun itu.

"Iya, Pak Tua. Apa yang sampeyan sampaikan itu betul. Kita tak boleh ngukur orang karena pangkat, jabatan apalagi kekayaannya. Tapi hatinya. Karena banyak orang berpangkat hanya memanfaatkan kita untuk memuluskan dan mencapai hasratnya. Setelah semua tercapai, pelan-pelan kita disingkirkannya. Dan kita nggak bisa berbuat apa-apa," kata Umar dengan nada pedih. 

"Syukur kalau kamu sudah tahu, Anak Muda. Dengan begitu, sekeluar dari sini nanti kamu akan bisa meniti jalan kehidupan dengan lebih hati-hati," ucap Pak Raden.

Umar mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya terus menatap Pak Tua yang duduk santai di depannya. Sesaat keduanya terdiam. Terbawa dengan pikiran masing-masing.

"O iya, tadi kamu belum jawab pertanyaan saya, Anak Muda. Kenapa setiap mendengar azan maghrib, kamu menangis. Dan  selalu duduk di kursi taman ini setiap sorenya?!" Pak Raden melanjutkan obrolan.

Umar menatap tajam wajah Pak Raden. Ia tak mengenal baik pria ini. Hanya tahu, mereka bersebelahan kamar di rumah tahanan ini. 

"Berarti sampeyan selama ini selalu mantau apa yang saya kerjakan ya, Pak Tua? Kenapa memangnya dengan saya, ada yang aneh ya?!" Celetuk Umar dengan nada kurang suka. 

Pak Raden tersenyum. Ia paham, ego dan emosi Umar tersulut dengan pertanyaannya. Khas anak muda yang spontan menilai negatif atas apa yang dikira akan mengusik dirinya. 

"Iya bener. Saya memang mantau kebiasaan rutinmu ini, Anak Muda. Karena saya tertarik. Biasanya, menjelang maghrib, orang  masuk kamar. Bersiap untuk solat. Tapi kamu malah keluar kamar. Duduk tercenung. Dan saat azan berkumandang, kamu meneteskan air mata. Bahkan tak jarang sampai sesenggukan. Menangis. Sepertinya ada pengalaman batin yang begitu dalem yang kamu alami," sahut Pak Raden.

"Memangnya sampeyan terganggu dengan semua itu, Pak Tua?!" ucap Umar. Masih dengan nada kurang suka.

"O, tidak, Anak Muda. Saya nggak terganggu sama sekali dengan rutinitasmu itu. Saya hanya tertarik saja. Karena yang kamu lakuin itu diluar kelaziman!"

"Pak Tua, status kita sama disini ya. Sama-sama narapidana. Jadi jangan usil dan pengen tahu urusan orang lain. Siapapun Pak Tua diluar sana, bukan urusan saya. Begitu juga sebaliknya. Saya minta, kita saling hormati privacy masing-masinglah. Lagian, kita kenalan juga barusan ini. Kebetulan aja kita sampingan kamar," kata Umar masih dengan nada emosi.

"Betul yang kamu bilang, Anak Muda. Status kita sama. Sama-sama narapidana. Tapi bukan suatu kebetulan kita dipertemukan disini. Takdir yang mempertemukan. Dan pasti maksud Tuhan itu baik kenapa kita ditemuin disini. Tinggal kita aja, bisa nggak dapetin nilai-nilai positifnya," ujar Pak Raden.
Wajahnya tetap teduh. Tak tergambar sedikit pun ada ketersinggungan dengan ucapan-ucapan Umar. 

"Jadi bukan karena kebetulan,  kita ngobrol sore ini juga ya, Pak Tua?!" sela Umar. Nada suaranya telah berubah. Datar dan rendah.

"Bukan, Anak Muda. Semua ini memang sudah diskenariokan oleh sutradara kita. Allah Yang Maha Kuasa!"
Umar terdiam. Lama dia  termenung. Walau tampak sedang berpikir keras, air mata bergulir di pipinya. Pertanda begitu dalamnya deraan dibatinnya.

"Boleh saya cerita, Pak Tua? Sekalian menjawab pertanyaan yang dua kali sampeyan sampaikan?!" kata Umar sambil terus memandang wajah Pak Raden.
Pak Raden memberi isyarat dengan tangannya. Mempersilakan Umar bercerita.

"Saya ini seorang konsultan, Pak Tua. Itulah profesi saya. Orang yang mengkancah.operencanaan sampai detail setiap proyek pembangunan yang akan dilaksanakan. Bukan cuma gimana bentuk bangunan, tata letaknya yang bagus, tapi juga berbagai jenis material yang dibutuhkan. Hingga tergambar berapa dana yang diperlukan. Hasil kerja saya itulah yang jadi pegangan pemborong untuk wujudkan proyek itu. Pak Tua tahu kan gimana penting dan strategisnya peran seorang konsultan?!" urai Umar.

"Iya, sedikit banyak saya tahu tugas dan pekerjaan konsultan itu seperti apa. Lanjutin aja ceritamu, Anak Muda," kata Pak Raden.

"Nah, termasuk kompleks rumah tahanan ini pun saya konsultannya waktu mau dibangun, Pak Tua. Saya yang desain semuanya. Jadi saya tahu persis kualitas bangunan disini. Bahkan lebih tahu dibanding pegawai senior pun yang ada disini," kata Umar.

Pak Raden mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan berdecak kagum. Tak disangkanya, anak muda yang duduk di depannya adalah sosok yang membidani lahirnya kompleks rumah tahanan ini.

"Kamu luar biasa, Anak Muda. Kemampuan dan keahlianmu sebagai seorang konsultan sangat pantas diacungi dua jempol. Kompleks ini tertata rapih dengan keterbukaan udaranya yang maksimal dan bangunan-bangunannya pun oke punya," sambut Pak Raden. Ada kebanggaan dari nada suaranya.

Umar melepas senyuman. Namun senyum kecut. Senyum yang dipaksakan. Sekadar menimpali pujian yang sebenarnya tidak diharapkan.

"Yang luar biasa itu takdir ini, Pak Tua. Saya yang mendesain semuanya, termasuk kamar untuk tahanan dan narapidana, nggak tahunya saya malah jadi salah satu penghuninya," ucap Umar. Dan tetap melepas senyum kecutnya.
"Itulah takdir, Anak Muda. Kita nggak pernah tahu alurnya. Seperti juga saat ini, karena wabah corona, semua orang wajib di rumah saja. Belajar dan bekerja pun dari rumah. Mudiķ nggak boleh juga. Akhirnya semua terpenjara di rumah masing-masing. Bedanya nggak jauh-jauh amat dengan yang kita jalani saat ini situasi diluar sana," kata Pak Raden.

"Iya juga ya, Pak Tua. Situasi diluar sana nggak jauh dengan yang kita alami. Nggak bisa kemana-mana juga. Saya juga bersyukur akhirnya, atas takdir ini. Nggak kebayang kalau kita diluar sana, ya susah juga," sahut Umar.

"Kalau kamu sudah bisa terima bahwa keberadaanmu disini karena takdir, kenapa setiap azan maghrib berkumandang, kamu selalu meneteskan air mata dan menangis. Apa penyebabnya, Anak Muda?" tanya Pak Raden.

Umar sesaat terdiam. Disapunya sisa-sisa air mata yang menbasahi pipi dengan telapak tangannya.  

"Saya ingat istri, Pak Tua. Setiap azan maghrib tiba, saya ingat dia. Saya berdosa pada dia," ucap Umar. Suaranya bergetar. 

"Memangnya kenapa dengan istrimu?" tanya Pak Raden.

"Waktu saya dapat pekerjaan sebagai konsultan pembangunan kompleks ini, sore-sore saya cek lapangan. Saya saat itu berdiri ya di sekitar taman ini. Tempat kita ngobrol ini, Pak Tua. Dulu itu masih lahan terbuka. Belum ada bangunan apapun disini. Saya sedang corat-coret merencanakan posisi bangunan sesuai yang dibutuhkan, saat azan maghrib terdengar dari masjid diluar sana. Nah, pada saat bersamaan, istri saya telepon. Ingatkan untuk saya solat maghrib dulu," kata Umar. Tiba-tiba suaranya terputus. Dia menangis.

Pak Raden hanya mendiamkan Umar yang tengah meluapkan kesedihannya. Ia tahu, ada proses pelepasan kesedihan yang harus dilakukan oleh Umar. 

"Saya terusin ceritanya ya, Pak Tua," kata Umar setelah bisa menenangkan perasaannya. Pak Raden mengangguk. 

"Waktu itu saya jawab pada istri kalau sebentar lagi saya akan maghriban. Karena pekerjaan saya sedang tanggung. Saat itu istri saya katakan: jangan ditunda solatnya. Tunda aja pekerjaannya. Apalagi yang lagi kamu kerjain itu untuk buat penjara. Jangan-jangan nanti kamu malah jadi penghuninya kalau menunda solat. Saya balas: iya ini langsung solat," tutur Umar.

"Dan kamu bener solat dulu waktu itu seperti yang kamu bilang pada istrimu?!"   sela Pak Raden.

Umar menggelengkan kepalanya. Tangisnya kembali meledak. Kali ini tampak ia begitu hanyut terbawa perasaan yang menderanya.

"Nggak, Pak Tua. Saya nggak langsung solat seperti yang saya bilang sama istri. Saya terusin pekerjaan sampai selesai. Bahkan saya baru keluar dari lokasi ini  setelah azan isya," kata Umar kemudian.
"Jadi karena rasa bersalah pada istri itu yang buat kamu menangis setiap mendengar azan maghrib?!" 

"Bener, Pak Tua. Rasa salah dan berdosa pada istri itulah yang buat saya begini setiap sore. Dan saya ingat, sebelum-sebelumnya istri saya nggak pernah telepon untuk ingatkan untuk saya solat. Baru sekali itulah sejak kami menikah," lanjut Umar.

"Subhanallah. Bisa jadi waktu itu istrimu digerakkan Allah untuk mengingatkan kamu, Anak Muda," kata Pak Raden.

"Bisa jadi begitu, Pak Tua. Malaikat diperintah Allah untuk menggerakkan istri telepon saya dan menyuruh saya maghriban. Kalau saja waktu itu saya langsung solat seperti yang saya bilang ke istri, mungkin takdir saya akan berubah," ucap Umar.

"Sebenernya, apa yang kamu alami ini banyak dialami juga oleh kawan-kawan yang sekarang ada disini. Karena sering menyepelekan istri, akhirnya kita hidup terpisahkan begini. Sadar atau tidak, mau diakui atau tidak, dalam kehidupan kita, pasti kita sering menyepelekan omongan dan peran istri. Padahal kita tahu, istri itu adalah tulang rusuk kita. Yang sangat dekat posisinya dengan jantung dan hati kita. Memang takdir itu misteri, tapi doa istri sangat didengar oleh Allah untuk merubah takdir kita," urai Pak Raden.

"Gimana caranya supaya saya bisa lepas dari rasa berdosa pada istri dan tidak selalu meneteskan air mata saat mendengar azan maghrib ya, Pak Tua?!" tanya Umar.

"Minta maaflah pada istrimu. Dan setiap maghrib, jadilah kamu muazinnya. Insyaallah semua yang menyedihkan hatimu itu akan berubah," kata Pak Raden.

"Habis ngobrol ini saya telepon istri untuk minta maaf. Dan mulai besok, saya akan maghriban di masjid dan jadi muazin. Trimakasih wejangannya, Pak Tua," kata Umar sambil menyalami dan mencium tangan Pak Raden. 

Sang konsultan yang selama satu tahun ini terkungkung dalam kedukaan dengan linangan air mata itu, mulai menemukan jalan setapak menuju kedamaian hatinya. (*)

penulis: pemerhati masalah sosial budaya, tinggal di Bandar Lampung

LIPSUS