Cari Berita

Breaking News

Balada Cinta Sang Guru

INILAMPUNG
Selasa, 21 April 2020

Oleh: Dalem Tehang

BARISAN awan tebal yang ditiup angin, menimbultenggelamkan sorot sinar rembulan. Temaram. Hilang. Dan tampak lagi. Perubahan demi perubahan di langit itu tak membuat Umar mengalihkan pandangannya. Matanya tetap menatap langit. Seakan ingin menembus lapis demi lapisnya. Hingga mencapai Lauhil Mahfudz. 

Hampir setiap malam, menuju dinihari, Umar menatapkan pandangannya ke langit. Awan berarak yang melahirkan mendung tebal dan menjadi hujan, seakan hanya selintas bayangan yang mencoba mengusik kesetiaannya pada satu titik: langit. 

"Apa yang membuatmu selalu pandangi langit di saat pergantian malam, Umar? Apa kamu sudah lihat pintu langit terbuka? Yang akan membawamu keluar dari kamar tahanan?" satu suara berat mengejutkan Umar.

Ditengoknya asal suara teguran itu. Ternyata Pak Marwan. Teman satu kamar yang disegani semua penghuni kamar. Yang biasa dipanggil Pakde, sebagai sapaan kehormatan.

"Saya lagi nikmati bintang-bintang aja kok, Pakde. Emang belum tidur ya? Apa sudah ngelilir?" sahut Umar. Berbasa-basi. Merapihkan keterkejutan atas sapaan yang memecah kefokusannya menelanjangi langit.

"Mana ada bintang saat-saat seperti ini, Umar? Sekarang kan musim penghujan. Langit disesaki mendung. Jangankan bintang, bulan yang lebih besar aja tertutup oleh rapatnya arakan awan," ucap Pakde Marwan sambil tersenyum tipis.
Umar terdiam. Matanya sekilas sempat menatap Pakde Marwan yang berdiri di depannya. Sejurus kemudian, kembali menatap ke langit. 

"Pakde perhati, seminggu ini kamu setiap malam menuju pagi selalu menatap langit. Apa yang kamu adukan pada Tuhan yang ada di atas sana?!" lanjut Pakde sambil menarik kursi. Duduk bersebelahan dengan Umar. Di balkon terbuka. 

Umar tersenyum. Ada rasa malu. Entah untuk apa dan kenapa ia mesti malu. Setelah menghela nafas, dipandangnya wajah Pakde yang selalu teduh.

"Pakde percaya Tuhan ada di atas sana. Di langit?" kata Umar. Tak menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. 

"Iya, Pakde percaya. Tuhan ada di atas sana. Ada singgasana megah disana. Di atas langit ke tujuh. Tuhan bersemayam disana. Di Arsy yang tak bisa dibayangkan sama kita. Darisanalah Tuhan kendalikan alam beserta seluruh isinya," ucap Pakde.

"Jadi nggak salah kalau saya teriakkan semua beban dan harapan dengan menatap ke langit kan?!" lanjut Umar. Pakde menganggukkan kepalanya. 

"Pakde percaya Tuhan dengar teriakan saya walau hanya dalam hati, dengan menatap langit?" sambung Umar. Pakde menganggukkan kepalanya lagi.

"Terimakasih, Pakde. Berarti nggak sia-sia seminggu ini setiap malam saya teriakkan semua persoalan langsung pada Tuhan dengan menatap ke langit. Sebelumnya saya ragu, apakah Tuhan dengar teriakan saya," imbuh Umar. Kali ini dengan suara penuh optimisme.

"Tuhan pasti dengar teriakanmu, Umar. Bahkan yang tidak kamu teriakkan pun, Dia pasti dengar. Dengan kamu menatap ke langit, atau menunduk ke bumi, Dia juga pasti dengar. Yakini aja itu ya, Umar!" ujar Pakde Marwan dengan wajah serius.

Umar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ada rasa puas tersirat di wajahnya. Ada keyakinan di khalwat batinnya. 

"Kalau boleh tahu, apa yang kamu teriakkan pada Tuhan beberapa malam ini?" tanya Pakde Marwan sambil menatap wajah Umar. 

Umar menarik nafasnya dalam-dalam. Ada beban berat menghimpit batinnya. Diangkatnya lagi wajahnya. Ditatapkan lagi matanya ke langit. Lama dia terdiam. Seakan menunggu persetujuan Tuhan untuk beri jawaban.

"Saya lagi benar-benar down berat, Pakde. Dalam kondisi di penjara dan terpuruk begini, dua wanita yang saya sayangi meninggalkan saya. Perasaan dan pikiran saya tak kuat lagi menampung beratnya beban ini. Maka saya langsung mengadu pada Tuhan," kata Umar kemudian.

"Dua wanita yang kamu sayangi dan sama-sama meninggalkan kamu itu, maksudnya apa?" tanya Pakde.

"Mereka istri saya, Pakde. Sekarang keduanya minta cerai. Kebayang kan bagaimana galaunya saya saat ini?!" sela Umar. 

"O, istrimu dua ya?" ketus Pakde Marwan.
Umar terdiam. Dia tahu, Pakde Marwan anti poligami, walau diperbolehkan oleh agama. Sulitnya berlaku adil yang membuat Pakde Marwan  kurang respek pada pria yang beristri lebih dari satu. Menurut dia, tak kan mungkin manusia bisa berlaku adil. Karena adil adalah milik Tuhan. 

Umar menimbang-nimbang. Bercerita akan balada cintanya, ataukah mengelak. Namun karena rasa hormatnya pada Pakde Marwan, dia pun memilih membuka kisah hidupnya.

Semasa masih mahasiswa, Umar jatuh cinta pada teman satu kampusnya, Dinar. Putri sulung seorang pejabat penting. Upayanya yang gigih atas nama cinta, bersambut kehangatan. Umar dan Dinar pun berpacaran. Sayang, orangtua Dinar menentang.

Namun cinta keduanya melebihi kekuatan suara petir saat hujan lebat. Tentangan dijawab dengan kesungguhan. Pasangan muda ini "larian". Umar membawa Dinar ke kampung halamannya,  sebuah desa di Tulangbawang. 

Orangtua Dinar mengalah. Merestui putri sulungnya menikah sebelum selesai kuliah. Menerima Umar sebagai menantu dan membiayai perkuliahannya pula. 

Orangtua Dinar menjadikan Umar sebagai aparatur sipil negara (ASN) dengan posisi sebagai guru sesuai disiplin ilmunya, seusai sang menantu, lulus. Dan ditempatkan di Pesisir Barat.

Umar yang disiplin dan total dalam menjalani profesi sebagai pendidik, ditopang pengaruh sang mertua, melejit kariernya. Belum lagi 5 tahun bekerja, ia tak hanya mengajar di kelas. Tapi juga menduduki jabatan kepala sekolah.

Kecemerlangan karier Umar tak dinikmati langsung oleh Dinar dan dua buah cinta mereka. Dengan alasan demi kualitas pendidikan anak-anaknya, juga atas keinginan sang mertua, ia tidak mendampingi Umar di tempat tugasnya, di Pesisir Barat. Dinar memilih tinggal di Bandarlampung. Setiap akhir pekan, Umar pulang. Menemui istri dan kedua anaknya.

Dua tahunan, setiap pekan Umar melewatkan waktu 6 jam untuk bisa bertemu keluarganya. Selebihnya, ia tinggal di mes sekolah yang dipimpinnya. Di sebuah pekon terpencil di Pesisir Barat. 

Umar yang masih muda. Usia dibawah 40 tahun. Berpenampilan keren. Gagah. Dengan wajah ganteng, ditambah berposisi strategis, diam-diam jadi idola salah satu staf di sekolahnya. 

Dini, staf itu, masih amat muda. Baru lulus akademi informatika. Diam-diam ia idolakan Umar. Beda usia belasan tahun tak dihiraukannya. Berbagai usaha ia lakukan untuk mendapatkan perhatian sang guru sekaligus kepala sekolah tempatnya bekerja.

Umar yang jauh dari istri pun tergoda. Apalagi Dini memang cantik. Memesona. Pinter. Dan masih muda belia. 22 tahunan. Jadilah mereka sepasang kekasih di luar jam sekolah.

Kian mekarnya bunga cinta mereka, membuat Umar tak lagi setiap akhir pekan pulang ke Bandar Lampung. Satu bulan bahkan dua bulan sekali, Umar baru menemui Dinar dan kedua anaknya. 

Kepasrahan Dini jatuh dalam dekap hangatnya cinta Umar, berujung dengan pernikahan. Nikah siri. Kian jaranglah sang guru menemui Dinar.

Sampai akhirnya Dinar tahu bila Umar telah menikah lagi. Dia tak marah. Dia tahu suaminya menikah lagi akibat salahnya juga. Tak mau pindah dari rumah orangtuanya dan mendampingi Umar di tempat tugasnya.

Dinar pun dengan tulus menyalami dan memeluk Dini penuh keakraban saat mereka dipertemukan oleh Umar. Di restoran sebuah hotel di Bandar Lampung. Kedua wanita itu tampak sama-sama ikhlas menerima takdirnya. 

Tahun berganti tahun. Roda kehidupan pun berputar. Umar tersangkut penyimpangan penggunaan dana rehab sekolah bernilai ratusan juta di sekolah yang dipimpinnya. Berbagai cara dilakukannya agar persoalan tak berlanjut. Namun, semuanya sia-sia.

Melalui proses hukum yang amat panjang dan melelahkan, Umar dinyatakan bersalah dan divonis 2 tahun penjara. Terpuruklah ia. Menangis tiada henti kedua istrinya. Gelap gulita yang ada di depan sana.

"Sampai suatu saat Dini datang ke rumah tahanan ini dan minta surat pernyataan cerai," tutur Umar dengan suara tersendat. 
Airmatanya mengalir. Suara tangisnya yang tertahan, bersentuhan dengan sepoi angin malam yang menusuk tulang. 

"Kenapa Dinar juga minta cerai?!" tanya Pakde Marwan.

"Awal-awal saya menjalani hukuman, Dinar baik-baik saja, Pakde. Tapi setelah beberapa kali saya cerita soal Dini, dia juga minta cerai. Gugatannya bahkan sudah dimasukkan di Pengadilan Agama. Nggak tahu lagi bagaimana hidup saya ini, Pakde! Sudah badan terkurung, istri-istri pun pergi. Bantu saya, tanyakan pada Tuhan, bagaimana hidup saya nanti," kata Umar sambil menahan tangisnya.

Pakde Marwan hanya diam.  Ditatapnya langit kelam. Tertutup rapat oleh awan hitam. Dia bergumam: "Tuhan, bukankah tak semua pertanyaan perlu jawaban? Walau Engkau pasti tahu jawabnya!"
Langit tetap kelam. Awan tetap berarakan. Menutup rapat sinar rembulan. Dan, sang guru Umar pun, tak mendapatkan jawaban. (*)

penulis: pemerhati masalah sosial budaya, tinggal di Bandar Lampung.

LIPSUS