Cari Berita

Breaking News

Menjadi Penulis Itu Mudah

INILAMPUNG
Minggu, 26 April 2020


Haedar Nashir Mewawancarai Prof. Mistuo Nakamura, Saat menjadi Wartawan Majalah Suara Muhammadiyah. (dok. haedar nashir)

Oleh: Haedar Nashir

Saya sering ditanya, bagaimana masih bisa menulis di tengah kesibukan mengurus Muhammadiyah dan kegiatan lainnya? Saya ingin berbagi pengalaman ringan. Cerita menulis tentu tidak cukup satu edisi. Biar dicicil sambil santai. Khusus bagi yang mau belajar menulis.

Sulitkah menulis? Tentu, tidak ada pekerjaan yang mudah. Ngobrol yang kelihatan gampang, bagi sebagian orang terasa susah. Yang mudah itu yang suka menggampangkan urusan. Atau seperti sebagian wakil rakyat yang mudah tidur atau bolos sidang. Mungkin itu mudah, dibayar lagi. Ohya, tidak baik bicarakan orang, apalagi di bulan Ramadan. Maksud saya, yang ngantukkan dan suka bolos itu wakil rakyat di galaksi yang jauh di sana.

Menulis itu awalnya sulit. Namun karena sudah terbiasa menulis, sekarang jadi tidak terlalu berat. Sekarang, kalau tidak menulis terasa ada yang hilang. Kadang saya disentil bu Noor dan anak-anak, karena terlalu asyik menulis kalau ada di rumah. 

Dinikmati saja, seperti rekreasi.

Tapi untuk menjadi terbiasa menulis dan hasil tulisannya kuat, proses pergumulannya sangat panjang. Sekarang pun masih harus tetap belajar. Apalagi saat ini banyak penulis produktif yang menulis dengan sangat menarik. Lebih-lebih para penulis muda.

Kegiatan menulis saya mulai sejak mahasiswa. Awal merantau di Yogya. Masih ingat pertama ngekos di Kota Gudeg hari Selasa 9 September 1979. Tentu banyak di antara anda yang muda belum lahir.

Sambil kuliah, mulailah belajar menulis. Ternyata tidak mudah, tapi terus dicoba. Sering dengan tulisan tangan dulu, belum punya mesin ketik. Setelah dipandang jadi, mengetik tulisan di sekretariat organisasi, di kantor PW Ikatan Pelajar Mauhammadiyah Jl Kauman Yogyakarta. Baru setelah punya mesin tik sendiri mulailah menulis lebih intens. Mesin tiknya merek Brother, dibeli dari uang beasiswa Supersemar. Wah, senang saat itu punya mesin tik hasil beasiswa, seperti petani dapat cangkul dari Pak Lurah. Mesin tik bersejarah itu sekarang saya simpan di lemari perpustakaan sebagai kenangan terindah.

Menjadi penulis ternyata harus gigih. Satu dua sampai berkali-kali gagal jadi tulisan utuh, tapi jadi juga. Dimulai menulis opini ringan-ringan untuk rubrik mahasiswa di media massa Yogya dan Ibukota. Wah awalnya sering ditolak. Tapi terus mencoba, berkali-kali, sering berganti tema. Akhirnya satu dua mulai ada yang dimuat. Girang sekali, seperti Neil Amstrong sukses turun di Bulan.

Apalagi ada rekan-rekan mahasiswa lain tahu dan kasih selamat, bangga dirilah….tapi tidak congkak. Sejak itu jadi ketagihan menulis. Lumayan juga waktu itu, bisa nambah uang saku, jadi lebih mandiri. Dapat uang dari beasiswa plus menulis, tapi tetap harus berjuang keras dalam hidup, serta sukses kuliah. 

Semangatnya ikuti pepatah. Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Senang yang positif dan bermakna tentu saja.

Peleman, Sabtu sore (hari kedua Ramadhan 1441), 25 April 2020.

Artikel ini telah tayang di suaramuhammadiyah.id dengan judul "Menjadi Penulis Itu Mudah, Ini Syaratnya

LIPSUS