Cari Berita

Breaking News

Merekam Jeritan Luka di Era Pandemik Covid-19

INILAMPUNG
Sabtu, 11 April 2020

Denny JA

Tragedi sebuah zaman acapkali menjadi buku besar. Banyak yang dapat kita renungkan, pelajari dari aneka karakter dan drama di dalamnya. Puncak karaker manusia, mulai dari yang paling hitam hingga yang paling mulia justru subur tumbuh di tanah tragedi.

Apa yang dapat kita petik dan menjadi hikmah dari tragedi pandemik Covid-19?

Sayapun teringat Oskar Schindler (1). Ia orang kaya hidup di Jerman, di era yang tak kalah kelam. Nazisme dan pemburuan serta pembunuhan massal atas warga Yahudi terjadi di seluruh dunia.

Schindler sendiri anggota partai Nazi. Awalnya ia seorang industrialis, pedagang dan hidup untuk mencari untung saja. Namun ada 1200 pekerja Yahudi di aneka pabriknya.

Ia pun mengambil resiko. Ia melindungi Lebih dari 1200 yahudi itu. Ia menyembunyikan mereka. Kadang ia harus menyuap petugas keamanan Jerman agar semua rahasia aman.

Begitu dramatik kisah Oskar Schindler. Sebuah novel ditulis untuk merekam Ia punya cerita. Judulnya Schindler’s Ark ditulis oleh novelis Australia Thomas Keneally. Novel ini memenangkan Booker Prize di tahun 1982. Ia juga memenangkan Los Angeles Time Book Prize untuk Fiction tahun 1983.

Tahun 1993, Steven Spielbergh memfilmkannya menjadi Schindler’s List. Film ini juga memenangkan Oscar selaku film terbaik di tahun yang sama.

Sejarah penghargaan Oscar sendiri mencatat 12 film yang pernah mendapatkan penghargaan film terbaik, yang merekam drama zamannya. 

Kedua belas film itu berkisah drama tragedi di zaman perang. Antara lain film The Hurt Locker (2009), The English Patien (1996), Braveheart (1995), Platon (1986), The Deer Hunter (1976), dan sebagainya. (12)

-000-

Tragedi pandemik Covid-19 juga menjadi samudera aneka kisah. Reportase media hanya mampu melukiskan secara umum data, nama dan peristiwa. 

Sisi batin sebuah tragedi lebih mampu direkam oleh medium fiksi. Luka dan harapan lebih bisa diungkap melalui sastra, film dan lagu; melalui puisi, cerpen dan novel.

Saya pun membaca aneka rekaman batin itu melalui karya sekitar 53 puisi esai mini. Penulisnya cukup beragam, dari Aceh hingga Papua. Diperkaya pula oleh penulis dari negara Asia Tenggara (3).

Di antara mereka, ada yang memang dikenal sebagai penyair. Ada pula aktivis, jurnalis, dosen, bahkan pengusaha. 

Untuk berdoa, kita tak perlu harus menjadi ulama atau pendeta. Untuk menulis puisi, kita pun tak perlu menjadi penyair.

Ada yang berkisah tentang pengusaha kecil yang pulang kampung. Hidup di kota di era social distancing membuatnya bangkrut. Tak ia duga, ketika pulang kampung, ia menularkan virus corona kepada keluarga. Kematian demi kematian yang tersayang disaksikannya sendiri.

Ada yang berkisah soal kesetiaan. Ia berhutang budi kepada majikan. Ketika sang majikan terkena virus corona, semua pergi. Tapi ia setia menemani. Sang majikan sembuh, namun ia sendiri kini di ajang ajal.

Ada pula kisah pedagang yang nekad. Ia sepenuhnya sadar hidup di kota besar. Mudah sekali ia tertular. Namun ia tak bisa berdiam saja di rumah. Anak dan istri perlu hidangan. Ia pun nekad tetap menjadi pedagang keliling.

Yang ini cerita tentang relawan. Ia mengabdikan diri merawat pasien. Begitu banyak yang ia ikut sembuhkan. Namun ia sendiri terkena virus. Ia pun menemui ajalnya.

Ada pula puisi tafsir yang sangat filosofis. Covid-19 dianggap berperan sebagai guru spritual yang tak biasa. Melalui derita panjang, ia mengajarkan manusia hal yang esensial.

Ternyata oh ternyata, di hadapan Corona Virus perbedaan agama, etnis, warna kulit dan asal negara tak ada artinya. Semua sama. Sama riskan menjadi korban.

Mesjid, Gereja, Kuil dan Sinagog, dihadapan Covid-19 sama saja. Semua sama kosong, sama tak dikunjungi, sama ditinggal.

Virus itu mengajarkan kita kesamaan manusia lebih esensial ketimbang atribut luarnya.

Ternyata oh ternyata. Ulama dan Imam besar, Paus, Pendeta, Biksu dihadapan Covid-19 sama juga. Mereka sama tak berdaya. Sama tak bisa merujuk kitab suci untuk memusnahkan virus.

Semua patuh menunggu ilmu pengetahuan. Semua menanti olah labolatorium untuk menemukan obat penawar dan Vaksin.

Virus Corona membuka mata kita seterang terangnya. Bahwa ilmu pengetahuan yang kini menjadi penyelamat.

Umumnya para penulis merekam kisah nyata. Namun kisah itu difiksikan, didramatisasi, agar lebih menyentuh, menghanyutkan.

Puisi esai mini sangat sesuai sebagai medium untuk fiksionalisasi kisah sebenarnya. Drama dan narasi diekspresikan dalam puisi. Tapi kisah yang sebenarnya dijadikan catatan kaki. Ini puisi dengan catatan kaki. (4)

Berbeda dengan puisi esai yang biasa, puisi esai mini ini karakternya tak lebih dari 5000. Puisi esai yang konvensional itu panjangnya  di atas 10 ribu katakter. Ibarat puisi esai itu novel, puisi esai mini adalah cerpen.

-000-

Kumpulan puisi esai mini menjadi istimewa, bukan hanya karena ia merekam tema besar tragedi zaman. Namun ia juga bentuk respon kepedulian penyair dan penulis.

Hadiah bagi 50 puisi esai mini yang terpilih, yang akan dilakukan di akhir Mei 2020, sebulan lagi dari waktu tulisan ini dibuat, akan menjadi derma. Semua hadiah itu akan dibelikan APD (Alat Perlindungan Diri) bagi TIM medis.

Tercatat banyak sekali tim medis yang tertular virus itu. Sebagian tak dilengkapi oleh APD yang memadai dan cukup.

Terhidanglah lebih dari 50 puisi esai mini. Tema besar yang merangkum semua adalah Love and Life in the Era of Corona.

Kumpulan puisi esai mini sekaligus menjadi pembuka edisi perdana Jurnal Puisi Esai. 

Semakin kita bersetuju. Jika ingin memahami sebuah babak dalam sejarah, kita dapat membaca buku sejarah dan dokumentasi media. Namun jika ingin merasakan batin sebuah babak dalam sejarah, kita lebih menemukannya dalam film dan sastra, dalam novel dan puisi. ***

April 2020

(PENGANTAR JURNAL PUISI ESAI, EDISI PERDANA, No 1/2020)

Catatan:

(1) Soal Oscar Schindler dapat dibaca lengkap di Crowe, David M. (2004). Oskar Schindler: The Untold Account of His Life, Wartime Activities, and the True Story Behind the List. Cambridge, MA: Westview Press. ISBN 978-0-465-00253-5.

2) List 12 film pemenang Oscar berdasarkan kisah perang


3) Berbagai puisi esai mini soal Covid 19 dapat dibaca di facebook yang dibuat khusus untuk mengumpulkan puisi: Facebook Berderma melalui Puisi Esai Mini


(4) Tentang apa itu puis esai, dan perdebatan seputar itu dapat dibaca buku: Denny JA: Menjelaskan Puisi Esai (2018)




Para penyair dalam buku Puisi Esai Mini 

MEREKA PUNYA CARA SENDIRI

Para penulis dan penyair 
dari Aceh hingga Papua
Juga dari manca negara
Dengan caranya sendiri
Merekam batin luka dan doa
Perjuangan dan harapan
Di era pandemik
Dalam puisi esai mini

Mereka juga berderma
Menyumbangkan APD
Untuk tenaga medis
dan relawan

Kita tumbuhkan spirit gotong royong
Bahu membahu
Agar para individu
Mengambil peran yang membantu
Sekecil apapun


-000-

Jurnal Puisi Esai
Edisi 1/2020

LOVE AND LIFE 
IN THE ERA CORONA

Daftar Isi:

PENGANTAR 

Denny JA: Merekam Jeritan Luka di Era Pandemik Covid- 19

Bagian Satu

1. Denny JA: Ratu Adil Bernama Virus Corona
2. Rasiah Abe (Sulawesi) : Corona dan Setumpuk Babak
3. Dhenok Kristianti (Yogyakarta) : Seusap Sabun Sekucur Air
4. Gunoto Saparie (Jawa Tengah) : Malam Penghabisan
5.  Fatin Hamama : Labbaik
6. Isbedy Stiawan ZS (Lampung) : Bawa Aku dari Penjara ini: Kisah Pasien Covid-19
7. Anwar Putra Bayu (sumsel) : Aku Jadi Asing dan Sunyi
8. Muhammad Thobroni (Kalimantan) : Kekasihku di Tengah Korona
9. Hamri Manoppo (Sulut): Berburu Masker Di Ladang Corona
10. Purnomo Jusuf (Papua) : Covid 19 dan Pesta Kematian
 
Bagian 2:

11. Jasni Matlani (Malaysia): Makanan Di Atas Meja
12. Abdul Razak Panaemalae (Thailand) :  Mutiara Geliga
13: Sonsonjan Ayu Khan (Brunei) : Covid -19 dan Pio Leo Romero
14. Siti Noraizan (Malaysia) : Jalan Lain ke Syurga
15. Dr. Djusmalinar (Thailand/Indonesia) : Amaran Covid 19 Hingga Shutdown–Lockdown
16. Norhayati Tasif (Malaysia) : Gelombang Derita Covid-19
17. Sitti Rahmah G. Haji Ibrahim (Malaysia) : Selimut Nestapa
 
Bagian 3:

18. Sastri Bakry (Sumbar): Kau , Kami Lawan dengan Senyum
19.  Narudin (Jawa Barat) : Janji Jumpa di Masa Corona
20. Anto Narasoma : Corona, Janda Tua dan Kematian Dokter Senior
21. Monica Anggi JR : Aku Jadi Bunda, Ia Jadi Janda Karena Korona
22. Halimah Munawir Tak Mudik, Ibu Tak Perlu Pilu
23. Nazrina Zuryani (Bali) : Maret 2020 Tarung Nyawaku di Perancis
24. Jonminofri Nazir : Mas Anto dan Mas Toro
25. Syaefudin Simon : Corona Mempertemukan Cinta
26. Rissa Churria (Jawa Barat) : Kutulis Puisi di Nisan Pandemi
27. Viddy Ad Daery (Jawa Timur) : Alhamdulillah Kami Sembuh Covid 19 Tapi Pernah Menangis Tiap Hari
28. Abrar Effendi (Kalimantan Selatan) Terimakasih Cintaku, Wanita Tegar Berkerudung Rindu
 
Bagian 4:

29. Bara Pattyradja (NTT) : Tolong Beri Aku Vaksin dan Kebenaran
30. Vita Balqis D : Kota Mati 2020-Kehidupan di Masa Corona
31. Azizah Zubaer (Banten): Karima, Martir Corona
32. Ira D. Aini  (Jabar): Wajah di Bawah Wabah
33. ‎Amoy Fitria : ‎ Pernikahan yang Tertunda
34. Achmad Fadil: Peluru Corona
35. Aguspar Agus : ‎ Corona, Kecil tapi Besar
36. Ratna Puri : Semesta Bernafas
37. Dwitya Aribawa : Tuhan Mempersatukan di Saat yang Tepat
38. ‎Adhyanartha Haryono : Covid-19 Menerkam Sang Pahlawan

39. M Jojo Raharjo: Tahun 2040 Setelah Covid 19
40. Ramadhani Aksyah: Kematian dan Perdebatan Hitam Putih

Bagian lima:

41. Isti Nugroho: Aku Ingin Tetap Tegak Setia
42. Iwan Partiwa: Warno, Kisah Pedagang Kecil

43. Rita Orbaningrum (Babel): Sujud yang Terhalang
44. Febry Suprapto (Jawa Timur): Jenazah Ditolak
45. Juri Durabi (Malaysia): Adakah Itu Semboyan Yang Bergema?
46. Handry TM (Jawa Tengah): Perempuan Pasar Huanan: Wei- Guixian

47.  Nia Samsihono: Mama, Nafasku Sesak Oleh Covid-19

48. Pinto Janir (Sumatera Barat): Lelaki Menyesal

49. Harlina Ahamad (Singapura):
Senjakala di East Coast dan Corona

50. D. Kemalawati (Aceh): Corona, Ini Kesaksian Ketiga

51. Swary Utami Dewi: Tak Surut Meski Corona Mengancam

52. Milastri Muzakkar (Banten): Yang Bersatu Melawan Corona

53: Gaus Ahmad (Banten): Surat Cinta Untuk Corona

54. Elza Peldi Taher (Banten): xxx (judul sedang dirumuskan)

55. Gede Joni Suhartawan (Bali): Kesaksian Merah Putih di Tengah Badai Corona

EPILOG: Perayaan Penghargaan Sastra Yang Tertunda Karena Virus Corona

Jasni Matlani (Malaysia):  Manusia dan Kemanusiaan Tanpa Diskriminasi dalam Puisi Esai

LIPSUS