Cari Berita

Breaking News

Ironi Pengelola Kantin

INILAMPUNG
Selasa, 19 Mei 2020


Ilustrasi Kantin. (Ist)

Oleh: Dalem Tehang

SETIAP kali matanya memandang bangunan terbuka yang ada di sudut kompleks asrama, hati Umar merasa tidak nyaman. Bahkan sering kali badannya bergidik. Seakan ada kekuatan mistis disana.

Pun malam ini. Selepas solat isya berjamaah di masjid dalam kompleks asrama yang tempat huniannya kini.  Dengan refleks wajahnya menengok ke arah bangunan terbuka itu saat berjalan menuju ke kamarnya. 

Meski diterangi banyak lampu dan terang benderang, namun Umar merasa ada keganjilan disana. Bulu kuduknya berdiri. Badannya bergetar. Keringat dingin sontak mengucur.

Umar buru-buru melangkahkan kakinya. Bahkan setengah berlari. Untuk bisa secepatnya sampai di kamarnya. 

"Hei Umar. Kenapa kau pucat begini?" tegur Arif, teman sekamarnya, saat Umar  berdiri di pintu kamar. 

Umar tak menjawab. Nafasnya ngos-ngosan. Ia langsung masuk ke kamar. Dan naik ke dipan tua. Meringkuk. Badannya menggigil. 

"Umar, kau ini kenapa?" tanya Arif. Penasaran dengan tingkah teman satu kamarnya yang tak biasa.

Umar tak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepalanya. Memberi isyarat bila dirinya juga tidak tahu mengapa bisa seperti orang yang tengah terserang demam tinggi.

"Ku ambilkan minum anget ya? Tenangin diri kau itu. Jangan-jangan kau ini kesambet makhluk halus penghuni bekas kantin itu," kata Arif.

Bergegas Arif mengambilkan segelas air hangat buat Umar. Yang langsung menenggaknya sampai habis.

"Makasih ya, Rif. Sudah agak enakan badanku. Alhamdulillah," ucap Umar beberapa waktu kemudian. Arif membalas dengan senyuman.

"Kau ini kenapa? Kok mendadak kayak orang meriang. Tadi berangkat ke masjid sehat-sehat aja," kata Arif kemudian. 

"Nggak tahu juga aku ini kenapa. Tiba-tiba aja badanku nggak enak. Masuk angin kali ya?!" sahut Umar, sekenanya. 

"Kau ini bukan masuk angin, Umar. Nurut aku, kau ini kesambet makhluk halus. Tadi kau pandangi bangunan bekas kantin itu ya?!" kata Arif lagi. 

Umar mengangguk. Arif pun manggut-manggut. 

"Apa ku bilang, kau itu kesambet. Kau kan penghuni baru di asrama ini. Nah, makhluk-makhluk halus penghuni bekas kantin belum kenal. Jadi mereka sebenernya cuma pengen kenalan aja sama kau," tutur Arif. 

"Kau ini ngada-ada aja, Rif. Mana ada makhluk halus mau kenalan dengan makluk kasar kayak kita ini," tanggap Umar. 

"Lha, ini buktinya. Kau abis dari masjid kan lewat deket bangunan bekas kantin. Badanmu langsung keringet dingin gini. Kau lihat apa tadi?" lanjut Arif. 

"Aku nggak lihat apa-apa. Tiba-tiba aja bulu kudukku berdiri dan berat bener langkahin kaki ini pas deket bangunan itu. Emang apa cerita yang ada di bangunan itu sih, Rif?!" kata Umar. 

"Bangunan bekas kantin itu emang dikenal angker. Semua penghuni lama asrama ini tahu semua ceritanya. Maka jarang yang berani lewat deket bangunan itu. Apalagi kalau lagi bawa makanan," jelas Arif. 

"Memangnya kenapa, Rif?" tanya Umar dengan penasaran. 

Ceritanya panjang, Arif memulai kisahnya. 
Seiring dibangunnya asrama khusus laki-laki ini beberapa tahun silam, pengelola menyiapkan fasilitas kantin bagi penghuninya. Kantin itu dikelola oleh pegawai asrama yang ditunjuk. Sedangkan pegawai kantin dipilih dari penghuni asrama yang sudah senior dan sedikit banyak punya kemampuan dalam hal masak-memasak. 

Keberadaan kantin ini, awalnya, untuk memudahkan penghuni asrama yang membutuhkan makanan di saat kiriman dari keluarganya belum datang. Atau bagi yang ingin menikmati makanan selingan. 
Dalam perjalanannya, pihak asrama juga membuka waserda. Warung serba ada. Yang menyediakan semua kebutuhan penghuni, utamanya untuk alat mandi, buku, makanan siap saji semacam mie instan, dan banyak lagi lainnya. 

Tentu saja, keberadaan kantin dan waserda itu sangat membantu penghuni asrama. Apalagi mayoritas mereka berasal dari luar kota. Sehingga semua yang mereka butuhkan untuk keseharian, cukup dengan membeli di dua fasilitas tersebut.

Namun, beberapa tahun belakangan, banyak penghuni yang enggan belanja di kantin maupun waserda. Selain karena harganya sangat mahal, juga makanan yang disediakan tidak enak dilidah. Ditambah hanya itu-itu saja makanan yang dijajakan. 

Diam-diam, banyak penghuni asrama yang menitip pada pegawai asrama untuk dibelikan kebutuhannya dari luar asrama. Selain harganya tidak selangit seperti bila membeli di kantin dan waserda, dipastikan juga bila makanannya lebih enak. 

Seiring dengan itu, pendapatan kantin dan waserda pun menurun. Ironisnya, pengelola kedua fasilitas itu bukannya mawas diri. Memperbaiki makanan yang disajikan dengan mendatangkan orang yang memang ahli memasak atau menurunkan harga-harga barang di waserdanya yang rata-rata lebih dari 100% dibanding harga diluaran.  Melainkan malah bersikap arogan. 

Semua makanan dan barang milik penghuni yang dibeli dari luar, diperiksa. Bahkan tak jarang yang disita oleh pengelola bila makanan atau barang tersebut tersedia di kantin dan waserda. 
Sikap arogan pengelola itu tentu saja menimbulkan antipati penghuni asrama. 

Berbagai saran agar pengelola memperbaiki hasil masakannya dan menambah ragam menunya, tak pernah digubris. Kantin dan waserda yang semestinya ditangani secara bisnis, diubah menjadi pemaksaan. 

Bertahun-tahun praktik pemaksaan itu berjalan. Seluruh penghuni asrama wajib membeli kebutuhannya di kantin dan waserda. Semua makanan dan barang yang dibeli dari luar, dilarang masuk. Kalau pun diselundupkan, bila diketahui pengelola, akan disita. 

Sampai suatu sore, turun hujan lebat. Air bak ditumpahkan begitu saja dari langit. Kilat pun bersambaran. Suara keras mengiringi setiap lontaran apinya. Saat itu, pengelola kantin dan pegawainya tengah berkemas untuk menutup tempat usahanya.

Ada yang sedang menyapu, mencuci alat-alat masak, dan menghitung uang yang masuk hari itu. 

Tiba-tiba petir menyambar dengan kerasnya ke bangunan kantin. Api yang menyertainya meledak kencang. Sesaat kemudian, kantin itu pun terbakar. Dan semua yang ada di bangunan itu tersambar petir. 

"Jadi, pengelola dan pegawainya ninggal semua ya saat itu," sela Umar. Tidak sabar.
Arif menganggukkan kepalanya. Wajahnya mendadak kelihatan murung. 

"Karena kejadian tragis itu makanya bangunan bekas kantin penuh mistis ya, Rif?!" ucap Umar. 

"Iya. Dan di malam-malam tertentu, kedengeran suara rintih kesakitan. Juga sesekali ada teriakan yang mengancam pembawa makanan dari luar," kata Arif dengan suara tersendat. 

"Kenapa kau jadi keliatan murung dan sedih gini, Rif?" tanya Umar. 

"Karena salah satu pegawai yang dipekerjakan di kantin yang ninggal tersambar petir itu kakak kandungku, Umar. Yang mestinya sebulan lagi sudah keluar dari asrama ini," tutur Arif. (*)

penulis: pemerhati masalah sosial dan budaya, tinggal di Bandarlampung.

LIPSUS