Cari Berita

Breaking News

Puisi 'Ramadhan', Heri Mulyadi: Sutardji Keluar dari Kredo

Sabtu, 16 Mei 2020

Heri Mulyadi, penyair Lampung. (Ist)
         
INILAMPUNG.COM - Sutardji Calzoum Bachri merilis puisi terbaru pada 21 Ramadan 1441/14 Mei 2020. Puisi dari Presiden Penyair Indonesia tersebut dipublikasi di grup WhatsApp (WA) #Jazirah Sastra pada 15 Mei 2020.

Komentar berminculan. Teraakhir dari penyair Jawa Barat, Bode Riswandi, ke WA inilampung.com, ini puisi semacam embrio dari puisi "Walau" Sutardji. "Memang energik pak tua ini," kata Boris, panggilan akrab Bode.

Sementara Heri Mulyadi, penyair Lampung yang puisinya masuk antologi puisi Berbisik pada Dunia mengatakan, akkhirnya, puisi yang tak lagi menganut kredo lamanya. 

"Puisi pengakuan tiada puisi yang lebih puisi kecuali Qur'an, walau Qur'an bukanlah puisi, bukan pula syair. Dialah hudallinnas lilmuttaqien: petunjuk jalan bagi manusia, agar menjadi orang-orang yang bertakwa," kata Heri Mulyadi, Sabtu (16/05). 

Memurut  mantan jurnalis dan anggota DPRD Kota Bandaralampung itu, pengakuan seorang Sutardji dari pergulatan panjangnya di dunia kepenyairan. Toh pada ujungnya manusia akan berpulang jua. Begitu pun dirinya.

Inilah puisi Sutardji Calzoum Bachri tersebut:


RAMADHAN

Sesedapsedapnya sajak
Di bulan Ramadhan
Lebih enak  baca Quran

Kupinggirkan puisi
ke tepi diri
Kubaca Quran
Tiap pagi dan malam

Tiap kubaca Quran
Selalu Quran
Membacaku

Mata Quran
Melahap  abjad
dan namanamaku

Terang Quran
Menyimak padat
Kalimat dan tamsil diriku

Gugup gagap aku dibuatnya

Di tepi diri
Sedih geli cemas dan kadang menahan tawa
Puisi menyaksikan aku
Gugup gagap dalam tatapan

14 Mei 2020



Penampilan Sutardji CB di Tegal Mas Island, 24-26 Januari 2020.


Masih kata Heri, melalui puisinya ini Sutardji seakan hendak menyampaikan pergulatan batin dan pikirannya, bahwa hidup tak ubah pengembaraan agar tercerahkan. 

"Setelah sekian lama melakukan pergumulan, Sutardji mengakui bahwa sebaik-baik pemberi pencerahan tak lain Al-Qur'an. Al-Qur'an saat dibaca ia bukan sekadar dibaca, tapi ia seakan pula membaca diri kita, menyingkap satu per satu, helai demi helai, setiap bagian dari diri kita hingga ke hal yang paling ingin kita sembunyikan sekalipun, sampai tak ada lagi yang bisa kita tutupi. Lalu tersingkaplah secara sempurna siapa kita sebenarnya," nilai penyair Lampung ini yang telah menerbitkan buku puisi tunggal ini. 

Dari baitnya, lanjut Heri, Sutardji merasa gigil di hadapan itu semua, karena sebagai manusia biasa, ia malu, sekaligus juga takut jika dirinya ternyata tidaklah sebaik yang ia kira atau orang lain sangka. Hatta ia sebagai seorang pujangga. 

Begitulah kita sebagai manusia pada umumnya. Selalu menyimpan sisi buruk di samping sisi baik. Kita pun boleh jadi cemas dengan sisi buruk itu tatkala kelak dimintai tanggung jawab.

Terakhir, Heri menyampaikan selamat untuk Presiden Penyair Indonesia yang telah sampai pada maqom "makrifat" melaui puisi "Ramadan" ini. 

"Sebuah pencapaian yang patut diapresiasi. Soetardji kini telah mengalami banyak transformasi. Ia tidak lagi menyihir dengan puisi-puisi mantranya, tetapi lebih banyak menggali ke kedalaman puisi sufistik yang menggelitik kesadaran kita semua," ungkap Heri, yang juga salah satu penyair peserta International Poetry Tegal Mas Island Festival 2020. (bdy/zal/inilampung)


LIPSUS