Cari Berita

Breaking News

Cawan Pecah Di Tangan

INILAMPUNG
Selasa, 09 Juni 2020

Oleh: Dalem Tehang

"PELAN-pelan aja ngebawanya. Nggak usah gugup-gugup gitu. Nah, kan akhirnya," kata Pak Raden dengan suara tinggi saat melihat Umar membawa cawan yang di atasnya terdapat secangkir kopi pahit tampak gugup dan jatuh ke lantai. Berhamburan. 

Wajah Umar spontan pucat pasi. Badannya gemetaran.

"Maaf, Pak. Cawannya pecah di tangan," ucap Umar. Terbata. Ketakutan. 

Ditunjukkannya cawan yang pecah. Terbelah. Yang masih ada di tangannya. Pak Raden tak berkomentar. Ia berdiri dari tempat duduknya. Mengelap sepatunya yang tepercik hamburan kopi pahitnya dengan tangannya. Wajahnya dingin. Menyimpan amarah. 

"Cepet bersihin ini. Karpetnya langsung diangkat. Dijemur sampai kering,"  kata Pak Raden. Masih dengan nada tinggi. 

Umar menganggukkan wajahnya. Buru-buru ia ambil alat-alat pembersih.

Saat matahari mulai meredup dan sore menjelang, pertanda jam aktivitas di luar ruangan selesai, Umar dipanggil Chandra. Wakil koordinator tamping di rumah tahanan. 

"Mulai besok, kamu berhenti jadi tamping. Ini keputusan Pak Raden," ujar Chandra. 

Umar hanya terdiam. Tak tahu harus bicara apa. Ia tahu, siang tadi telah membuat kesalahan. Walau semua terjadi diluar dugaannya. Saat mengantar minuman kopi untuk Pak Raden yang menjabat koordinator tamping, mendadak cawan di tangannya pecah. Sehingga cangkir berisi kopi pahit yang di atasnya pun jatuh dan air kopinya berhamburan.

Namun, sungguh tidak disangkanya bila kesalahan tak disengaja itu langsung menutup kegiatan kesehariannya sebagai tamping. Sebuah kegiatan yang diidamkan para napi dan tahanan karena bisa bebas keluar kamar sel pada jam-jam tugasnya.

"Kamu yang sabar aja, Umar. Mau gimana lagi. Ini sudah keputusan Pak Raden. Jangan dibantah apalagi melawan, kalau nggak mau nambah masalah," kata Chandra. Membuyarkan lamunan Umar.

"Ya tapi kan kelewatanlah. Masak cuma karena kopinya tumpah tanpa sengaja gitu aja langsung brentiin jadi tamping. Aku ini sudah 3 tahun lo jadi tamping. Pak Raden belum masuk rutan ini, aku sudah jadi tamping. Jangan karena jadi koordinator terus semaunya aja bersikap," ucap Umar dengan suara berat. Menahan gelegak hatinya yang tidak karuan. 

"Ini penjara, Umar. Jangan bicara soal pengertian dan sebangsanya. Nggak laku disini. Ini dunia terbalik. Siapa kuat akan berpangkat. Ikuti aja maunya Pak Raden. Nanti pelan-pelan saya ajak dia bicara. Siapa tahu dia juga bisa pahami kalau kejadian tadi bener-bener nggak disengaja," sahut Chandra sambil menepuk bahu Umar. Menenangkan. 

"Silakan aja kamu bicara dengan Pak Raden ya, Chand. Tapi jangan berharap aku mau balik lagi. Aku nggak bakalan mau jadi tamping lagi selama Pak Raden masih jadi koordinator. Katanya dia dulu pejabat. Mestinya ya ngertilah gimana ngayomi kita-kita ini," kata Umar. 

"Ya sudah kalau begitu. Ayo kita balik ke kamar," ujar Chandra mendinginkan suasana. 

Sejak selepas maghrib sampai matahari terbit, sekejap pun Umar tak bisa tidur. Pikirannya melayang kemana-mana. Bukan pada peristiwa yang membuatnya diberhentikan sebagai tamping dan arogansi Pak Raden, namun pada tragedi pecahnya cawan di tangannya. 
Ia merasakan bila pecahnya cawan di tangan adalah isyarat yang kurang baik bagi kehidupannya ke depan. 

"Ya, Tuhan. Isyarat apakah yang Engkau kirimkan dengan pecahnya cawan di tangan kemarin siang itu," desah Umar berkali-kali.

Hatinya benar-benar resah. Bayangan peristiwa pecahnya cawan di tangan terus berulang. Membayang di pikirannya. 
Selepas makan siang, saat santai nonton tv di gazebo depan kamar tahanannya, Umar diberitahu bila dirinya di-bond ke ruang kantor. Buru-buru ia ganti pakaian. Dan menuju ke ruangan yang dipesankan. 

Saat membuka pintu ruangan, ada tiga laki-laki disana. Salah satunya pegawai rutan. "Duduk sini, Umar. Mereka berdua ini meminta izin untuk ketemu dengan kamu. Katanya ada hal penting yang akan disampaikan," kata pegawai itu. 

Umar mengambil posisi duduk di sudut ruangan. Ia menganggukkan kepalanya. Mempersilakan kedua tamu tersebut menyampaikan maksudnya. 

"Begini, Pak Umar. Kami pengacara dari Ibu Dewi. Istri Anda. Beliau memberi kuasa kepada kami untuk mengajukan gugat cerai. Kami datang kesini untuk meminta tandatangan Anda sebagai persyaratan persetujuan untuk perceraian," kata salah satu dari tamu itu. 

Umar terhenyak. Hingga kursi yang didudukinya sempat bergerak. 
"Nggak salah, Pak? Istri saya ajukan gugatan perceraian?" tanya Umar setelah menenangkan dirinya.

Kedua laki-laki yang mengaku pengacara itu pun mengangguk bersamaan. Menyodorkan map berisi berkas-berkas dan mempersilakan Umar untuk membacanya.

Dengan cermat, Umar baca satu persatu berkas di tangannya. Memang betul bila Dewi menggugat cerai dirinya. 

"Saya kenali, ini semua tandatangan istri saya. Kalau bisa, tolong teleponkan dia. Saya ingin bicara yang terakhir kali sebelum saya tandatangani persetujuan untuk cerai ini," ucap Umar dengan sopan dan suara yang datar.

"Mohon maaf, Pak. Ibu Dewi berpesan kepada kami kalau beliau tidak ingin ada komunikasi lagi dengan Anda. Jadi kami tidak bisa penuhi keinginan untuk telepon beliau," kata salah satu pengacara itu.

Umar tersenyum. Tipis. Tanpa bicara lagi, diambilnya surat persetujuan pengajuan gugatan cerai dan ditandatanganinya.
"Sudah selesai urusan saya, Pak. Boleh saya kembali ke dalam?!" kata Umar kepada pegawai rutan yang mendampinginya. 

Sesaat kemudian, Umar sudah di selnya. Duduk d sudut kamar. Menikmati secangkir kopi sambil merokok. Asap rokoknya dihembuskan jauh-jauh. Seakan membuang jauh-jauh kegalauan hatinya.
Mendadak Pak Raden muncul ke kamarnya. Umar bergegas berdiri. 

"Santai aja, Umar. Saya datang untuk minta maaf atas peristiwa kemarin," kata Pak Raden sambil mengulurkan tangannya.

Umar menyambut uluran tangan Pak Raden dengan kedua tangannya. Juga membungkukkan badan. Pertanda hormat. 

"Saya ikut prihatin atas masalahmu, Umar. Yang sabar dan ikhlas ya. Jodoh, rejeki dan maut itu rahasia Tuhan. Kita nggak pernah tahu apa yang bakal terjadi sama kita sore nanti," ucap Pak Raden sambil menepuk bahu Umar. 

"Apa yang Pak Raden tahu atas masalah saya?!" sela Umar. 

"Umar, di penjara itu tembok aja bisa ngomong dan cerita. Apalagi penghuninya. Kabar pengacara nemuin kamu karena istrimu gugat cerai sudah jadi rahasia umum disini. Makanya saya pengen langsung nemuin kamu. Support kamu," lanjut Pak Raden.

Umar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Terimakasih atas perhatian dan supportnya, Pak. Saya nggak apa-apa kok. Semua sudah garis tangan saya. Menyesakkan gimana juga, ya harus saya terima," kata Umar sambil mencoba tersenyum. 

"Saya percaya kamu laki-laki tangguh. Saya siap jadi tempatmu berbagi. Kapan aja kamu perlu teman ngobrol, bilang aja," ujar Pak Raden. 

"Terimakasih banyak sebelumnya, Pak. Mohon maaf juga kemarin siang saya berbuat salah. Menumpahkan kopi," kata Umar. 

"Kamu nggak salah. Semaleman saya introspeksi kejadian kemarin itu. Saya terlalu egois dan arogan. Saya bertindak tidak cerdas dengan berhentiin kamu begitu aja. Padahal kejadian itu bukan kesengajaan kamu. Saya juga berpikir kok bisa cawan itu pecah di tanganmu. Isyarat apa ini. Tadi terjawab, ternyata kejadian itu isyarat kamu digugat cerai istrimu. Saya ikut prihatin dan simpati," kata Pak Raden. Panjang lebar.

"Sama, Pak. Saya juga mikirin soal cawan yang pecah mendadak itu. Ternyata ya itu jawaban yang saya tanyakan pada Tuhan atas isyarat tersebut," timpal Umar. 
"Kamu sudah berapa lama berumah tangga dan berapa anakm?" tanya Pak Raden. 

"Baru 4 tahun 2 bulan kami berumah tangga, Pak. Anak saya satu. Perempuan. Kalaupun ada yang saya sesalkan, kenapa istri saya justru ajukan gugatan cerai pada saat masa tahanan saya tinggal 2 bulan lagi. Selama 3,5 tahun ini dia bisa tetap setia. Bertahan menunggu saya bebas. Kok pas diujung waktu saya keluar, malah dia minta cerai," ucap Umar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ya inilah kehidupan, Umar. Kita hanya bisa berencana, Tuhan yang berkuasa menentukan semuanya. Sabar dan ikhlas aja. Moga-moga nanti kamu dapatkan pengganti yang lebih baik lagi. Kita nggak tahu rahasia kehidupan," kata Pak Raden seraya memeluk Umar. Yang m eski terpuruk ke titik nadir namun masih bisa tersenyum. (*)

Penulis: pemerhati masalah sosial dan budaya, tinggal di Bandarlampung.

LIPSUS