Cari Berita

Breaking News

Duka Baru Di Atas Duka Lama

INILAMPUNG
Senin, 08 Juni 2020

Oleh Dalem Tehang

DIKEHENINGAN malam, laki-laki itu duduk tepekur di atas sajadah. Mulutnya komat-kamit. Wirid. Matanya memejam. Namun air tetap merembes dari sudut matanya. Jatuh satu persatu ke pangkuannya. Membasahi kain sarung yang dipakainya.

Kumandang azan mengusik kesyahduannya bercengkrama dengan Sang Penguasa Alam Semesta. Perlahan dihapusnya bekas tetesan air mata yang membasahi pipi. Ia berdiri. Solat sunnah. Dilanjutkan subuhan.

Selepas itu, ia kembali  tepekur. Duduk merundukkan wajahnya. Tasbih ditangannya terus bergerak. Begitu syahdu ia merangkai ungkapan puja-puji bagi Sang Maha Pencipta. 
Sampai kemudian sebuah suara menegurnya: "Umar, kamu di-bond. Cepat ganti pakaian!"

Laki-laki berusia 30 tahunan bernama Umar itu menghentikan wiridnya.  Menengokkan wajahnya ke arah pintu. Seorang petugas penjaga tahanan berdiri tegap di depan kamar selnya. 

Umar segera berganti pakaian. Kaos dan celana pendek. Setelah keluar kamar, ia ikuti langkah petugas menuju ke suatu ruangan. 

Ada empat petugas di ruangan itu. Wajah mereka tampak tegang. Umar duduk di kursi yang ada di sudut. Menunduk. Hatinya berdebar. Pikirannya tidak karuan. 

Mental Umar memang sudah down. Sejak sebulan ini menjalani penahanan di Polda sebagai tersangka kasus penyaluran pupuk subsidi tidak sesuai dengan zonanya. 

Umar yang sehari-hari berprofesi sebagai sopir, sejatinya tidak terlibat langsung dalam kasus yang membuatnya dibui. Ia bukan pemilik barang, pun bukan pengemudi saat truk milik bosnya dipergoki aparat Polda tengah mengangkut pupuk subsidi keluar dari zona peredaran yang telah ditentukan. 

Pengemudi truk yang mengangkut pupuk subsidi dari Bandarjaya, Lampung Tengah, ke sebuah gudang di kawasan Natar, Lampung Selatan, adalah temannya. Yang memang sering diajaknya sebagai sopir cadangan. Umar terseret karena sopir cadangan itu menyebut namanya. Ironisnya, justru sopir cadangan dilepaskan dan Umar yang ditahan. 

Dalam keironisan itu sejuta pertanyaan bergulat dipikirannya. Namun tak pernah terjawabkan. Karena penyidik telah menetapkannya sebagai tersangka. Umar tak punya daya apa-apa. 

"Kamu mau ngopi atau teh?" tanya salah satu dari empat aparat yang ada di ruangan. Membuyarkan lamunan Umar. 

"Nggak usah, pak. Terimakasih. Saya sedang puasa," jawab Umar. Terbata. 

Keempat aparat itu berpandangan. Lalu sama-sama menganggukkan kepalanya. Hati Umar makin berdebar. Keringat dingin mulai mengucur. Pikirannya berkecamuk. 

"Ayo kita berangkat. Bawa itu baju tahanan," kata aparat itu sambil menunjuk baju tahanan warna merah yang ada di sudut ruangan. 

Buru-buru Umar memenuhi arahan aparat. Sesaat kemudian mereka keluar ruangan. Menuju parkiran. Melewati lorong panjang. 

Sampai di parkiran, mereka masuk  kendaraan. Kijang Innova. Umar duduk di kursi tengah. Diapit petugas.

Kendaraan meluncur kencang. Umar tak berani bertanya apa-apa. Karena empat aparat Polda yang membawanya juga hanya diam. Tak berkata apa-apa. Sekitar satu jam perjalanan, kendaraan berhenti di pos polisi Bandarjaya. Melapor.

Saat itu Umar baru menyadari bila ia akan dibawa ke rumahnya. Tapi untuk apa? Pertanyaan itu menggelayuti pikirannya.

Ternyata benar. Setelah mampir pos polisi, kendaraan yang membawanya menuju jalan ke Karang Endah. Lokasi rumahnya.
Saat kendaraan yang membawanya masuk ke jalan arah rumahnya, perasaan Umar semakin tidak karuan. Apalagi dari jauh dilihatnya bendera kuning berkibar di depan rumahnya.

"Astaghfirullah. Ada apa ini, pak?" tanya Umar dengan suara tersendat. Tak satu pun aparat yang membawanya menjawab.
"Kamu pakai baju tahanannya. Dan sesuai protap, kamu harus diborgol," kata salah satu aparat yang membawanya. 

Umar ikuti arahan petugas. Sampai kendaraan berhenti di depan rumahnya.
Tenda terpasang di halaman. Puluhan orang tengah bergerumbul disana. Turun dari kendaraan, buru-buru Umar berjalan.

Langkahnya terhenti saat seorang wanita paruh baya menggendong bayi dan menyerahkan ke Umar. Dipeluknya bayi berusia 5 bulan itu. Anak keduanya itu diciuminya. Air mata Umar mengucur. Tak kuasa menahan haru. 

Mendadak datang anak laki-laki usia 7 tahunan. Langsung menggelayut di kakinya. Anak ini menangis. 

"Ibu, ayah. Ibu ada di keranda," kata anak itu sambil mendongakkan wajahnya melihat wajah sang ayah. 

"Innalillahi wainna ilaihi rojiun," kata Umar sambil menyerahkan anak bayinya ke wanita yang tadi membawanya.

Setengah berlari ia menuju pintu rumahnya. Matanya menatap keranda berisi jenazah yang telah berkafan. 

Ia jatuhkan badannya. Memeluk jenazah sang istri. Umar menangis sesenggukan. Menahan sejuta pilu dan kesedihan. 
Ia ingin melihat wajah wanita kesayangan yang telah terbujur kaku untuk terakhir kalinya. Wanita yang enam tahun menjadi belahan jiwanya. Wanita yang telah memberinya dua anak laki-laki.

Namun keinginan Umar tak terwujudkan. Saat itu jenazah istrinya sudah dikafani dan disolatkan. Tinggal dibawa ke pemakaman. Menunggu Umar datang.
Di liang lahat istrinya, Umar yang memakai baju tahanan dengan tangan terborgol, mengumandangkan azan dan qomat. 

Suaranya parau dan berat. Diiringi linangan air yang bertumpahan dari kedua matanya.
Puluhan orang yang hadir di pemakaman tak kuasa menahan kesedihan. Suara tangisan lirih bersahutan. Sebuah prosesi pemakaman yang benar-benar menyesakkan. 

Setelah semua pengantar jenazah meninggalkan makam, Umar baru beranjak pergi. Itu pun karena ia diingatkan aparat yang terus mendampinginya. Sempat mampir sekitar 15 menit ke rumahnya, Umar kembali masuk ke kendaraan yang membawanya. Kembali ke Polda.

Memasuki selnya lagi, Umar disambut penghuni lainnya dengan pelukan kedukaan dan keprihatinan. Mereka sudah diberi kabar oleh petugas bila istri Umar meninggal dunia. Suasana kamar tahanan berubah muram. Semua ikut berkabung. 

Usai solat maghrib berjamaah, semua penghuni sel tempat Umar ditahan, mengadakan pengajian. Dipimpin Pak Raden yang hafidz qur'an dan pernah tiga tahun belajar di Mekkah, Arab Saudi, pembacaan yasin dan tahlil untuk istri Umar berlangsung penuh kekhusu'an dan kesedihan.  Selama tujuh malam berturut-turut kegiatan pengiriman doa itu dilakukan.

Setiap malam, di saat penghuni kamar tahanan lainnya tidur, Umar bangun. Duduk sendirian di pokok ruangan. Laki-laki berusia 30 tahunan ini benar-benar sangat berduka. Dukanya karena harus hidup ditahanan bertambah dengan kehilangan istri tersayang. 

"Kami semua tahu dukamu, Umar. Tapi kamu tidak sendirian. Kami semua di sel ini adalah saudaramu. Tetaplah tegar dan kuat. Yakin saja, Allah tidak akan beri ujian diatas kemampuan kita menghadapinya," kata Pak Raden sambil duduk menemani Umar yang tengah terpaku dalam kegoncangan. 

Umar menganggukkan kepalanya. Tanpa memberi jawaban. Duka baru di atas duka lama yang dirasakannya sangat mengharubirukan jiwanya. (*)

penulis: pemerhati masalah sosial budaya, tinggal di Bandarlampung

LIPSUS