Cari Berita

Breaking News

Tantangan KBM Era Korona

INILAMPUNG
Minggu, 30 Agustus 2020

PROGRAM “Merdeka Belajar” yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim seolah menemukan relevansinya. Bahkan, pembenar dan harus diwujudkan insan pendidik di tengah musim pagebluk sekarang ini. 

Merdeka belajar, pasti berkorelasi dengan guru penggerak, intensitas dan kemampuan lebih untuk melibatkan banyak pihak terkait perkembangan dan kemajuan peserta didik. 

Pembenaran  sekaligus pelaksanaan atas program itu, harus diwujudkan oleh pelbagai pihak, terutama pihak sekolah, guru, orang tua, dan pelajar itu sendiri, agar tidak tertinggal dalam menempuh tahun ajaran baru. 

Ketertinggalan pendidikan akibat wabah Covid-19, bisa berdampak pada defisif di berbagai bidang. Sampai yang paling berbahaya, defesit belajar bagi anak-anak yang menjadi tumpuan masa depan bangsa. 

Merdeka belajar, merupakan kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang layak diapresiasi. Namun demikian, ada beberapa catatan yang coba penulis kajiurai dalam upaya memastikan suksesnya sistem belajar di tengah ancaman internal dan eksternal pembelajaran era berjangkitnya virus Covid-19 ini. 

Ancaman internal misalnya, anak lebih suka bermain internet, game, membuka aplikasi hiburan dan semacamnya dibanding mempelajari materi tutorial atau modul pembelajaran dari guru. Begitu juga di ranah eksternal, suasana keluarga atau kondisi, sarana dan prasarana belajar online yang tidak mendukung dapat menjadi ancaman kemalasan belajar tersendiri bagi pelajar.  

Ejawantah Merdeka
Tahun ajaran baru saat ini, 2020/2021 merupakan sejarah lahirnya generasi yang mengadopsi sekaligus menjalankan substansi dari merdeka belajar. Tepatnya, peserta didik dipaksa tertib mengikuti aturan dan kegiatan belajar mengajar (KBM) sejalan dengan pemberian tugas serta tanggung jawab penuh pada semangat dan antusiasme belajar yang ada pada dirinya sendiri.

Menariknya, semangat belajarnya lebih tinggi, waktu belajarnya lebih lama, namun peserta didik merasa gembira, tanpa tekanan dan keletihan menjalankan kewajiban sekolah. Merdeka belajar hanya menempatkan peserta didik dari awalnya sebagai objek yang mesti belajar, menjadi subjek pembelajaran yang punya cita-cita besar dengan pemahaman-pemahaman atas mata pelajaran.

Setidaknya, hal itu merupakan beberapa keuntungan penerapan sistem merdeka belajar di tengah wabah Korona. Meski demikian, harus diakui ada juga beberapa kelemahan akibat sistem belajar daring. Seorang guru hanya bisa melihat kehadiran melalui absensi dan komunikasi virtual, sehingga segitiga hubungan antara orang tua, guru dan siswa dalam naungan sekolah, sepenuhnya bisa terwujud jika ada kerja sama yang baik dan kesepakatan-kesepakatan yang semua pihak, merasa merdeka.

Merdeka sendiri sering identik dengan kebebasan. 

Merdeka belajar berarti tidak ada pihak-pihak yang memaksakan kehendak. Melainkan semua bermuara pada semangat belajar yang fase awal dibangun adalah dari peserta didik itu sendiri. Guru dan orang tua adalah fasilitator yang intensif memberikan motivasi dan semangat agar siswa memhami perannya sebagai insan pembelajar. 

Siswa yang bebas mengerjakan tugas sesuai dengan kemauan tanpa unsur paksaan. Melainkan wujud dari kesadaran akan semangatnya memahami ilmu, merupakan target awal dari pemberlakuan sistem “Merdeka Belajar”.

Modul siswa berupa penugasan, misalnya pada mata pelajaran menghafal doa-doa dan hadits, project best leraning dan life skill learning. Terutama bagi anak usia Sekolah Dasar, dimana penulis menjalani aktifitas sebagai guru kelas, sering menemukan fakta, merdeka belajar adalah kebutuhan mutlak terselenggaranya sistem pendidikan yang terukur dan lebih memiliki dampak terhadap capaian-capaian kurikulum.   

Pada sistem project best learning misalnya, metode pembelajaran menggunakan proyek prakarya atau kegiatan sebagai media. Dimana peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. Meski metode ini butuh stimulan dengan video tutorial dari guru dalam melakukan percobaan. Terungkap, peserta didik banyak yang senang dan menikmati sistem belajar. Banyak anak usia sekolah dasar yang kebetulan menjadi peserta didik yang penulis asuh, mengaku lebih gembira karena mereka merasa terlibat dalam proses KBM dengan model pengaturan waktu sesuai keinginan. 

Pada metode life skill yang mengasah peserta didik pada kemampuan berperilaku yang adaptif dan positif. Terbukti mampu membuat peserta didik menyelesaikan kebutuhan dan tantangan sehari-hari dengan efektif. Banyak orang tua yang merasa terbantu atas prilaku anaknya karena ada perubahan mendasar pada diri anak sejak berlakunya sekolah online. Misalnya, menyapu, mencuci piring setelah makan, membersihkan kamarnya, membuat permainan kreatif dengan barang bekas, dan lain semacamnya. Merupakan aktifitas harian yang sering dianggap remeh akan tetapi berdampak positif.

Ditambah, dengan pemberian modul, guru dan siswa  sudah merasakan merdeka belajar. 

Merdeka belajar menjadi kunci dalam pembelajaran. Merdeka belajar dan guru penggerak sendiri, memang bukan ilmu baru dalam dunia pendidikan. Adalah Carl R Rogers yang merumuskan Freedom to Learn, dimana tokoh psikologi humanistis ini menyatakan; “Sekolah kita umumnya sangat tradisional, konservatif, birokratis dan resisten terhadap perubahan. Salah satu cara yang harus dilakukan untuk menyelamatkan generasi muda ini adalah melalui kemerdekaan belajar.”

Dimana konsep Merdeka Belajar yang harus diimbangi dengan Guru Penggerak sebagaimana dirumuskan Meteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim itu, sejalan dengan teori Carl Rogers. Yakni, guru adalah fasilitator yang berperan aktif dalam membantu menciptakan iklim belajar yang kondusif dan siswa bersikap positif terhadap KBM. Guru juga mesti mampu membantu siswa memperjelas tujuan belajarnya. Memberi motivasi belajar sebagai usaha mewujudkan cita-cita, dan juga mesti menerima pertanyaan, pendapat, serta ungkapan perasaan peserta didik untuk menemukan kunci semangat belajar. Yang outputnya, belajar bukan lagi beban bagi psikologi anak, melainkan arena bermain yang menggembirakan, penuh keilmuan dan latihan menalar secara komprehenshif. 

Kendala Penerapan PJJ
Akibat diberlakukannya sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini, meski secara konsep merdeka belajar banyak terpenuhi, sekolah daring atau penerapan PJJ bukan tanpa kendala. 

Kendala utama selama penerapan PJJ atau pembelajaran daring ini; Pertama, guru merasa terbebani dengan penuntasan kurikulum. Kita ketahui, selama triwulan pertama tahun ajaran baru 2020/2021 ini, semua aktifitas KBM dilakukan secara virtual. Meski jam sekolah yang digunakan guru sesuai prosedur namun interaksi secara online, terbatas. Tidak sepenuhnya komunikasi antara guru dan murid dilakukan. Bahkan, nyaris belum ada sekolah level dasar yang selama sekolah daring, semua jam pelajaran dilakukan live. Yang ada, hanya paparan dalam bentuk video pembelajaran, atau kolom absensi, lembar kerja yang sepenuhnya tak dapat dipantau kapan peserta didik mengisi dan mengerjakannya. Proses evaluasi hanya bisa dilihat keesokan harinya, siapa mengerjakan apa, sementara modul mata pelajaran harus masuk ke bab selanjutnya.

Kedua, pendampingan orang tua lebih intens yang sering mendapat perlawanan. Bagian kekurangan sekolah daring ini, seringkali membuat orang tua terkesan lebih sibuk dibanding membuat home schooling. Apalagi media dan aplikasi yang dipakai sekolah berbasis internet semua, dimana tidak semua orang tua memahaminya.  

Ketiga, anak lebih banyak melakukan aktifitas di luar belajar. Sebuah prilaku yang sulit dikontrol jika kendala kedua terkait gagap tekhnologi orang tua itu, pasti berdampak pada capaian belajar anak. Apalagi jika masih kelas bawah di Sekolah Dasar.

Beberapa orang tua juga merasa kesulitan dalam mengikuti aturan PJJ ini karena waktunya, habis hanya untuk mendampingi anak mengisi beragam materi metode belajar daring. Terlebih jika anak usia sekolah lebih dari satu, sementara kedua orang tuanya harus bekerja di jam sekolah.

Pengalaman penulis, ada orangtua yang merasa stress dalam memotivasi dan mendampingi anak menyelesaikan tugas sekolah. Pembelajaran daring yang sudah berjalan dari bulan Maret sampai sekarang, akhir Agustus 2020, banyak juga berakibat pada tekanan psikologis anak. 

Pada perbincangan dengan sejumlah anak, penulis banyak menemukan kasus-kasus serupa. Selain orang tua mulai jenuh hingga muncul semacam gugatan atas tagihan beaya sekolah, juga anak–anak yang merasa jenuh dalam melaksanakan aktifitas harian di rumah. Beberapa peserta didik, dalam pengerjaan tugas tanpa didampingi orang tua di rumah. Artinya, ada jeda, anak bebas bermain internet yang meski bisa dikontrol lewat beragam pembatasan akses, namun fakta yang ada, beragam akun medsos anak lebih sering update.

Rindu Sekolah
Wabah Covid-19, yang memaksa warga membatasi interaksi dengan warga lain, dan diberlakukannya karantina wilayah untuk menekan angka inveksi virus korona, membuat perbedaan mendasar proses dan seluruh kegiatan belajar mengajar (KBM) yang mestinya sudah masuk semester pertama bagi peserta didik baru. 

Saat ini, anak-anak mulai berlatih mengerjakan ujian tengah semester, memulai praktek lapangan, prakarya, dan atau sudah ujian akhir semester. Sebagai alat ukur atas pendalaman setiap materi pelajaran sesuai kebijakan masing-masing sekolah, serta masing-masing mata pelajaran.

Periode tahun ajaran baru, biasanya ditempuh orang tua siswa dengan berbagai ritual rutin, mencari sekolah, membeli seragam, perlengakapan alat tulis, dan dimulai dengan mengantar anak sekolah di hari pertama belajar, dimana periode Menteri Pendidikan Anies Baswedan juga dikenal dengan program orang tua siswa. Yakni, antar dengan bangga, dilepas dengan doa. Sekarang, nyaris semua ritual rutin tahun ajaran baru tak dilakukan karena semua dimulai dari rumah. 

Aktifitas kegiatan belajar mengajar (KBM) dijalankan secara daring meski secara substantif menemukan keungulan diberbagai disiplin dan karakter anak, terutama pada prihal tanggung jawab, namun setelah lebih lima bulan sekolah daring ini hampir semua orang tua mengeluh. Yaitu, kedisiplinan anak memainkan perangkat yang terkoneksi internet. Terkesan sekarang ini, dibanding ancaman korona, orang tua lebih khawatir pada akses game online, media sosisal, tontonan live tanpa batas dan jeda. 

Hampir semua pertanyaan orang tua dan peserta didik selalu menyangkut, kapan sekolah? 

Tagline iklan yang familiar di era awal pencanangan wajib belajar sembilan tahun; "Ayo Sekolah" itu, sekarang begitu indah karena sangat dirindukan.(*)

YENI PUSPASARI, S.Pd
Guru SDIT Baitul Janah

LIPSUS