Cari Berita

Breaking News

Membaca "Hipotesa" Priska

Jumat, 18 September 2020


Oleh Endri Y

HALAMAN belakang buku antologi puisi berjudul Hipotesa ini, membuat saya terbelalak. Siapa gerangan Priska Putri Asmiranti ini?


Bagaimana bisa, Jokpin dan Paus Sastra Lampung berkomentar tentang puisi-puisinya?


Lama saya membolak-balik. Lalu merobek sampul plastiknya.


Desain sampul depan, model lukisan abstrak berwarna; kuning, putih, merah jambu, hitam, dan putih itu, dibuat Rambo Moersid, lalu dimulai dengan catatan "Pembuka" yang mendeskripsikan "paradoks keindahan" yang ditulis Joko Pinurbo, sang penyair Khong Ghuan.


Buku setebal 120 halaman dengan 51 judul puisi karya Priska Putri Asmiranti, Siger Publisher, 2020 itu, benar-benar mengejutkan. Sebab, dibuka dengan prolog dari Joko Pinurbo dan epilognya, ditulis Isbedy Stiawan ZS. Dua penyair besar yang juga idola saya. Keduanya, mengendors puisi Priska. Di sampul belakang buku itu.


Isbedy Stiawan ZS menyatakan; "Puisi Priska dalam buku ini memberi ruang kebenaran. Mengajak saya bermain dengan imajinasi yang selalu bergerak."


Sementara, Joko Pinurbo, menegaskan; "Puisi Priska merumuskan premis bahwa keindahan sejati ialah ketika sanggup bertahan dan tetap merayakan hidup di tengah situasi dan kondisi yang tidak indah."


Dua penyair besar yang ada dibuku berjudul Hipotesa itu, membuat daya tarik tersendiri. Namun demikian, membaca sajak-sajak di dalamnya, kita seakan diseret masuk pada perjalanan penyair ke berbagai negara yang jadi penanda lokasi puisi, secara acak, diberi kodifikasi. Terpotong-potong, tersembunyi, kosong. Kadang serupa pendapat Jokpin. Yakni, paradoks. Ada yang diberi tanda, Leer, Jerman, 2018, Singapura, 2019, Temasec, Roonterdam, Jakarta, Bogor, Yogyakarta, Bintaro, tanpa waktu/tempat, dan yang menurut saya paling menarik adalah puisi berjudul “Cinta Di Balik Awan” diberi lokasi, Ritz Carlton Hotel Hongkong, 2019. Judul itu, membuat penulis ingat pada pengertian hipogram untuk dapat menikmatinya;


Berdiri di pelipis langit

Aku bacakan setiap syair

Dari seberang belahan bumi

 

Sebuah kota gemerlap

Di bawah temaram cahaya bulan

Seperti melodi harmonika

Di antara lampu-lampu kota

 

Gedung-gedung kota berderap

Di balik awan senja

Seperti alunan harmoni

Terukir dalam bait-bait puisi

 

Seorang lelaki tua berjalan

Menyisir jalan-jalan kota

Memunguti setiap kata cinta

Yang jatuh oleh angin malam

 

Kata-kata cinta disimpan

Di balik awan

Jatuh di bawah rintik hujan

Menyirami setiap jejak kau lalui


Lalu, saya selain mengulang-ulang bacaan di halaman 63 itu, mencoba sembari mendengar lagu “Cinta Selembut Awan” karya Katon Bagaskara. Juga, melihat film pendek dengan judul yang sama, “Cinta di Balik Awan” di akun youtube milik Umay Shahab. Terlitas, jika memakai pisau analisis semiotik Michael Riffatere, kita mengenal istilah hipogram. Semacam usaha pembacaan melalui teks-teks lain yang menjadi latar sebuah penciptaan teks sastra, yang dalam hal ini puisi berjudul Cinta Di Balik Awan karya Priska itu.  


Entah mengapa (Di) tersebut ditulis dengan huruf “D” kapital. Meski pada judul di daftar isi, memakai “d” kecil. Sementara yang berjudul “Kidung Di Garis Waktu” hlm.30, pada daftar isi huruf kapital, di dalamnya juga memakai huruf kapital. Inikah licentia poetica? Atau sekadar kesalahan ejaan yang tak disengaja? Atau pilihan theme fonts, sebatas jenis huruf pada pengetikan di komputer?


Lebih jauh, saya melihat, teks dari puisi Priska bisa juga kita temukan ungramatikal. Yakni pada kalimat; Berdiri di pelipis langit jika dibuat semacam tabel teks-teks hipogram, menimbulkan ungramatikalitas karena pada bait selanjutnya, setelah Aku bacakan setiap syair, diikuti keterangan; Dari seberang belahan bumi. Pertanyaan yang muncul, apakah ada di “pelipis langit” atau di “seberang belahan bumi” dan atau, yang dimaksud Priska sebagai pelipis langit, seberang belahan bumi itu adalah hotel Rizt Calton, Hongkong?


Hipogram juga ternyata, bisa diaplikasikan pada puisi “Kasidah Kesunyian” hlm.91; Menanti matahari terbenam/sebelum malam datang mengisi. Puisi Priska ini mengingatkan kita pada “Kasidah Sunyi” karya Acep Zamzam Noor; Dari keluasan tak bisa kujengkal jarak lagi/Matahari hanya mengisyaratkan keagunganmu yang jauh.


Kita ketahui bahwa kajian intertekstual maupun bentuk transformasi teks hipogram dari karya yang sudah ada menjadi karya baru, secara teori ada beberapa macam, yang menurut Yasraf Amir Piliang dalam Hiperrealitas Kebudayaan, LkiS, 1999 halaman 72, diungkap ada permodelan; pastiche, parodi, kitsch, camp, dan skizofrenia. Dalam usaha merumuskan ciri idiom estetik seni teks transformasi pada puisi Priska juga mengingatkan kita pada diksi yang dipakai Chairil Anwar; “Derai-Derai Cemara”. Yakni, “Rindu dan Jarak Waktu”; Angin berdesah-desah di ujung senjaku/Barisan cemara berderai-derai, melantunkan rindu. Hlm.39


Bandingkan dengan karya Chairil; “Cemara menderai sampai jauh/Terasa hari akan jadi malam”.


Saya merasakan Hipotesa ini semacam permenungan penulisnya untuk menemukan tatal-tatal kedirian seperti diungkap; Kata-kata lindap dalam pekat malam/Bait-bait puisi terasa kelam/Di balik derai hujan// dalam “Rentang Waktu” hlm 41.


Artinya, buku puisi ini masih perlu diendapkan agar tak sebatas jadi catatan perjalanan dan kata hati penulisnya. Maaf, menurut saya lebih puitis lagu Katon Bagaskara Cinta Selembut Awan dibanding puisi Cinta Di Atas Awan.


Semoga tetap ada karya-karya baru dari Priska Putri Asmiranti, mengingat Hipotesa adalah karya keduanya setelah antologi puisi, Monolog di Tengah Salju, 2019.


Buku ini, masih membuat saya penasaran. Meminjam puisi “Nyanyian Malam” hlm.73 itu; Apa yang kau impikan tuan penyair? Sebab, mengingatkan saya pada pernyataan almarhum Sapardi Djoko Damono yang menghebohkan itu; “Nulis saja, sastra itu tanpa kaidah.”


Dan pada “Penyair Kota Tua” hlm 97, ada semacam kunci; Serpihan-serpihan mimpi/Yang kurajut kembali dalam selaksa sunyi/Menjadi bait-bait syair/Yang kita nikmati sebelum pagi menyingsing. (*)

LIPSUS