Cari Berita

Breaking News

Isbedy dan Tentang Kota Kelahirannya: Bandarlampung

INILAMPUNG
Kamis, 10 Desember 2020

INILAMPUNG.COM, Bandarlampung - Penyair berjuluk Paus Sastra Lampung yang disematkan H.B. Jassin, Isbedy Stiawan ZS, tergolong memiliki sense of poetic yang kuat. 

Penyair yang juga menggeluti penulisan cerpen dan dikenal jurnalis senior Lampung itu, tak terhitung menulis karya sastra yang terinspirasi dari persoalan sosial serta fenomena yang terjadi.

Misal, pada masa refresif Orde Baru ia melahirkan kumpulan puisi "Negeri Sepatu" (1999). Sejumlah puisi yang tercecer di media massa juga mencerminkan fenomena sosial yang ada. 

"Saya memang menulis karya yang cenderung, kalau bisa, 'sastra yang terlibat' pada persoalan rakyat," kata Isbedy, Kamis (9/12/2020). 

Kritik sosial dalam karya sastranya bisa disebut antara lain "Kau Bilang, Tapi...", "Aku Baca Lembaran-Lembaran Koran" atau yang terlihat di status FB Isbedy Stiawan ZS ihwal penembakan 6 laskas FPI hingga tewas di Tol Jakarta-Cikampek baru-baru ini.

"Bagi saya menulis sastra apabila nurani saya terusik. Selain ada juga puisi-puisi perenungan yang lahir melalui proses lain," jelas Isbedy.

Pada 9 Desember 2020, di sejumlah daerah menggelar pesta demokrasi serentak untuk memilih walikota-wakil walikota/bupati/wakil bupati.

Sebagai putra kelahiran Tanjungkarang (kini Bandarlampung), penyair nasional asal Lampung ini menulis puisi tentang kota kelahirannya.

Diakui penulis buku puisi "Tausiyah Ibu" yang masuk nomine 25 buku puisi Sayambera Buku Puisi 2020 yang digelar Yayasan Hari Puisi Indonesia tersebut, sebagai puisi yang dititipkannya pada pemenang pilkada dan kelak memimpin Bandar Lampung lima tahun ke depan. Tentu saja untuk Eva Dwiana-Dedy Amrullah yang menilik dari penghitungan cepat sebagai pemenang. 

Dalam puisi itu ia mengisahkan masa anak-anak, remaja, dan sampai dewasa. Ia melihat Bandar Lampung nyaris tergerus dari nilai luhur tradisi ibu. 

"Saya memimpilan kota krlahiran saya ini memiliki gedung pertunjukan seni yang dibangun Pemmot Kota Bandar Lampung, ada ruang-ruang budaya yang mengademkan," kata seniman berusia 62 tahun itu.

Inilah puisi Isbedy itu tentang potret Bandar Lampung, masa lalu hingga harapannya masa datang.

Isbedy Stiawan ZS

Pukul 23 Lebih 22 Menit
di Gerbang Kota Dulu...

pukul 23 lebih 22 menit. gerbang 
kota, dulu sekali aku dilahirkan
tanpa pernah kupinjam matahari
juga malam masih lengang. setiap 
malam ahad, kutuju pasar tengah
satusatunya hiburanku: menyaksikan
penjual obat merayu pendatang 
lewat peragaan akrobat. bocah 
tanpa rumah pandai bekerja sama
dan aku amat gembira, meski kutahu
kami dibohongi. hanya permainan 
antara anak gelandangan dan penjual
obat

di pasar bawah ada bioskop murah. aku 
ke sana jika ingin menikmati film india,
cina, dan holywood. ibuku jatuh cinta 
film india 
hanya ini hiburanku masa remaja

saat dewasa ada 21, mall, dan swalayan
modern. tak lupa kota ini jadi taman 
ruko. di setiap sudut mataku menatap
lalu hotelhotel lahir di manamana, seolah
kotaku ini kawasan bagi pendatang 
-- wisatawan -- tanpa pantai, ruang 
kesenian. lalu aku selalu mencari 
di mana akar aku dilahirkan? tradisi 
ibu (wisdom katamu) 

aku tak bisa menjawab ketika ada pertanyaan,
"apa akar tradisi itu di sini?"

bahkan, aku tak tahu di mana dapat kusaksikan
anakanakku menari, bersahut dalam bahasa
ibu. anakanak yang mengagungkan adat luhur 
poyang-tamong-sidi-kakek

di sini aku makin jauh dari hati ibu...

10 Desember 2020

(zal/inilampung)

LIPSUS