Cari Berita

Breaking News

Surat Sastra untuk Isbedy Stiawan ZS

INILAMPUNG
Rabu, 03 Maret 2021

Kedua sastrawan Indonsia saat bertemu di rumah Nanang pada 2019 (dok/inilampung)

INILAMPUNG.COM, Bandarlampung - Perkawanan Isbedy Stiawan ZS dan Nanang R. Supriyatin, sudah sangat lama.

Kedua sastrawan Lampung dan Jakarta itu dimulai perkiraan tahun 1980-an. Keduanya, kini tidak lagi muda, masih tetap berlangsung.

"Saya dengan Nanang itu bukan lagi sebatas pertemanan di ranah saatra," aku penyair berjuluk Paus Sastra Lampung itu.

Menurut pengampu Lamban Sastra ini, setiap ia ke Jakarta dipastikan bertemu atau menyambangi bahkan menginap di rumah sastrawan Nanang R. Supriyatin.

"Saya kerap bertemu dan bertamu," kata Isbedy lagi.

Kalau Isbedy sepenuh diri terjun di sastra, sementara rekannya itu pernah menjadi ASN bahkan seingat Isbedy, pernah memegang jabatan sebelum pensiun.

"Soal produktif menulis dan menerbitkan buku, saya lebih banyak," ungkap sastrawan yang baru meluncurkan buku puisi "Kau Kekasih Aku Kelasi" (2021). 

Buku puisi penyair Lampung ini juga pernah mendapatkan penghargaan tertinggi, yakni masuk 5 besar buku puisi Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI untuk "Kini Aku Sudah Jadi Batu! (2020), 5 besar buku puisi pilihan Majalah Tempo ("Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua", 2020).

Buku puisi "Kau Kekasih Aku Kelasi" terjual 100 eksemplar hanya beberapa hari promo Pre Order (PO). Pemesannya bukan hanya kalangan sastrawan, melainkan politisi, pengusaha, aktivis, para ibu, guru, dan pelajar.

"Ya, termasuk Nanang R. Supriyatin juga memesan," lanjut Isbedy.

Setelah diterima Nanang buku terbaru Isbedy, penyair Jakarta itu menulis surat terbuka di status facebook (FB)-nya pada Selasa (2/3) malam. 

"Sungguh, surat sastra Nanang itu jujur. Itulah yang membuat saya terharu saat membacanya, subuh tadi."

Berikut kami turunkan surat terbuka sastrawan Nanang R. Supriyatin untuk sahabatnya sastrawan Isbedy Stiawan ZS.


"Surat Sastra"

Isbedy Stiawan Z S, penyair yang rajin menyapu bersih kata-kata. Nyaris produktifitasmu bikin aku -- bahkan mungkin banyak penulis di negeri ini -- merasa cemburu. Pendapat ini bisa dibilang hanya akal-akalan aku saja mengingat pertemanan kita yang sudah melampaui dekade. Sejak Zaman Orde Baru, Zaman Peralihan Kekuasaan, Zaman Reformasi, Zaman Digital, hingga Zaman Milenial. Takada kata 'stagnan', 'jalan di tempat' dan 'mati suri' bagi kepenyairanmu yang terus mengikuti arus aliran air.

Kegigihanmu untuk sampai pada keseriusan menyair, sudah jelas tampak ketika kau tinggalkan pekerjaan rutinitasmu sebagai abdi negara, ketika kau bersusah payah menjalin komunikasi dengan banyak seniman hingga pejabat, ketika kau berkreasi mengolah buletin, mengolah Dewan Kesenian, menjadi redaktur hingga kembali ke habitat mengembangkan Rumah Sastra bernama Lamban Sastra.

Terkadang aku harus 'nyinyir' saat kau lagi-lagi menerbitkan buku puisi, takjub sejenak ketika membaca informasi buku puisimu yang masuk nomine. Dan, sebagai sesama pecinta puisi, cukuplah bagiku untuk menggeleng-gelengkan kepala ketika membaca puisi-puisimu dimuat di media massa. 

Surat terbuka ini sesungguhnya bagian dari curahan hati yang seringkali tak merasa puas jika hanya bermimpi dan berpasrah ria saat kau berkirim surat (jadul), atau berkirim kalimat via WhatsApp. Ada bagian lain yang mestinya aku ungkapkan, bahwa aku takjub dengan keseriusanmu melahirkan diksi-diksi sederhana namun kaya dengan pola kalimat, yang seolah kata di tanganmu begitu jinak.

Apakah yang aku sampaikan ini sebagai ungkapan hati semata, ataukah sebagai surat sastra terbuka? Tapi inilah kalimat sederhana yang ingin kusampaikan pasca kuterima sebuah antologi puisi berjudul "Kau Kekasih Aku Kelasi". Bukan puja, juga bukan puji. Beberapa judul buku puisimu memang bikin aku cemburu: "Kini Aku Sudah Jadi Batu!", "Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua", "Aku Tandai Tahilalatmu", dan sebagainya.

Ungkapan kalimat puitis seperti sudah teruji, bahwa dengan kepuitisan itu puisi akan sampai pada yang dipuji.

'pit, burung kecil yang kau panggil pipit telah singgah di ranting pohon ceri depan rumah. ia ingin kembalikan petang namun karena angin kencang, ia cari dahan lebih kokoh di seberang pematang.' (Burung Pipit, bait 1, hal. 70).

Salam.
(zal/inilampung)

LIPSUS