Cari Berita

Breaking News

Indonesia Menuju De-Jure Leader Di ASEAN

INILAMPUNG
Selasa, 06 April 2021

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto Bertemu Menteri Pertahanan Jepang HE Nobuo Kishi, di Tokyo, Jepang pada Minggu (28/3/2021).(Ist/inilampung)

AKHIRNYA, dalam APBN 2021 anggaran pertahanan disahkan dengan porsi jumbo Rp 137,3 triliun dari sebelumnya 117,9 triliun.

Sebagaimana informasi yang yang diberitakan, breakdown anggaran Kementerian Pertahanan tersebut dibagi untuk program penggunaan kekuatan Rp 4,4 triliun, program profesionalisme dan kesejahteraan prajurit Rp 11,4 triliun, program kebijakan dan regulasi pertahanan Rp 35,4 miliar, program modernisasi alutsista, non-alutsista, dan sarpras pertahanan Rp 42,5 triliun, pembinaan sumber daya pertahanan Rp 1,6 triliun, serta program riset, industri, dan pendidikan tinggi pertahanan Rp 543,8 miliar, hingga program dukungan manajemen Rp 76,2 triliun.

Anggaran pertahanan yang jumbo di masa pandemi, resesi ekonomi, serta diskursus global ini mencerminkan pemerintah memandang penting aspek keamanan dalam mempertahankan batas-batas NKRI maupun ketegangan geopolitik global yang sedang terjadi.

Lalu, untuk apa anggaran sebesar itu?

Ditinjau dari perspektif geostrategis, anggaran sebesar itu sebenarnya sangat masuk akal. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia yang secara geografis diapit oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sesungguhnya adalah epicentrum utama dari kerangka pemikiran geografis Indo-Pasifik. Maka tidak heran jika "Great Powers'"maupun "Major Powers" memandang pentingnya peran Indonesia dalam mewujudkan geostrategis Indo-Pasifik yang inklusif.

Terlebih, belakangan ini, kepentingan geopolitik dan geostrategis Indonesia mulai membentuk identitas dan kepentingannya dalam menjawab tantangan yang dihadapi melalui ASEAN Outlook on the Indo-Pacific sebuah gagasan "sentralitas ASEAN" yang kemudian berhasil mengerucut menyatukan perbedaan pandangan tentang konsep wilayah Indo-Pasifik yang adil, bebas, dan inklusif.

Selain itu, ditinjau dari perspektif ekonomi dan keamanan, Indonesia saat ini dinilai sedang bertransformasi menjadi salah satu negara terkuat di kawasan Asia Tenggara. Hal ini terbukti dengan keanggotaan dalam organisasi G20 yang diperoleh melalui kemajuan signifikan dalam pembangunan ekonomi secara pesat dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan dalam masa pandemi Covid-19 pun, melalui disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, Bank Dunia memandang Indonesia sebagai negara prospektif dalam persaingan ekonomi global.

Terlepas dari perdebatan domestik, para investor global memandang UU Cipta Kerja sebagai komitmen pemerintah Indonesia terhadap investasi internasional serta membuka peluang investasi yang mempermudah para investor dalam membangun industri strategis di Indonesia, termasuk industri pertahanan. Hal ini memberikan premis bahwa komitmen dan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi sebuah proses logis atas perubahan identitas Indonesia.

Dengan kemampuan yang terus meningkat, sangat wajar jika Indonesia yang selama ini kerap dianggap sebagai de facto leader di ASEAN mampu memerankan peran yang lebih penting di kawasan, bahkan lebih luas lagi dalam kontestasi geopolitik Indo-Pasifik.

Transformasi identitas menuju kepentingan ini makin nyata, terlihat dari upaya dalam menciptakan dan mempromosikan konsep ASEAN Outlook on the Indo-Pacific. Langkah geopolitik dan geostrategis ini mencerminkan perubahan identitas dan kepentingan Indonesia dalam sebuah konstruksi sosial Indo-Pasifik, yang sesungguhnya secara de-jure belum ada wujud nyatanya.

Persepsi Ancaman

Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tampaknya menyadari bahwa untuk mempertahankan stabilitas pertumbuhan ekonomi, negara wajib memperhitungkan threat perception (persepsi ancaman) baik itu traditional threat maupun non-traditional threat.

Pemikiran ini bukan tanpa dasar, karena sesungguhnya sebagai negara maritim yang sangat luas dan banyaknya akses masuk ke wilayah NKRI, kekayaan alam Indonesia yang melimpah patut dijaga dan dipertahankan dengan segala kemampuan yang dimiliki. Kekayaan alam inilah yang kelak dipandang akan berkontribusi terhadap kesejahteraan rakyat.

Menurut cendekiawan Stephan M. Walt dalam tulisannya Alliance Formation and The Balance of World Power, teori relasi kekuasaan berpendapat bahwa distribusi kekuasaan dan kepentingan antarnegara merupakan faktor kunci yang mempengaruhi munculnya konflik atau perang. Dengan demikian, setiap perubahan pada distribusi kekuasaan di antara negara-negara dianggap sebagai pengaruh utama terhadap stabilitas dan ketidakstabilan.

Oleh karena itu, modernisasi alutsista dalam jangka waktu pendek dan menegah serta strategi pengembangan industri pertahanan dalam jangka waktu panjang menjadi kebutuhan logis sesuai dengan ruang dan waktu bagi Indonesia sebagai deterrence di tengah kemelut perseteruan militer, ekonomi, serta agresi politik global, khususnya di antara dua negara adi kuasa yaitu Amerika Serikat dan China.

Saat ini tidak bisa dipungkiri bahwa perang skala besar bisa saja terjadi kapan pun antara kedua negara tersebut di Laut China Selatan, tepat di halaman belakang batas-batas NKRI. Di tengah dinamika politik, ekonomi, dan keamanan yang terjadi antar kedua adidaya tersebut, peningkatan modernisasi alutsista juga pada akhirnya adalah konsekuensi logis atas perjalanan waktu.

Dalam hal ini, berdasarkan pengalaman, Indonesia juga telah meyakinkan bahwa kebijakan luar negeri bebas-aktif merupakan identitas damai yang bertujuan untuk memelihara perdamaian dunia serta tidak berkonflik secara langsung dengan negara mana pun. Hanya saja, langkah tersebut masih dianggap kurang bermakna jika tidak didukung oleh postur alutsista yang kuat di atas meja perundingan.

Safari Diplomasi

Dalam kerangka tersebut, safari diplomasi pertahanan Indonesia menarik untuk disimak lebih jauh, terlebih Menhan Prabowo berhasil mendaratkan kakinya di Amerika Serikat. Menarik untuk disimak sejauh mana pengaruh subjektif maupun inter-subjektif dari kunjungan ini terhadap strategi blue print pertahanan RI. Pemikiran ini bukan tanpa sebab dikarenakan Amerika Serikat membela kehadiran Prabowo di saat mendapatkan tekanan dari Amnesty International.

Selain kunjungan bersejarah di atas, Kemenhan juga telah melakukan safari strategis ke berbagai negara di antaranya Turki, Austria, Prancis, hingga India dalam melirik industri alutsista terbaik dan tepat guna. Dari jet tempur hingga rudal antara benua tampaknya menjadi perhatian Indonesia dalam jangka waktu pendek. Lirikannya pun tidak main-main; tampaknya Indonesia sedang melirik tiga jet tempur canggih yaitu Dassault Rafale buatan Prancis, Eurofighter Typhoon dari Austria, hingga si primadona Rusia Sukhoi SU-35 dan Rudal antarbenua Brahmos dari India.

Menurut saya, pilihan logis seharusnya jatuh pada produk produsen negara di mana Indonesia memiliki kemitraan strategis, khususnya dalam domain pertahanan dan maritim. Dari perspektif kepentingan di Indo-Pasifik, Prancis dan India saat ini merupakan dua negara besar yang memungkinkan bagi Indonesia untuk membangun kerja sama latihan militer dalam jangka menegah dan panjang, khususnya di Samudera Hindia. Dengan kesamaan visi Indo-Pasifik, kedua negara tersebut dipandang memiliki urgensi agar postur militer Indonesia dapat berkembang dan bermanfaat tepat guna dalam kerangka memelihara keamanan kawasan regional secara bersama-sama.

Tentu hal ini akan berbeda dengan para mitra yang tidak memiliki kepentingan kawasan yang sama dengan Indonesia, sehingga tidak tampak adanya nilai tambahan selain kecanggihan teknologi yang ditawarkan. Berbeda jika dalam konteks jangka panjang dengan kesepakatan transfer of technology, maka argumentasi tersebut berubah dengan sendirinya.

Dalam hal ini, China dan India merupakan contoh nyata yang berhasil membangun industri pertahanan yang kuat dengan metode transfer teknologi dari Rusia. China berhasil hingga mampu membuat jet tempur canggihnya sendiri, sedangkan India berkembang dalam pembuatan rudal canggih secara mandiri.

Kedua negara ini, yang merupakan konsumen utama Rusia, awalnya fokus pada kemandirian spare-part alutsista sehingga tidak bergantung pada penjual. Bahkan India hingga kini mewajibkan negara penjual untuk menginvestasi kembali persentase jumlah tertentu dari total nilai kontrak ke dalam industri pertahanan dalam negeri. Inilah langkah strategis yang dimulai oleh kedua negara hingga berhasil mencapai kemandirian industri pertahanan.

Jika melihat pengalaman-pengalaman tersebut, Indonesia memiliki kemampuan serupa dalam membangun industri dasar strategis, terlebih UU Cipta kerja kluster pertahanan yang merevisi beberapa pasal dari UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan membuka pintu agar proses transfer teknologi dalam bentuk investasi akan membawa dampak positif yang dinamis dan progresif.

Persoalan klasik terkait aturan rigid pada akhirnya teratasi dan mempermudah kolaborasi swasta dan BUMN. Pada akhirnya, sesuai dengan perkembangan zaman, keterlibatan non-state actors berperan aktif dalam kemajuan industri pertahanan Indonesia menjadi relevan. Tentu dengan pengawasan yang ketat melalui regulasi-regulasi yang akan diterbitkan melalui Peraturan Menteri maupun Peraturan Presiden sebagai acuan pembangunan nasional menuju Indonesia Maju.

Abhiram Singh Yadav, M.Sos 
pengamat politik hubungan international, alumnus Universitas Pelita Harapan

LIPSUS