Cari Berita

Breaking News

Buku Putih KPU Bandarlampung, Menembus Badai Selamat di Dermaga

INILAMPUNG
Kamis, 06 Mei 2021

Isbedy Stiawan ZS (ist/inilampung)

Pilkada di Tengah Pandemi

BOLEH dibilang sebagai "buku putih" atau sebuah "catatan di balik layar" jika Pilkda dianalogikan sebuah karya film. Di dalamnya, dalam proses menuju pilkada di tengah pandemi (covid 19) yang tentu setiap saat datang ancaman terpapar pandemi. 
 
Pandemi dan politik layaknya dua benda yang saling tarik menarik dan memengaruhi satu sama lainnya. Kecemasan dalam gelar pilkada di tengah (ancaman) pandemi sebagai klaster baru, juga ketegangan saat menganulir pasangan perseorangan hingga diskualifikasi ketika sudah dinyatakan pemenang. 
 
Selain ketegangan, kecemasan (dan tentu ketakutan) oleh ancaman di luar kendali. Ternyata kelucuan-kelucuan dalam proses demokrasi di Kota Bandarlampung, sangat dirasakan oleh para komisioner KPU. 
 
Jadi, ada cemas, tegang, shock, gaduh, naif, dan tawa (lucu). Semua itu teraduk satu dalam kisah para komisioner KPU yang dikomandoi Dedy Triadi dalam buku setebal 213 halaman ini. (sila baca dari 29 hingga hlm 73)
 
Penuturannya asyik. Ediornya juga oke, Adian Saputra. Pokoknya saya membacanya walau baru dapat pdf terbitan Aura Publishing (2021) merayu untuk terus menghabiskan baca.
 
Membaca buku (putih?) "Pilkada di Tengah Pandemi" ditulis "keroyokan" oleh komisioner KPU Balam ini -- saya seperti menikmati karya prosa. Narasi mengalir -- linear -- sehingga enak dibaca "dan perlu". Rasa gurih dan akan rugi jika berhenti di tengah jalan. 
 
Judul-judul perbab (sub judul) saya meyakini dipersiapkan/dipertimbangkan matang. Seperti 'Berkejaran dengan Data', 'Dinamika Mereka yang Berlaga', 'Sosialisasi Demi Partisipasi Tingggi', 'Kampanye Sepi, Optimisme Tetap Tinggi', 'Cantik-Cantik Kepak Logistik', 'Pungutan Suara Menanti Juara', dan 'Sengketa-Sengketa Sakit Kepala'.
 
Sub-sub judul yang menurut saya puitis dan ini lazim dipakai oleh beberapa media cetak manstream di Lampung, guna buka saja mendapatkan bunyi yang bergeliat juga mengajak pembaca untuk meresapi kandungan isinya. 
 
Pemilihan diksi dalam sub judul-sub judul ini menunjukkan bahwa buku ini bukan cuma sebagai melunaskan laporan, tapi agar dibaca banyak orang. Apatah lagi, barangkali, hanya di Pilkada Bandar Lampung, wasit menyemprit dengan kartu merah bagi kontestan yang telah dinyatakan pemenang oleh penyelenggara pertandingan dengan kartu merah: diskualifikasi. 
 
Siapa saja bisa membayangkan atau menganalogikan bahwa seseorang sudah dapat surat nikah, lalu dinyatakan batal pernikahannya. 
 
Tetapi, atas keputusan "anulir" kontestan pasangan Eva Dwiana-Deddy Amarullah disikapi tanpa emosi oleh KPU. Bahkan, Ketua KPU Dedy Triadi yang menerima awal informasi hasil sidang Bawaslu Provinsi Lampung dengan keputusan diskualifikasi kepesertaan Eva-Dedy tak langsung disebar ke kawan-kawannya. Ia tetap membiarkan kawan-kawannya menyelesaikan , acara bersama yang dianggap acara gembira usai Pilkada. Acara gembira ini berlangsung di Wira Garden. (baca hlm. 60-63)
 
Buku Pilkada Di Tengah Pandemi: Pilwalkot Bandarlampung 2021. (Ist/inilampung)
Setelah dianggap selesai, baru Ketu KPU Balam, Dedy Triadi, mengumumkan informasi yang diterimanya. Suatu sikap yang patut dipuji dari seorang pemimpin. Tetap santai. Walaupun "sakit kepala" juga mendapati sengketa pilkada padahal perhelatan sudah selesai. Piring, gelas, sendok (-garpu) dan sisa makanan sudah diangkut ke dapur cucian. Termasuk biduan dari orgen tunggal sudah berleha-leha di rumah sambil menikmati upah bernyanyi-berjoget.
 
Soal Diskualifikasi
 
Sebagai masyarakat, saya sempat memertanyakan soal diskualifikasi Bawaslau Provinsi Lampung terhadap pasangan Eva-Deddy ini, yang notabene sebagai pemenang Pilkada dan sudah diputuskan KPU Kota Bandarlampung. 

Bahkan sempat terpikir dan menengarai ada “permainan mata” dalam keputusan yang menganulir kesertaan Eva Dwiana dalam konstelasi demokrasi di Bandarlampung. Apalagi setelah pasangan ini dimenangkan oleh Mahkamah Agung. 

Tetapi, meski kemudian hasil sodang Bawaslu dinyatakan tidak bersalah karena tidak ditemukan indikasi pelanggaran. Eva-Dedy pun akhirnya memetik kebahagian, pasamban ini dilantik sebagai Walikota-Wakil Walikota Bandarlampung.
 
Seperti juga perjalanan Eva-Dedy yang happy ending, demikian pula KPU Kota Bandarlampung. Ibarat kapal yang nakhodanya, Dedy Triayadi, amat piawai mengendalikan kapalnya dan tentu dibantu awak (kelasi) yang solid dan berintegritas, segala badai dapat ditrmbus. Kapal ini sampai di dermaga dengan selamat, bahagia, dan tertawa-tawa.
 
Lalu, apakah mereka kemudian jumawa? Tak. Ini dapat dibaca dalam buku Pilkada di Tengah Pandemi, bagaimana Dedy mengaku sedih (prihatin) atas tidak berlanjutnya pasangan perseorangan, Firmansyah. Dapat dibaca dalam buku ini kisah pertemuan terakhir Dedy sebagai Ketua KPU dengan Firmansyah dan LO sesuai salat di gedung KPU. (hlm.34-35)
 
Sebagai penyelenggara Pilkada, sebuah helat demokrasi bagi masyarakat Indonesia, KPU tentu berharap semakin banyak tokoh yang hendak berlaga di Pilkada, kian membuktikan bahwa demokrasi berjalan baik. Masyarakat juga bisa leluasa memilih atau menentukan pilihan yang sesuai dengan hatinurani dan misi calon kada. (hlm. 29) 
 
Cerita-cerita seperti ini, di luar masyarakat tidak pernah (akan) tahu, justru diurai runut dan manis oleh komisioner KPU Kota Bandarlampung: Dedy Triadi, Ferry Triatmodjo, Hamami, Suprihatin, Ika Kartika, Robiul dan tim lainnya. (hlm. 37-38) 
 
Soalnya, masyarakat hanya bisa menghujat dan meremehkan kerja KPU. Jadi, kalau sesudah baca buku ini, nisacaya akan berpikir dan berucap lain. Bahkan boleh jadi, akan mengatakan: betapa berat dan penuh ketegangan bekerja di KPU. 
 
Tabik!
 (*)
 
 
*)Isbedy Stiawan ZS adalah sastrawan Lampung, buku terbarunya pada 2021 yakni Kau Kekasih Aku Kelasi, Masih Ada Jalan Lain Menuju Rumahmu, Secangkir Kopi di Meja Kedai. Pada 2020 buku puisinya masuk lima besar majalah Tempo (Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua) dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI (Kini Aku Sudah Jadi Batu!)

LIPSUS