Cari Berita

Breaking News

Burung Tak Bersayap

INILAMPUNG
Selasa, 08 Juni 2021

Ilustrasi: Burung Terbang (ist/inilampung)

Oleh : Dalem Tehang

PRIA setengah baya itu baru saja merebahkan badannya di atas kasur tipis di salah satu kamar narapidana yang ada di rumah tahanan, saat dari balik teralis besi sebuah suara memanggilnya.  

“Hadi mana? Coba sini dulu. Ada telepon penting ini,” kata sipir berpostur tinggi besar itu dengan suara menggelegar. 

Menghentak kesunyian malam yang mulai merambati kompleks rutan berisi seribuan jiwa warga binaan tersebut. 
Pria paruh baya bernama Hadi itu pun bangkit. Bergegas menuju teralis besi sebagai tembok pemisah kamar tahanan dengan lorong panjang di depannya. 

“Iya, Pak. Ada apa,” ucap dia dengan suara setengah terbata. Tersimpan nada kekhawatiran. Atau lebih tepatnya ketakutan.

Petugas penjaga tahanan alias sipir itu tak menjawab. Ia hanya menyerahkan telepon genggam ditangannya kepada Hadi. 

“Assalamualaikum. Ini Hadi. Ini siapa ya?” kata Hadi setelah memegang telepon genggam dari sipir.

“Kak Hadi, ini Deni. Mau kasih kabar, Kak. Ayuk Dina ninggal. Barusan aja,” terdengar suara diiringi tangis dari seberang sana. 

Hadi terhenyak. Mulutnya komat-kamit, namun tak bersuara. Badannya bergetar. Wajahnya memucat. Sontak, sebulir air menetes dari sudut matanya. Diikuti buliran-buliran susulan.
 
“Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Sampaikan pada keluarga, utamanya sama anak-anak, Kak Hadi ikhlas melepas Ayuk Dina. Insyaallah husnul khotimah,” ucap Hadi setelah bisa mengendalikan jiwanya, dengan suara penuh getar kesedihan.

Ia matikan telepon genggam ditangannya. Diserahkan kepada sipir. 

“Terimakasih, Pak!” katanya, pendek. 

”Sabar ya, Hadi. Saya turut berduka cita,” kata sipir itu dan langsung berlalu. Meninggalkan Hadi yang masih terpaku sambil kedua tangannya memegang teralis besi di depannya.

Spontan kamar berisi 12 orang napi itu dilingkupi suasana penuh kesedihan. Sampai kemudian satu demi satu mereka mendekati Hadi. Menyampaikan duka cita dengan memeluk Hadi. Mereka pun bertangisan. 

Hidup bersama di ruang tahanan berukuran 6 x 6 Meter telah menjadikan mereka lebih dari bersaudara karena ikatan darah. Sebuah persaudaraan yang amat kuat ikatannya. Yang lahir dari senasib sepenanggungan. Setikar seketiduran. 

“Maaf, Kap. Bukannya satu jam lalu ayuk masih teleponan dengan Kap lewat hp Pak Yadi, sipir tadi!” kata Yanto, salah satu penghuni kamar napi di Blok A itu. 

Hadi yang menjadi Kapten Kamar dan biasa disapa dengan panggilan Kap, hanya menganggukkan kepalanya dengan gontai.

“Ya, itulah ajal yang menjadi rahasia Tuhan. Jujur, saya masih percaya nggak percaya kalau istri saya meninggal. Tapi nggak mungkin adek saya bohong. Saya harus ikhlas melepas dia. Biar dia damai di alam sana,” kata Hadi, beberapa saat kemudian. 

Berjalan gontai, Hadi kembali ke tempat tidurnya. Ia menempati posisi di paling ujung kiri kamar tahanan. Ditaruhkan pantatnya di atas kasur tipis pelapis lantai keramik. Sambil bersandar di dinding, pria yang tengah menjalani hukuman empat tahun itu menarik nafasnya dalam-dalam. 

“Begini berat amat ujian yang Engkau berikan ya, Tuhan!” desahnya. Perlahan. 

Air mata kembali mengalir dari kedua sudut matanya. Kedua telapak tangannya mengepal. Badannya pun bergetar. 

“Kap, minum air putih ini dulu. Sabar ya, Kap. Kami semua paham perasaan Kap saat ini. Kami juga berduka sangat dalam atas musibah ini,” kata Arif, teman sekamar Hadi yang lain, sambil menyodorkan gelas plastik berisi air putih.

“Iya, terima kasih, Rif,” ucap Hadi menerima gelas berisi air putih dari Arif. 

Sesaat, diteguknya isi gelas. Tangannya yang bergetar hebat, membuat sebagian air di dalam gelas bertaburan. 

“Izin, Kap. Gimana kalau kita baca yasin dan tahlil untuk ayuk. Hanya doa yang bisa kita lakukan disini,” kata Pak Nur, teman lainnya. Hadi hanya mengangguk.  

Pak Nur memberi isyarat pada penghuni kamar. Bergantian mereka mengambil wudhu. Memakai baju koko dan duduk melingkar di lantai atas dari kamar tahanan itu.  Alunan surat yasin pun menggema dari kamar 12 Blok A.

“Woy, yasinan malem-malem gini ada apa?” tiba-tiba sebuah suara keras dari kamar sebelah kiri menyela. 

Pak Nur beringsut dari lingkaran prosesi pengiriman doa itu. Menuju ke teralis besi yang berdekatan dengan asal suara. 

“Istri Kap Hadi ninggal, maka kami yasinan. Ajak kawan-kawan di semua kamar ngaji dulu sekarang,” kata Pak Nur dengan suara keras. 

“Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Siap, segera saya sampaikan ke kamar-kamar lain,” kata pria dari kamar sebelah. Pesan berantai pun berjalan. 

Tak selang lama, Blok A rutan yang memiliki 15 kamar itu pun semarak oleh bacaan surat yasin. Dari setiap kamar terdengar bacaan ayat-ayat Tuhan. Menggema ke langit. 

Mendadak, langit yang sebelumnya dihiasi dengan bintang-bintang nan cantik, berubah. Awan hitam berarakan dan hujan pun turun dengan derasnya. Sesekali ditingkahi dengan kilatan petir yang bersahutan kesana-kemari. Hingga sinarnya seakan menghujam ke bumi. 

“Insyaallah ayuk husnul khotimah, Kap!” ucap Pak Nur mengomentari hujan yang mendadak tumpah dengan derasnya dari langit saat itu, selepas pembacaan yasin, tahlil dan doa selesai.  

“Aamiin, aamiin ya robbal alamin,” sahut Hadi dengan suara perlahan. 

“Sekarang Kap istirahat aja. Besok kami akan usaha untuk Kap bisa hadir dalam pemakaman ayuk,” kata Arif. Hadi hanya mengangguk sambil merebahkan badannya di atas kasur tipisnya. 

Hadi tak bisa memejamkan matanya. Mata yang basah oleh guliran air, terus menatap ke langit-langit kamar. Beragam rasa tengah mendera jiwa dan pikirannya. Sampai azan subuh menggema dari masjid di kompleks rutan, tak sekejap pun ia tertidur. 

Selepas solat subuh berjamaah di kamar, Hadi kembali duduk di atas kasurnya. Menyandarkan badan ke tembok. Menatap halaman rutan dari sudut kamar. Sesekali kepalanya menggeleng. Desah tarikan nafasnya pun begitu dalam. Seakan mengisyaratkan ketidakpercayaan sekaligus ketidakmengertian akan kenyataan yang dialaminya saat ini.  

Mentari baru akan beranjak naik selepas pergantian petugas jaga tahanan, saat seorang sipir datang. “Hadi mana?” kata dia.

“Iya, siap, Pak!” sahut Hadi seraya bangun dari kasurnya. Sambil membetulkan kain sarung yang dipakainya, ia menuju teralis besi pembatas kamar. 

“Kamu dipanggil KPR,” kata petugas itu seraya membuka gembok besar yang terpasang di pintu kamar.

“Saya ganti pakaian dulu ya, Pak,” ucap Hadi. 

“Nggak usah. Sudah gitu aja,” tegas sipir itu.

Tak ada pilihan. Perkataan sipir adalah hukum dan keputusan yang wajib dilakukan warga binaan. Bila tidak mengikuti, hukuman sudah disiapkan. Hadi yang telah memasuki tahun ketiga tinggal di rutan itu sangat memahami kondisi yang ada. 

Setelah Hadi keluar, pintu kamar pun digembok kembali oleh sipir. Hadi mengikuti dari belakang langkah sipir. Sampai kemudian memasuki sebuah ruangan di kantor rutan. Tertulis ruang KPR. Kepala pengamanan rutan. 

“Silahkan duduk. Bener istri kamu meninggal?” kata KPR begitu Hadi masuk ruang kerjanya. Hadi mengangguk. 

“Istri kamu mau dimakamin dimana dan jam berapa?” lanjutnya. 

“Pastinya saya nggak tahu, Pak. Tapi dia sedang di rumah mertua saya. Di Way Lima, Pesawaran,” kata Hadi. 

“Coba kamu cari tahu dulu. Ini pakai hp saya. Sekarang teleponnya di depan saya,” sambung KPR seraya menyodorkan telepon genggamnya ke Hadi. 

Sambil memegang hp, Hadi menatap ke atas. Mengingat-ingat nomor telepon yang bisa dihubungi. Lama dia menatap langit-langit ruang kerja KPR. 

“Kenapa lama bener? Nggak inget nomor siapa yang bisa dihubungi ya?” tanya KPR. Memahami kesulitan Hadi. 

“Saya cuma hapal nomor hp istri saya saja, Pak. Yang lain-lain nggak hapal,” aku Hadi. 

“Ya sudah, telepon aja nomor istri kamu. Mungkin anakmu atau keluarga yang sekarang pegang,” ucap KPR. 

Dengan jari-jari yang terus gemetaran, Hadi memencet nomor hp mendiang istrinya. Panggilannya masuk, namun tidak diangkat. KPR memerintahkan untuk terus ditelepon, pasti akan ada yang mengangkat nantinya. 

Dan benar. Setelah delapan kali panggilan, ada sahutan dari seberang.

“Nak, ini ayah. Mama mau dimakamin jam berapa. Dimakaminnya di kampung kakek di Way Lima ya,” kata Hadi begitu teleponnya bersahut. 

“Ya Allah, ayah. Mama dimakamin abis dhuhur. Iya di Way Lima. Di tempat kakek. Ayah bisa dateng untuk anter mama kan?” sahut suara di seberang. 

“Insyaallah, Nak. Doain aja. Sudah ya,” ujar Hadi dan langsung memutus hubungan teleponnya.    

“Jadi gimana?” tanya KPR.

“Istri saya dimakamin ba’da dhuhur, Pak. Di Way Lima, Pesaawaran. Tadi anak saya yang tua, Pak,” jelas Hadi. 

“Oke kalau begitu. Terus apa yang bisa saya bantu,” lanjut KPR. 

Hadi terdiam. Tenggorokannya tercekat. Ia bingung harus bicara apa. Ia sadar benar akan posisinya sebagai warga binaan yang sangat penuh dengan keterbatasan. Bahkan, selama ini, untuk mimpi pun ia tidak berani. Karena itu ia sangat jarang tidur. 

“Bapak lebih tahu apa yang sangat saya harapkan. Tapi apa mungkin,” ucap Hadi dengan suara terbata.  

“Kamu ingin bisa bertemu istrimu untuk yang terakhir kalinya dan mengantarnya ke pemakaman, begitukan?” sela KPR.

Hadi mengangguk. Wajahnya menunduk. Ia tak berani sedikit pun timbul harapan di hatinya. 

“Oke, nanti saya siapkan permohonan izin luar biasa buat kamu. Saya ajukan dulu pada kepala rutan. Tapi kalau pun disetujui, kamu berangkat dari sini jam 11 dan jam 14 harus sudah disini lagi,” kata KPR. 

“Terima kasih atas bantuannya, Pak,” kata Hadi sambil menyalami KPR dengan genggaman sangat kuat.

“Sekarang kembali ke kamar. Nanti sebelum jam 11 dijemput ke kamar. Sesuai protap, kamu tetap dalam pengawalan. Dua orang sipir dan dua orang anggota Polri,” jelas KPR. Hadi menganggukkan kepalanya. 

Begitu masuk kamarnya kembali, Hadi langsung sujud syukur sambil menangis. Teman-teman satu kamar ikut larut dalam keterharuan Kap mereka.

Sesuai yang direncanakan KPR, akhirnya Hadi diberi izin luar biasa. Didampingi tim pengawalan, ia sampai kerumah duka. Dipeluknya tubuh sang istri yang sudah terbungkus kain kafan. Tak ada tangisan. Hanya air mata yang terus bercucuran. Ketiga anak lelakinya memeluk erat badan Hadi sambil menangis sesenggukan.

Tangis Hadi pecah selepas ia mengazankan jenazah sang istri di pemakaman. Suaranya yang mendayu seakan menghentikan sepoinya angin di pemakaman umum itu. Puluhan anggota keluarga yang mengantar ke pemakaman, diliputi duka yang amat mendalam.

Setelah memasang nisan istrinya, Hadi menemui ayah mertuanya. “Ayah, saya titipkan ketiga anak saya. Maafkan semua kesalahan saya. Insyaallah Tuhan masih beri kesempatan buat saya mendidik dan membesarkan anak-anak sesuai amanah almarhumah,” ucap Hadi dengan menangis.

Sang ayah mertua tak bisa berucap apa-apa. Ia langsung memeluk Hadi. Mereka pun bertangisan.

“Sekarang saya bagaikan burung tak bersayap. Bapak saya meninggal tepat setahun saya di rutan. Sekarang istri saya menyusul. Ayah pahamkan bagaimana burung tanpa sayap? Pun anak-anak saya. Mereka adalah tiga anak burung yang juga tak bersayap. Ayah mereka di penjara, mama mereka sudah menghadap Yang Kuasa. Tolong Ayah jaga ketiga anak burung itu,” ucap Hadi lagi.

Ketiga anak Hadi yang mendengar perkataan itu terus menangis sambil memeluk ayahnya.  

“Ayah pamit. Ayah percaya, kalian tiga anak burung tak bersayap yang kuat,” kata Hadi dan langsung pamit untuk kembali masuk ke rumah tahanan.(*)

Penulis: Pemerhati masalah sosial budaya, tinggal di Bandar Lampung.

LIPSUS