Cari Berita

Breaking News

Obituari: Selamat Jalan Orang Pilihan

INILAMPUNG
Sabtu, 21 Agustus 2021


Obituari Prof. Dr.  Budi Darma (25 April 1937-21 Agustus 2021)

Oleh Akmal Nasery Basral

1/
SEPOTONG malam di bulan Juli 2006. Petir melecut-lecut di udara, menyobek langit yang menumpahkan air mata semesta, merendam bunyi dalam dingin. Desau angin menggila. Sebuah rumah makan Padang di Jalan Margonda Raya, Depok, dipenuhi pengunjung.  


Di satu meja terdapat empat orang sedang menikmati gulai kakap sembari berbincang ringan tentang sastra. Mereka adalah Profesor Budi Darma, penulis Eliza V. Handayani (penulis novel Area X: Hymne Angkasa Raya),  penyair dan aktivis kesenian Nelden Djakababa serta saya. Kami baru menghadiri seminar internasional “Redefinisi Sastra Dunia” di Fakultas Ilmu Budaya UI dengan Pak Bud sebagai salah seorang pembicara.


Saat itu saya baru menerbitkan satu novel berjudul Imperia dan berencana menerbitkan sebuah kumpulan cerpen dari cerpen-cerpen yang terserak pada beragam media cetak. Tetapi malam itu saya belum berani menyampaikan niat. Sebab tujuan utama pertemuan yang digagas Nelden—dengan membawa setumpuk cerpen karyanya—adalah meminta Pak Bud untuk memberikan pengantar rencana antologinya. Saya lebih banyak menjadi pendengar diskusi antara Pak Bud dengan Nelden, dan Pak Bud dengan Eliza yang baru kembali dari Wesleyan. Keduanya berbagi pandangan tentang Sastra Amerika modern.


2/
LIMA tahun sebelumnya saya terbaring sakit di rumah. Meski lupa tanggal dan bulan persisnya di tahun 2001 itu, saya ingat bagaimana upaya mengisi waktu di tempat tidur dengan membaca Orang-orang Bloominton(1981) karya Budi Darma. Saat itu saya belum kenal beliau secara pribadi.


Usai membaca kumpulan cerpen tersebut saya tulis pertanyaan di mailing-list Musyawarah Burung yang dimoderatori Wien Muldian, Hikmat Darmawan, Ekky Imanjaya, dll. “Adakah yang punya kontak Pak Budi Darma?”


Tak lama kemudian datang jawaban dari Yanusa Nugroho melalui japri disertai nomer telepon yang saya cari. Lalu, tanpa pikir panjang, saya yang belum berkarya apa pun di dunia literasi dan belum mengenal Pak Bud, dengan nekat memperkenalkan diri dan menjelaskan diri saya sedang sakit, serta memberikan pendapat singkat tentang antologi cerpen yang jadi salah satu adikarya beliau. Saat itu belum ada BBM apalagi WAG. Komunikasi dengan SMS. Tetapi tersebab saya belum kenal beliau, saya tak yakin pesan saya dibacanya.


Saya letakkan ponsel dan bersiap tidur siang. Baru saja ponsel terlepas dari tangan, terdengar notifikasi pesan masuk. Dengan mata mulai mengantuk karena kondisi tubuh lemah, saya lihat layar gawai. Sang Begawan Sastra langsung membalas! “Salam kenal Mas Akmal, semoga cepat sembuh. Terima kasih atas pujiannya atas karya saya. Salam, Budi Darma.”


Kantuk saya lenyap akibat limpahan adrenalin yang meluap. Rasanya tak percaya, namun nyata. Saya baca pesan itu berulang-ulang dan saya putuskan kenekatan berikutnya: melanjutkan komunikasi SMS. Saya tanyakan tentang karya beliau lainnya, Olenka (1983), yang sudah saya baca. Beliau menjawab lagi. Begitu terus menerus, hingga tak terasa langit di luar rumah menggelap, malam datang.


Saat komunikasi usai, saya hitung waktu yang kami gunakan hampir 7 jam dengan pertukaran puluhan SMS. Saya belum pernah berkirim pesan secara maraton selama itu, dengan siapa pun. Sakit yang saya alami seakan hilang. Saya tulis resume peristiwa itu di mailing-list Musyawarah Burung lagi. Beberapa anggota lain mengomentari namun yang paling saya ingat adalah tanggapan Yanusa Nugroho (lagi). “Pak Bud memang begitu orangnya, ramah pada semua orang. Sepanjang beliau sedang tidak sibuk mengajar atau menulis, pesan kita langsung dijawab.”


3/
Oktober 2006. Jumlah cerpen saya sudah cukup untuk menjadi sebuah antologi pertama saya sekaligus buku kedua. Saya siapkan judul Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku. Saya kirimkan naskah kepada tujuh orang pembaca antara lain Romo Mudji Sutrisno, Deddy Mizwar, Ahmad Tohari dan, tentu saja, Budi Darma. Mereka berkenan membaca dan memberikan testimoni. Namun dari Pak Bud disertai sebuah pertanyaan tambahan, “Apakah Mas Akmal bersedia jika saya tuliskan pengantar untuk antologi itu?”


Tentu saja saya tak akan menolak. Membayangkan seorang Budi Darma menulis pengantar untuk kumpulan cerpen pertama saya, bukanlah hal yang akan terlintas di benak saya. Not in a million years! Saya tahu diri. Namun tawaran itu membuat diri saya tahu bahwa sebutan Begawan Sastra sudah tak cocok pula baginya. Sebab bagaimana mungkin salah seorang pujangga terbesar Sastra Indonesia dengan begitu saja menawarkan diri menulis pengantar bagi seorang penulis pemula?


Lagi-lagi ini nyata adanya. Stranger than fiction. Pada 28 Oktober 2006 saya menerima kiriman naskah pengantar itu (sepanjang 13 halaman setelah dimasukkan ke dalam novel).


4/
Pertengahan tahun 2011. Karya saya sudah tambah tiga lagi yakni novel Nagabonar Jadi 2 (2007), Sang Pencerah (2010), dan Presiden Prawiranegara (2011). Total lima buku, dan saya pun sudah jadi penulis penuh waktu setelah setahun sebelumnya meninggalkan dunia jurnalistik, resign dari majalah Tempo. Saya sedang mengincar sebuah program residensi berbobot di salah satu negara Eropa Barat. Panitia dengan nama yayasan filatropi internasional terkenal mensyaratkan saya menulis sebuah proposal disertai rekomendasi dari penulis lain yang lebih senior. Saya diskusikan rencana itu dengan Pak Bud, dan dengan cepat pula beliau menuliskan rekomendasi yang diminta panitia, pada hari itu juga.


Tiba saat pengumuman penerima residensi ternyata nama saya tak ada di antara nama-nama penulis mancanegara yang diumumkan. Saya teruskan kabar itu kepada Pak Bud yang menanggapi dengan sedih, “Maafkan saya Mas Akmal. Mungkin saya kurang keras dalam memberikan rekomendasi,” katanya seakan-akan dirinya yang bersalah atas kegagalan saya menjadi peserta residensi itu.


Saya terharu atas begitu luhurnya sikap beliau. Kualitas sejati seorang guru yang selalu ingin melihat muridnya maju. Maka saya jawab dengan menguatkan hati yang sedang goyah. “Rekomendasi Pak Bud pasti sudah lebih dari cukup. Saya kira proposal saya yang kurang membuat yakin panitia untuk menerima saya. Atau jika proposal saya sudah memadai, mungkin ada proposal dari peserta negara lain yang lebih baik lagi. Saya yakin bukan karena rekomendasi Pak Bud.”


Beliau menanggapi dengan sikap kebapakan. “Program residensi bukan segalanya, Mas Akmal. Yang penting teruslah menulis, berkarya. Saya yakin Mas Akmal punya potensi untuk menjadi penulis besar. Jangan berhenti.”


5/
 Maret 2013. Berlangsung acara Maklumat Hari Sastra Nasional di SMAN 2 Birugo, Bukittinggi. Oleh penggagas acara Penyair Taufiq Ismail, tempat ini dipilih karena sekolah yang dibangun pada 1873 ini pernah menjadi tempat menuntut ilmu Abdul Muis (1886-1959) yang kelak menulis roman Salah Asuhan (1928). Adalah Abdul Muis juga yang dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional pertama Republik Indonesia oleh Presiden Soekarno pada 30 Agustus 1959. Puluhan sastrawan dan penulis menghadiri acara ini.


Rangkaian momen selama acara ini merupakan salah satu fragmen waktu yang kian mendekatkan saya dengan Pak Bud karena panitia membawa kami ke sejumlah tempat wisata di Sumatra Barat, salah satunya ke tepian Danau Singkarak. Salah satu ucapan Pak Bud yang sangat saya ingat ketika kami raun-raun ini adalah, “Seorang pengarang selalu menulis buku berikutnya, lagi dan lagi, karena dia tahu karya sebelumnya tak sempurna maka dia ingin menyempurnakan dengan karya selanjutnya. Karena tak pernah ada karya yang sempurna, maka proses kreatif sang pengarang berlanjut.”


5/
 Lalu saya melanggar pesan Pak Bud. Setahun setelah pertemuan di Sumatra Barat itu, saya berhenti menulis. Bahkan saya berpikir untuk tidak pernah menulis lagi karena minat dan konsentrasi saya sedang teralihkan dengan hebat pada hal lain di luar dunia penulisan. Saya vakum selama empat tahun meski komunikasi (jarak jauh) tetap berjalan dengan Pak Bud. Saya masih membaca cerpen-cerpennya di media cetak, meski tak berhasil membuat saya tergerak untuk melakukan hal serupa selama sebelumnya.


Baru pada tahun 2018 saya menulis kembali dengan terbitnya novel Dilarang Bercanda dengan Kenangan pada akhir tahun yang dilanjutkan dengan sekuel Gitasmara Semesta. Saya beranikan diri lagi meminta penilaian Pak Bud atas dua novel ini (kali ini bukan draf, melainkan setelah terbit dan beredar). Pak Bud mengomentari via WA, “Spektrum pemikiran Mas Akmal sangat luas dan beragam. Bagus sekali. Nilai keuniversalan menjadi kekuatan novel Mas Akmal ini. Mungkin perlu direnungkan untuk penulisan buku ketiga. Selamat.”


Tanggapan itu berhasil mengembalikan semangat dan energi kepenulisan saya untuk kembali berkarya, selain faktor-faktor penunjang lainnya. Namun belum sempat saya menunaikan pesan beliau agar melanjutkan buku ketiga Dilarang Bercanda dengan Kenangan, Pak Bud lebih dulu berpulang ke Negeri Keabadian dengan banyak kenangan personal yang harus saya rawat. Namun cerita belum berhenti di sini.


6/
Selain sempat vakum menulis novel, saya juga lebih lama lagi vakum sebagai penulis cerpen sekitar sembilan tahun. Setelah cerpen “Epitaf Bagi Sebuah Alibi” ( Kompas, Oktober 2011) baru pada April 2020 saya bisa menulis cerpen lagi yang berjudul “Lebaran Kami, Terserah Kami” ( Republika) tentang sepasang suami istri yang nekat pulang kampung ke Jawa Timur di tengah pandemi yang mulai menggila. Begitu cerpen muncul, Pak Bud langsung mengirimkan komentar. “Cerpen Mas Akmal mengandung dua unsur yang bertentangan, tapi melebur jadi satu: menyedihkan tetapi juga membuat tertawa karena lucu. Ada open house para pejabat, hilangnya rasa hormat masyarakat kepada pejabat, “ilmu hitam” tingkat tinggi para petinggi partai yang menipu rakyat kecil, perusahaan abal-abal yang mengakali rakyat jelata dengan tambahan ongkos tuslah yang tak masuk akal, dan seterusnya. Tetapi kalau saya boleh mengusulkan, sebaiknya ...” tulis beliau dengan memberikan poin-poin penyempurnaan.


Saran itu saya ikuti dengan mengembangkan dan menyempurnakan cerpen sebagai bagian dari kumpulan cerpen kedua saya Putik Safron di Sayap Izrail yang terbit akhir 2020 lalu. Pak Bud kembali menawarkan diri membaca semua cerpen saya dan memberikan testimoni, yang dipasang Republika Penerbit pada halaman sampul depan, “Kumpulan cerita pendek ini mengokohkan Akmal Nasery Basral sebagai pengarang yang kuat dengan pemikiran penting dalam sastra kita” Prof. Dr. Budi Darma, sastrawan.


7/
2021. Ketika novel saya Dayon diluncurkan di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) dalam rangkaian Festival Hari Buku Nasional akhir Mei lalu, Pak Bud rupanya memantau dari jauh dan mengirimkan pesan. “Mas Akmal, selamat atas kreativitas yang semakin meningkat. Jaga kesehatan Mas Akmal. Saya sedang dirawat di RS. Kecapaian.”


Tiga bulan kemudian, pada 20 Juli 2021, Pak Bud mengirimkan ucapan selamat Hari Raya Idul Adha. Dan itulah komunikasi terakhir kami.


Beberapa hari kemudian saya dengar Pak Bud positif Covid-19. Mengingat usia beliau yang sepuh (84 tahun) saya tahan diri untuk tidak menelponnya agar beliau bisa beristirahat total. Saya tetap mengirimkan pesan teks yang menyemangati beliau.


Namun Allah Maha Pengasih Maha Penyayang lebih menghendaki Sang Begawan Sastra, kembali ke haribaanNya pada pagi 21 Agustus 2021 pukul 06.00 WIB, hari ini.


Selamat jalan Guruku. Selamat jalan orang pilihan.


Namamu benar-benar mengejawantah dalam tingkah laku yang sesuai: tinggi “budi” dan banyak “darma”.


Kombinasi yang semakin langka di tengah dunia yang kian hingar, serba bergegas, dan surutnya penghargaan yang tulus dari hati nurani antarsesama, hatta di kalangan seniman, penulis dan pujangga.


8/
OBITUARI ini menyempal dari tradisi umum di mana kisah hidup dan karya-karya sosok yang wafat biasanya diungkap dan diulas dengan rinci. Saya tidak melakukan itu karena meyakini obituari tentang Pak Bud yang ditulis para penulis lain pasti sudah berlimpah ruah tentang detil-detil itu.


Saya memilih untuk bercerita secara personal seperti ini agar sikap seorang Begawan Sastra yang luar biasa mendorong, memotivasi, mengayomi, penulis dari generasi yang jauh lebih muda bisa diketahui oleh masyarakat luas, terutama yang belum membaca karya-karyanya yang luar biasa.


Butuh hampir 12 jam bagi saya untuk menuliskan obituari ini dengan menahan tangis yang nyaris meledakkan dada sejak kata pertama. Dan benar-benar tak bisa saya tahan lagi pada baris-baris terakhir kenangan personal yang meremukkan hati ini. 


Cibubur, 21.08.21 jelang Maghrib.

LIPSUS