Cari Berita

Breaking News

Konflik itu Indah

INILAMPUNG
Selasa, 28 September 2021
Views


ENDRI KALIANDA


BEBERAPA waktu belakangan, kita disuguhi drama epik. Tentang bagaimana relasi antara penguasa arogan dan pengusaha nakal pengemplang pajak.


Dua persepsi itu yang terbangun. Jika mendukung Walikota Bandarlampung menyegel Bakso Sony pasti berasumsi, Haji Sony itu pengusaha kaya yang nakal lantaran dianggap mengemplang pajak.


Begitu juga sebaliknya, jika mendukung Bakso Sony, Hajah Eva Dwiyana itu walikota arogan.


Kasus ini menarik. Sebagai kajian komunikasi politik untuk menemukan serangkaian pesan yang berusaha disampaikan walikota maupun pengusaha.


Lihatlah bagaimana upaya menantang yang dilakukan oleh pemilik Bakso Sony dalam konfrensi pers itu. Menyeret persoalan ke ranah kemanusiaan. Yakni, nasib karyawan dan keberpihakan pada ratusan pekerja yang menguatkan basis opini adanya “penguasa arogan”.


Namun lebih lanjut, lihat beragam upaya negosiasi yang dibangun pemerintah kota dengan beragam pernyataan yang semakin menguatkan, Bakso Sony itu karakter pengusaha pengemplang pajak yang menolak resolusi.


Perseteruan semakin meluas, ada kabar gugatan ke PTUN dan melapor ke Presiden.


Padahal, sebelumnya, persepsi publik digiring ke ranah “arogansinya penguasa”. Yakni, dengan pemasangan banner dan pernyataan pihak manajemen Bakso Sony di semua gerainya yang ada di Bandarlampung, bakal pindah ke Palembang. Lalu kemudian dipasang banner besar, Bakso Sony kembali buka. Seperti biasa, selalu ramai dan memang harus diakui, Bakso Sony merupakan kudapan lezat yang sudah sangat terkenal dan jadi magnet salah satu kuliner khas kota tapis berseri.


Saya tertarik dengan pernyataan dan tampilnya Haji Sony ke ruang publik yang seolah, mencemaskan nasib dua ratus karyawan dan ribuan keluarga karyawan yang memang menggantungkan dapur ekonominya pada berjalan tidaknya roda usaha Bakso Sony.


Bahasa yang sinis dibangun dan selalu muncul. Perhatikan kalimatnya. “Pemkot bangga? Bisa nutup. Kami bayar pajak, bahkan sering dapat penghargaan. Bisa berjalan dua tahun saja sudah bagus.”


Lihat pernyataan Haji Sony ketika konfrensi pers itu. Yang beberapa waktu lalu videonya dilansir banyak media. Apakah ada ketakutan, sedih, atau justru mengancam?


Jika dipotong kalimat Haji Sony; “Bisa berjalan dua tahun saja sudah bagus.”


Jelas, kalimat itu adalah karakter khas pengusaha yang merasa terancam dan balik menyerang.


Pada narasi “gila”-nya pengusaha, jangankan urusan politik. Pada soal-soal paling muskil pun, bisa dilakukan. Yang mustahil dibalik jadi realitas, yang imajinasi pun, bisa diwujudkan. Jadi kenyataan. Banyak sudah buktinya. Sebab, dalam teori kekuasaan, di atas penguasa itu pasti ada yang mengendalikan kuasa. Uang. Dan pemilik uang adalah pengusaha. Yang dalam term percaturan politik ada postulat tiga penyebab perang yakni, harta, tahta, dan wanita. Tiga pemantik perseteruan, bahkan perang dunia, akar masalahnya selalu masuk dalam trikotomi itu.


Pada ranah ini mestinya Haji Sony sebagai pengusaha dan Hajah Eva sebagai walikota sadar. Apa coba yang diperebutkan dalam genderang perang itu?


Mari turunkan tensi. Jika semua berdalih mencari siapa salah siapa benar, sekalian saja perang bubat. Haji Sony sebagai pengusaha, sekalian biayai gerakan massa dan politik untuk menurunkan walikota atau maju sendiri sebagai calon walikota. Begitu juga walikota, jika merasa benar dan terus menaikkan emosi, sekalian bumi hangus, buat Bakso Hj Eva sebagai media menghabisi pasar Bakso Sony. Akan tetapi, apa untungnya? Tulisan ini adalah penegas persoalan, dalam hal ini jelas tidak ada yang benar. Yang ada hanya “penguasa arogan” atau “pengusaha nakal”. Selesai. Jika mau mengakhirinya, menurut saya cukup mudah. Penguasa menjalankan fungsi pengemong semua lapisan masyarakat. Pengusaha juga sadar ada kewajiban sebagai penderma untuk negara.


Namun demikian, sebagai warga, jelas saya lebih suka keduanya terus berperang. Terus merasa benar sendiri, dan terus saling menyerang dengan belati yang semangatnya adalah saling menikam, saling menghabisi. Lalu, konflik itu diwariskan turun-temurun, berebut pengaruh dengan terus merekrut pendukung, jadi semacam serial seperti film India yang tidak berujung.


Sayangnya, dua-duanya meski memenuhi prasyarat untuk perang dan punya banyak pengikut. Juga bergelar haji dan hajah. Keduanya punya identitas puncak kesholehan seorang muslim.


Dua orang itu juga saya tahu, punya kesan pengalaman keagamaan yang membuat getar tersendiri.


Bunda Eva saya tahu, dianggap malaikat oleh tetangga yang sering membantu upahan nyetrika. Sebab, menurut dia, tak mungkin dirinya bisa melihat serta nangis di depan kabah pada waktu ibadah umroh jika tak dibantu Bunda Eva. Begitu juga Haji Sony, dipuji tetangga saya yang lain setinggi langit. Sebab, berkat Bimago yang didirikannya itu, putranya sudah jadi penyejuk mata dan pandai agama setelah diterima mondok di Gontor.


Bayangkan, dua orang yang dipuji mulia oleh tetangga saya, mendadak berseteru ke ranah publik. Tercermin yang satu arogan dan yang satu nakal?!


Ayo, jangan damai. Jangan berdialog. Jangan saling memaafkan. Teruslah emosi dan merasa benar sendiri. Konflik itu indah. Kelak, sejarah akan mencatat, serupa dongeng pengantar tidur. Pada zaman dulu kala, ada konflik antara ratu dan juragan, bla…bla…bla…(*)


ENDRI KALIANDA

Esais, tinggal di Bandarlampung




LIPSUS