Cari Berita

Breaking News

Sekolah Muhammadiyah

INILAMPUNG
Minggu, 05 September 2021

Oleh: Hasbullah

SAYA sedang bercengkrama dengan keluarga, bercanda bareng anak-anak. Terhenti ketika ada pesan di ponsel, yang juga membuat saya mengerutkan dahi. Dan tentu, disertai senyum sinis. Pasalnya, pesan dari salah satu Kepala Sekolah di SMA Muhammadiyah itu menjelaskan dengan bangga, banyak lulusan sekolahnya melanjutkan kuliah ke Universitas Aisyah Pringsewu.

Sebagai salah satu pengajar di Universitas Muhammadiyah Pringsewu (Umpri) yang ia kenal, mungkin kepala sekolah itu mengira Aisyah bagian dari Muhammadiyah.

Awalnya, saya merasa tak perlu memberikan penjelasan apa pun. Namun kekeliruan ini mesti diluruskan. Bahwa jelas berbeda, antara Aisyiyah sebagai ortom Muhammadiyah dengan Aisyah yang jadi yayasan sendiri. Perguruan tinggi yang dimaksud kepala sekolah itu, tidak ada hubungan organisatoris sama sekali dengan Muhammadiyah. Hal ini cukup sering terjadi. Sehingga perlu diberikan penjelasan, satu-satunya perguruan tinggi milik Muhammadiyah di Pringsewu, hanya Umpri. Selain itu, bukan bagian dari amal usaha Muhammadiyah.

Kejadian ini mengingatkan kita pada polemik soal merk dagang pada kasus gambar badak di sebuah produk.

Perlu diketahui, kasus perubahan dari STIKES Muhammadiyah menjadi bagian dari Umpri, merupakan gabungan dari beberapa perguruan tinggi yang sudah lama ada, bahkan sejak Pringsewu masih menyatu dengan Kabupaten Lampung Selatan. Seperti, STIE Muhammadiyah dan STKIP Muhammadiyah.

Dan semua amal usaha milik Muhammadiyah, bukan dan tidak bisa dikuasi perseorangan lazimnya yayasan atau perguruan tinggi lain.

Hal ini penting untuk diketahui oleh masyarakat luas. Terkhusus pimpinan dan anggota Muhamadiyah dari tingkat pusat sampai pada ranting, termasuk jamaah kajian. Agar semua jelas dan tidak salah pilih. Karena, kesalahan seperti ini bukan terjadi satu, dua, atau tiga kali saja. Namun sudah berkali-kali dengan alasan yang berbeda-beda. Faktanya juga, kita tak punya hak melarang siapa pun mendirikan yayasan pendidikan memakai nama yang sedikit disamarkan. Misal SD Al Azhar, meski tak terkoneksi sama sekali dengan universitas Al Azhar di Mesir.

Namun kita harus menyadari, bahwa Umpri selama ini belum maksimal mengenalkan diri kepada masyarakat. Mengenalkan diri ke ranting dan cabang Muhammadiyah se Lampung, terutama sekolah-sekolah milik persyarikatan pun belum optimal. Kejadian ini sepertinya juga menjadi peringatan, pengingat dan motivasi, bahwa Umpri adalah milik Muhammadiyah. Sehinga keberadaan Umpri adalah media dakwah amar maruf nahi munkar. Bukan untuk berfoya-foya, melanggengkan kekuasaan serta menumpuk harta.

Prinsip utamanya, sekolah melalui guru Kemuhammadiyahan harus klarifikasi dengan apa yang selama ini disampaikan selama belajar. Manajer sekolah pun harus bertanggung jawab, lebih memaksimalkan perannya sebagai wakil persyarikatan di sekolah. Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) adalah tempat menyemai kader Muhammadiyah. Jangan sampai persoalan merk dan perbedaan Aisyah dengan Aisyiyah sebagai institusi yang mestinya bukan persoalan, jadi timbunan kesalahan yang terus berulang setiap tahun.

Perkaderan di amal usaha secara organisasi, yang bertangung jawab adalah pimpinan. Rektor atau ketua di tingkat perguruan tinggi. Kepala sekolah di tingkat pendidikan sekolah. Maka segeralah berbenah, yang besar sekolahnya banyak muridnya jangan sombong dan berbangga diri. Sekolah yang kecil, baik murid dan keadaan jangan berkecil hati serta terus belajar untuk menjadi besar.

Pada setiap jenjang pendidikan Muhammadiyah, akan ada organisasi otonom. Di sekolah misalkan ada IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah), perguruan tinggi ada IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Semua organisasi tersebut membantu sekolah melaksakan perkaderan Muhammadiyah. Artinya, keberadaanya harus diutamakan dan dirawat bersama ortom lainnya. Ada juga seni bela diri di bawah naungan Tapak Suci Putera Muhammadiyah (TSPM) dan Pandu Hizbul Wathan (Pandu HW) yang bisa jadi ekstrakulikuler unggulan.

Sehingga kejadian atas kesalahan fahaman terhadap Muhammadiyah dan ortomnya, tidak terjadi lagi. Seperti rekan saya di atas, yang bangga mengabarkan banyak anak didiknya, masuk perguruan tinggi Muhammadiyah. Padahal, masuk sekolah yang tidak terhubung sama sekali dengan Muhammadiyah.(*)

Hassbullah
Dosen UMPRI, Kandidat Doktor IAIN Fatmawati Sukarno Bengkulu

LIPSUS