Cari Berita

Breaking News

Membaca Aceh di Majalah Tua

INILAMPUNG
Selasa, 19 Oktober 2021

Ibnu Mundzir/Inilampung

INILAMPUNG.COM-
Kalau ke lapak majalah bekas, saya suka mencari Tempo lama dengan liputan utama tentang Aceh. Yang menarik dari majalah-majalah berbau apak itu bukan hanya kisah yang dikabarkan, tapi juga bagaimana Tempo menuturkannya. Sebaiknya ada mahasiswa/i komunikasi yang menulis skripsi tentang analisa wacana pemberitaan Aceh di majalah Tempo, di antaranya dengan membandingkan pola pemberitaan pada masa Soeharto dan Reformasi.


Majalah tertua yang saya dapatkan berjudul “Ada apa di Aceh” terbitan Juni 1990, beberapa bulan setelah status daerah operasi militer (DOM) ditetapkan. 


Liputan utama edisi ini diawali dengan pernyataan dari perwira ABRI bahwa Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) adalah “komplotan penjahat kriminal”, bukan gerakan politik atau respon terhadap kesenjangan sosial, yang utamanya beraksi di tiga kecamatan: Tiro, Kota Makmur, dan Langsa. 


Pemerintah bahkan sengaja menggunakan istilah “gerombolan”, dan bukan “gerakan” yang terorganisir serta menyangkal adanya warga Aceh yang ikut pelatihan militer di Libia. Artikel kedua Tempo mempertanyakan munculnya kantong-kantong industri (PT Arun, PT Aceh Asean Fertilizer, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Kertas Kraft Aceh) di bagian utara Aceh serta menurunnya pendapatan per kapita masyarakat pedesaan Aceh yang dapat menyebabkan kecemburuan sosial. Tempo juga memberitakan peledakan cottage Surya Aceh di pantai Hagu dan massa yang mengobrak-abrik pertunjukan Oriental Sirkus Indonesia di Lapangan Hirak, Lhokseumawe. 


Ada juga demonstrasi pengikut Teungku Bantaqiah di Sigli dan Meulaboh pada Mei 1987 dengan mengenakan jubah putih/hitam, bersorban, dan membawa pedang atau tombak sembari menyerukan untuk membasmi kebatilan dan menegakkan Islam. Dalam liputannya, Tempo mewawancarai perwira ABRI, gubernur, akademisi, ketua HMI, mantan pejuang DI/TII, dan beberapa korban penembakan, tapi tidak satupun perwakilan dari yang mereka disebut dengan GPK.


Beberapa bulan kemudian, November 1990, Tempo mengangkat liputan “Mengamankan Aceh.” Di Edisi ini, Tempo mencoba menelusuri kebenaran berita Reuters tentang adanya 200 mayat dalam sebuah lubang di Alue Ie Mirah, Aceh Timur. Warga gampong yang diwawancarai Tempo menyebutkan bahwa memang ada belasan mayat misterius yang ditemukan, tapi tidak sampai ratusan. Dalam edisi ini, Tempo masih menggunakan istilah GPK dan sekali menyebut gerakan (dengan g kecil) Aceh Merdeka di editorial. Pola penempatan artikel Tempo dalam dua edisi di tahun 1990 hampir mirip: menyajikan berita yang berisi informasi dari ABRI di awal lalu dari pemerintah Aceh dan masyarakat kemudian transkripsi wawancara dengan petinggi ABRI, dan baru ditutup dengan analisa tentang kesenjangan sosial di Aceh. Dalam situasi represi terhadap pers di zaman Soeharto, pilihan judul “Mengamankan Aceh” bisa jadi adalah upaya “mengamankan media” agar tidak dipermasalahkan penguasa.   


Pada Januari 1999, Tempo menggunakan sampul yang sama dengan edisi November 1990 sebagai simbol bahwa delapan tahun telah berlalu tapi kondisi di Aceh tetap sama: penuh kekerasan. Kali ini Tempo menyoroti berbagai kekerasan pasca pencabutan DOM. Edisi di masa reformasi ini juga mengangkat kampung-kampung janda di Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur, termasuk sebuah kampung dimana 15 dari 40 keluarga di sana mengalami kehilangan suami/ayah. Mantan Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan, memperkirakan ada 6.000 janda akibat konflik sedangkan laporan Komnas HAM (1998) menyebut 3.000 orang. Tempo juga mengangkat perjuangan masyarakat sipil yang membentuk Aceh Forum di New York. Pada liputan ini, Tempo mulai mewawancarai perwakilan GAM, seorang dokter lulusan USU yang menjabat mentri kesehatan GAM, dan namanya disamarkan sebagai Dr. Daud Raja. Dengan mudah kita bisa menebak nama asli beliau. 


Di sekitar penetapan darurat militer di Aceh, 19 Mei 2003, Tempo minimal lima kali menjadikan konflik Aceh sebagai berita utama. Dalam editorialnya, Tempo menyerukan pentingnya mencegah masyarakat sebagai korban kekerasan sembari berharap Aceh tetap menjadi bagian Indonesia sehingga opsi perundingan perlu didahulukan. Dalam situasi perang, informasi yang hadir sering simpang siur dan tidak jernih. Tempo di antaranya mencoba menelusuri apakah belasan orang yang ditembak pada suatu pagi di Peusangan adalah masyarakat sipil atau kombatan. Masing-masing pihak memiliki versi masing-masing yang membuka beragam pertanyaan karena inkonsistensi pernyataan mereka. Dalam liputan di masa ini, wawancara dengan berbagai sumber GAM di Aceh dan Eropa sudah ditampilkan dengan tanpa nama samaran lagi. 


Tempo juga menyajikan liputan khusus pada edisi 17 Agustus 2003 tentang “Mengapa Aceh Berontak.” Para cendekia pun menyumbang tulisan: Taufik Abdullah, Anthony Reid, Otto Syamsudin Ishak, Fachry Ali, Hasan Muarif Ambary, Karel Steenbrink, Isa Sulaiman, Coen Holtzappel, dan Bill Liddle. Ada yang kurang? Mungkin James Siegel dan Ibrahim Alfian. 


Saat mengampu mata kuliah psikologi perdamaian, saya memfotokopi edisi ini dan meminta mahasiswa/i membacanya, sebagaimana saya merekomendasikan mereka membaca “Aceh bak mata donya.


Pada Agustus 2005, Tempo mengangkat “Aceh Damai, Jakarta Ribut” yang berisi tentang keberhasilan perjanjian damai di Helsinki, kegembiraan masyarakat di Aceh, dan kegusaran sebagian politisi di Jakarta. Menjelang perjanjian damai, rapa’i pasee ditabuh di berbagai penjuru Aceh sembari mengingat pesan endatu “Nyo ka jimeusue rapai uroh, lageum dipiyoh jimeusue budee: kalau rapai sudah berbunyi, rentetan senjata akan berhenti.” 


Segera setelah perjanjian damai, sebagian politisi di Jakarta menentangnya, bahkan mengancam akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, karena perunding RI dianggap memberikan konsesi terlalu banyak ke GAM. Wewenang Aceh untuk menetapkan suku bunga berbeda dari Bank Indonesia dan mengajukan pinjaman ke luar negeri  dapat mengancam kedaulatan sistem ekonomi Indonesia. Kekhawatiran yang tidak terbukti sampai hari ini apalagi ketika semua bank di Aceh hari ini adalah bank syariah yang tidak mengenal “bunga” dan sebagian anggaran pembangunan yang ada masih menjadi SILPA. 


Pasca damai, sesekali ada liputan tentang Aceh dalam rubrik nasional Tempo seperti tulisan Arif Zulkifli yang menggambarkan dengan puitis perjalanan kepulangan Hasan Tiro ke Aceh pada 2008 dalam artikel “Seorang lelaki di bawah hujan,” yang juga berkisah bahwa almarhum suka sekali minum Coca-Cola.


Edisi April 2012, Tangan Jakarta di Serambi Mekkah, menyoroti tegangnya kontestasi pilkada antara  Zaini Abdullah & Muzakkir Manaf serta Irwandi Yusuf yang dulu sama-sama berjuang dalam GAM. Di sisi lain, Jusuf Kalla dan Prabowo mendukung pasangan Zikir. Tiga purnawirawan jendral TNI yang pernah bertugas di Aceh bahkan menjadi juru kampanye mereka. Ini menjadi pengingat pelajaran bahwa "dalam politik, tidak ada teman dan lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi."


Setelah 2012, politik Aceh tidak pernah lagi menjadi berita utama di Tempo. Dalam edisi Agustus 2005, Tempo menulis “Di Aceh, perang dan damai berganti seperti musim.” Semoga ini salah. Jika topiknya harus tentang konflik dan bencana, sebaiknya tidak ada lagi kesempatan bagi Aceh untuk menjadi berita utama Tempo.


Penulis: Ibnu Mundzir

Warga Lamtim yang Kini Bermukim di Aceh

Alumnus Psychology & Social Change di Pennsylvania State University

LIPSUS