Cari Berita

Breaking News

Rasanya Geli

INILAMPUNG
Minggu, 24 Oktober 2021

Endri Kalianda (ist/inilampung)

SAYA menonton semua potkes Bung Dolof dengan bakal calon Ketua PWI Lampung yang punya visi kongkrit. Namun, rasanya, geli. Sama sekali tidak mendidik. Bukan membangkitkan sisi self confidence para jurnalis, menurut saya justru merunyak. 

Memang belum pada fase merusak. Sebatas merunyak integritas kewartawanan. Misal, munculnya diksi upeti, money politics, jumlah total pemilik suara, dan kata-kata seperti marwah yang tidak tepat guna. 

Juga tidak lucu. 

Rasanya, geli.

Saya menunggu munculnya tafsir-tafsir baru dan ejawantah profesi jurnalis yang substansinya adalah ilmuwan yang langsung praktik lapangan di tengah derasnya arus informasi berbasis tekhnologi digital. Tak jarang, justru banyak berita yang narasumber utamanya adalah postingan seseorang di medsos yang viral, masuk dalam jebakan kekinian, lalu memposisikan wartawan adalah profesi kuno, kalah pamor dibanding blogger, yutuber, selebgram, dan semacamnya. 

Ini jelas menggelikan, kenapa yang mengerdilkan kehebatan wartawan justru wartawan sendiri? 

Beberapa calon yang berhasil diwawancarai dan dikulik oleh Bung Dolof yang sudah mirip potkesnya Deddy Corbuzier itu. Yang tanya tapi lebih banyak melahirkan diksi penting selama wawancara itu. Sayang, hanya menonjolkan sisi kontestasi. Siapa yang lebih layak jadi ketua dan apa latar belakangnya. Belum melahirkan sejumlah gagasan besar, baik yang realistis sebagai pengayom para wartawan maupun yang utopis, sebagai pijakan idealitas dan menjaga kemurnian profesi agar tetap mampu menafsir makna zaman.

Membangun SDM, marwah, dan kolektif kolegial yang diusung bakal calon ketua PWI Lampung di potkes itu, jelas pada level "penguatan" saja, bukan pembaharuan yang posisinya adalah suar untuk semakin menegaskan bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi. Yang belakangan, pilar itu sudah direduksi dengan lahirnya UU Pers, UU Penyiaran, dan banjir informasi di medsos. Pilar demokrasi hanya tiga. Yakni, eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Kalau pun ada 4, bukan lagi dipegang pers, tapi oleh buzzer. Sebuah pola industri komunikasi baru yang terus memproduksi jurnalisme hoax pembakar nafsu. 

Potkes itu, juga jelas melanggar undang-undang penyiaran. Sebab, secara gamblang, pewawancara tampil di ruang publik yang notabene punya hak siar dan bisa dianggap sebagai produk jurnalistik, tetapi sambil merokok. Untungnya, tiga calon ketua yang diwawancari, tidak ada yang merokok. Meski kemudian, muncul canda di kalangan jurnalis sendiri, wartawan tak merokok itu dianggap, tidak bisa jadi ketua. 

Logika yang terbangun, sebagai syarat tak tertulis, ketua wartawan itu ya harus merokok. Nanti, kalau tidak merokok, bisa berbahaya, bakal disusupi semangat kemalaikatan. 

Artinya, merasa dirinya malaikat. Selalu benar. Tidak pernah salah. Lalu lebih parah, melihat karya jurnalistik dalam wajah hitam putih, salah benar, yang pada batas-batas tertentu jadi pengadilan baik buruknya sebuah warta. Standardisasinya, pasti suka dan tidak suka, pendukung bukan pendukung, patron klien, senior junior. 

Ukuran-ukuran yang dipakai menilai, juga pasti paradoks. Misalnya, benarkah senior junior dinilai dari umur wartawan, atau lamanya jadi wartawan? Atawa dari jabatan di media? Atau apakah ada berita baik dan berita buruk. Meneguhkan diktum badnews goodnews? Rancu sekali. 

Bayangkan, jika ada wartawan tua, tapi kalah lama bergelut di dunia kewartawanan dan kalah posisi dari yang lebih muda usia, siapa yang senior? Bagaimana mungkin disebut ilmuwan dan sebuah profesi jika tata organisasi di dalamnya rancu, lalu perebutan ketua sebuah lembaga jauh lebih seksi di banding term perkembangan ilmu-ilmu jurnalistik dan kebaruan produk berita, juga visi dan gagasan-gagasan besar yang diusung calon ketua yang nantinya menjadi pengayom insan media? 

Artinya, menurut saya, mau pragmatis malu, mau idealis tanggung. 

Fenomena penting belakangan ini, yang mestinya disentuh bakal calon Ketua PWI Lampung. Kenapa banyak resto, kafe, lapak usaha, jika launching produk atau buka cabang baru, yang diundang bukan institusi media lagi. Melainkan selebgram, yutuber, blogger, dan pemilik akun-akun medsos yang banyak pengikut. Termasuk di sana mereka pasang iklan dan mengeluarkan budjet promosi. Sebaliknya, banyak wartawan, sibuk mengejar konfrensi pers atau menunggu rilis devisi-devisi humas lembaga pemerintah? Lihat, siapa yang memopulerkan pariwisata Lampung, lebih banyak penggiat medsos atau wartawan? Atau mau ada pengakuan bahwa selebgram juga wartawan? Atau wartawan yang mesti dipacu ikut jadi selebritas di medsos?

Jurnalisme sebagai madzab keilmuan, sudah banyak berkembang mewarnai kemajuan zaman. Sejak dikenalnya jurnalisme perang. Pasca reformasi, seiring lahirnya Pilkada, Kompas yang mulai konsen meneguhkan diri untuk mengembangkan jurnalisme presisi lewat pendirian ombudsman itu, semakin memperkuat riset dan jajak pendapat sebagai produk jurnalistik. 

Kita ketahui juga, ada Tempo yang mengembangkan jurnalisme sastrawi. 

Lalu, model jurnalisme grafis dan pengalaman empirik yang dikembangkan Tirto dan atau Multatuli.   

Kita juga melihat, adanya berita yang vokabulernya berbasis ucapan narasumber model Rakyat Merdeka. Atawa yang lebih fokus membangun rubrikasi seperti CNN, detiktravel, dlsb.

Di Lampung, bisa disebut, dari hasil riset Nilsen, serta beberapa lembaga survei, ada 5 media massa yang disebut mainstream. Yakni, dua elektronik dan tiga surat kabar. TVRI, RRI, Radar Lampung, Lampung Post, dan Tribun Lampung. Namun hal itu juga masih butuh penelitian, apa yang melatarbelakangi media massa disebut mainstream dan mediocare? 

Secara kontestasi politik, jelas perebutan Ketua PWI Lampung tidak ada menarik-menariknya, apalagi seksi jika dibanding Pilkades. Sebab, PWI itu organisasi perhimpunan rekan senasib sepenanggungan, satu profesi yang kemudian dibuat struktur agar tercipta roda pergerakan sistematis. Jika tujuan bersama dan target perhimpunan tidak ideal, apalagi kalah dengan nuansa politik berebut jabatan, pasti berakhir pada suka tidak suka, organisasi kemudian stagnan. Lalu mati. 

Itulah kenapa, tata cara pemilihan yang paling ideal dalam setiap pengambilan keputusan, apalagi untuk menjabat sebagai ketua sebuah perhimpunan, harus dikedepankan musyawarah mufakat dibanding votting. 

Kalaupun menguat pada perebutan berbasis banyak kandidat, yang pertama dipertandingkan adalah gagasan. Visi dan idealitas, konseptual apa yang menjadi misi selama mengemban amanah jadi Ketua PWI Lampung ke depan. Pragmatisnya, mau ngapain jika jadi Ketua PWI Lampung? Diskursus itu jauh lebih penting dari pada siapa yang bakal jadi ketua. 

Sebab, jangan-jangan nanti gagap, kaget, ternyata jauh panggang dari api. 

Eh, mesti bayar listrik kantor, memberi gaji penjaga gedung, dan staf kantor. Lalu, mulai merasa aneh, staf dan penjaga kantor digaji, tapi pengurus inti tidak? Jika digaji, ini organisasi nirlaba atau perusahaan? Persatuan Wartawan atawa Per-sate-an Wartawan? 

Awas, nanti merasa geli. 

Lho, kok, ternyata berebut pepesan kosong. Proposal ke pemerintah, sudah mengklaim sebagai oposisi. Minta ke perusahaan, semua sudah punya devisi medsos dan PR/Humas-nya, justru punya media cetak sendiri. 

Amsyong deh. 😜
(*)



ENDRI KALIANDA
Penulis Rindu HPN di Lampung




LIPSUS