Cari Berita

Breaking News

Rindu HPN di Lampung

INILAMPUNG
Sabtu, 02 Oktober 2021
Views

JELANG Konfrensi Pimpinan Cabang (Konfercab) PWI Lampung, kontestasi dan diskursus seputar idealitas siapa yang bakal jadi ketua, semakin menarik. Terlebih, setelah Bung Dolof, sapaan akrab Adolf Ayatullah Indrajaya mengeluarkan opini seputar numpang liyu yang cukup tajam sebagai otokritik sekaligus visi bagaimana PWI Lampung ke depan.

Saya sebenarnya, jelas tidak berkompeten ikut bertukar tangkap soal gagasan Konfercab PWI. Dalam canda keseharian, lebih familiar jika diplesetkan, "tak berkomponen". 

Sebab, meski pernah lolos sebagai CA ketika pelatihan jurnalistik selama tiga hari di gedung AEKI yang entah tahun berapa, dimana ketika itu, yang mengeluarkan sertifikat kelulusan masih Pak Tarman Azam, saya nyaris tak pernah mengupdate diri lagi dalam kancah organisasi kewartawanan. 
Seingat saya, dulu, CA boleh jadi pengurus meski bukan yang inti, dan pada saat itu saya masuk dalam kepengurusan PWI Perwakilan Lamsel, ketika ketuanya masih Bang Rudi, yang menggantikan Akhirudin Matondang. 
Lalu, saya berpindah-pindah tempat tinggal, sering tidak di Lampung, tak ikut beragam perkembangan. 

Ternyata, Bang Yadi, sapaan akrab Supriyadi Alfian, ketika itu, masih Sekretaris dengan Ketua Pak Rio, pernah menyuruh dan memarahi saya. "Cepet diurus itu CA, biar jadi anggota." Ketika saya mengambil sertifikat CA. Ternyata, sekarang beliau sudah jadi Ketua PWI Lampung. Menurut saya, kepemimpinan Bang Yadi, cukup berhasil. Antara lain, membangun kantor yang mentereng, juga meluaskan jejaring. Memberikan penghargaan pada banyak tokoh juga. 

PWI sekarang juga sudah terbentuk di semua kabupaten kota se-Lampung. 
Kecuali, di Kota Bandarlampung. Entah kenapa ibukota provinsi justru tak punya cabang perwakilan. Mungkin karena domisili Cabang PWI Lampung yang ada di dalam kota, sehingga urusan kewartawanan kota dalam kendali dan zona kerja PWI Lampung. Atau pedoman organisasi justru menegaskan hal lain? Entahlah. 

Saya hanya tersenyum dan merasa, sekali lagi, tidak berkomponen sebagai wartawan. Sehingga, CA itu tak pernah terurus.  Meski pernah ketika berkonflik dengan narasumber, Bang Yadi yang sukses mendamaikan. Saya bersikukuh tidak mau meralat berita, meski dimarah-marah narasumber, akhirnya akrab dengan penalaran, berita itu bukan pengadilan atau vonis salah benar, sebatas warta yang didukung fakta-fakta dan sumber kredibel, eh, sumber yang berkomponen.

So, saya bukan anggota PWI. Namun, saya merasa dekat dengan komunitas wartawan. Tepatnya, ketika puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Kota Padang, saya ikut hadir. Banyak bertemu tokoh-tokoh pers. Di ruang sarapan hotel juga, saya sempat berbincang dengan Bang Yadi. Bercengkrama dengan Bung Dolof. 

Lalu, bersama Mas Furqon, dan rombongan dari SKH Momentum, saya ikut jalan-jalan ke Bukit Tinggi guna melihat jam gadang.
Di sepanjang perjalanan itulah, yang terbayang hanya Provinsi Lampung. Panorama alam dan keindahan peradaban sai bumi ruwa jurai, menurut saya, tak kalah hebat dengan Sumbar. 

Saya membandingkan, air terjun dan ngarai sianok, serupa perjalanan menuju Tanggamus dan berhenti di air terjun Way Lalaan. Termasuk ketika melihat di kiri jalan, ada Rumah Puisi Taufik Ismail. Seketika, yang teringat adalah sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan ZS. Dan sampailah, pertemuan dengan Bang Isbedy ketika takziah di rumah almarhum tokoh pers Lampung, Buya HMI, saat itu ada Bung Dolof juga, menggagas, harusnya ada Lamban Sastra Isbedy di Lampung, model rumah puisi di Bukit Tinggi itu.

Termasuk soal kudapan lezat. Ketika berhenti di rumah makan sate Padang yang disebut Gubernur Sumbar dalam sambutan resminya. Belum ke Sumbar sebelum makan sate padang itu, agak keras saya ucapkan. "Enakkan sate padang uni sayang di depan Bambu Kuning." 

Sengaja, biar didengar pramusaji. Anehnya, Uda yang mengantar teh tawar hangat itu, hanya tersenyum.

Seingat saya, foto dan komentar itu juga saya unggah di instagram. Tapi, poinnya bukan itu. Maksud saya adalah, kita di Lampung ini punya khasanah seni budaya yang luar biasa adiluhung. Indah dan tak kalah dengan kota-kota berperadaban lain. Alangkah istimewanya, jika pindang, bakso sony (kalau gak ditutup), tari siger pengunten, tari melinting, cetik, dan semacamnya, tampil memukau para kontingen puncak HPN seluruh Indonesia. Syaratnya, tentu saja HPN harus dihelat di Lampung. Nah, bagaimana mewujudkan itu? Gubernur Lampung dan Presiden juga menyebut, misalnya, seperti waktu sambutan Gubernur Sumbar, belum ke Lampung sebelum makan bakso sony, atawa pindang riu, cik wo, atau apalah, yang merupakan ciri khas Lampung. Kalau memang tak ada merk yang layak disebut, bisa saja KFC atau MCD Kedaton. Yang penting, wujudkan HPN di Lampung. Itu yang paling visioner berdampak pada dunia kewartawanan dan kepariwisataan saat ini. Oleh siapa pun calon ketua PWI Lampung. Sebab, jelas orang model saya yang tidak berkomponen jadi wartawan, bisa punya gawe jadi sopir travel misalnya. Guide dadakan aneka hiburan dan pariwisata di Lampung. Cisnya lumayan.

Namun demikian, bagi saya, jika Bung Dolof tidak maju jadi calon ketua, sebaiknya beri pelajaran bagi bangsa ini, agar presiden bisa mencontoh dinamika demokrasi dari Lampung. Secara pribadi, meski tidak berkomponen sebagai wartawan, tak ada salahnya jika saya beropini, sebaiknya Bang Yadi, jadi Ketua Cabang PWI Lampung lagi. 
So, Presiden RI bisa mencontoh mekanisme memperpanjang masa jabatan sampai tiga periode dan atau berapa pun, hatta sepanjang orde baru. Demi stabilitas. Dalihnya, tentu bisa dipakai, sepanjang demi kemaslahatan. 

Menurut saya yang tidak berkomponen ini, jelas, tak ada salahnya gagasan itu. Dibanding yang mau maju tapi malu-malu atau yang maju tapi malu-maluin? 
Soal aturan, tinggal diubah sesuai selera. Omnibus Law yang begitu kompleks saja mudah lolos. Apalagi hanya PO.

Dan kalau ada diktum Lord Acton kemudian sering dikutip setengah-setengah itu, anggap sebatas gonggongan atawa nyinyir. Itu ilmuwan politik jadul yang terus dikembangkan era kekinian, gak relevan. Sering hanya dipakai kalau selaras dengan kepentingan pengutip saja. Tinggal dicari tandingannya. Dijawab dengan alasan yang seluas kebun-kebun milik tokoh adat kita. Eh, bukan, seluas kebun yang disewa kompeni itu.  

Mestinya, semua periodesasi kepemimpinan lembaga atau organisai, contoh model semua perusahaan atawa kompeni yang maju-maju itu. Jelas. Langgeng. Ideal. Kepemilikannya, bisa abadi dan diwariskan turun temurun. 

Yang tidak berkomponen, dilarang komen. Apalagi, ikut cuap-cuap dan ambil bagian. Soal saran harus jadi penyambung lidah wartawan, mengurusi kebutuhan publisitis dan nafkah wartawan, gampang. Bisa diatur. 
Pokoknya, secara pragmatis, HPN harus digelar di Lampung. Yang utopis atau idealis, cukup dikonsep dalam Konfercap semacam program kerja. 

Adakah calon Ketua PWI Lampung yang sanggup merealisasikan? Yang mau banyak. Yang mampu, jelas, menurut saya, hanya Bang Yadi. 

Dan atau, Bung Dolof mau maju jadi Ketua PWI Lampung juga? Undang gue potkes, geh?! (*)


ENDRI KALIANDA
Esais, tinggal di Bandarlampung


LIPSUS