Cari Berita

Breaking News

Suhadak dan Kalpataru 2021

INILAMPUNG
Minggu, 17 Oktober 2021
Views

Suhadak Menerima Anugerah Kalpataru 2021 didampingi Bupati Lampung Timur Dawam Rahardjo di Jakarta (ist/inilampung)

SAYA punya kenangan dengan Lapangan Kalpataru, dan saya pernah berbincang sampai larut malam dengan Bang Suhadak. Jauh sebelum beliau meraih Anugerah Kalpataru 2021 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.


Sebelum dinobatkan sebagai Pahlawan Lingkungan bersama 9 orang dan organisasi yang dapat anugerah bergengsi itu, Suhadak adalah prototipe sang penjaga hutan di Taman Nasional Waykambas (TNWK). Sekitar 2017 kami berbincang sampai jelang subuh, yang terlihat pada dirinya adalah seorang polisi hutan meski kami ngobrol di KGM yang notabene, berada di tengah Kota Bandarlampung.


Anugerah untuk kategeri "Pembina Lingkungan" merupakan keniscayaan dan imbalan yang layak. Sebab, diakui pemerintah atau tidak, Suhadak adalah pahlawan lingkungan bagi warga yang tinggal di area penyangga TNWK.


Bersama Forum Rembug Desa Penyangga (FRDP), juga dibantu oleh Balai TNWK, Suhadak sering bertangkis lumut dengan pengendalian gajah liar yang sering masuk ke kawasan permukiman penduduk dan meluluh lantakkan tanaman pangan dari pertanian warga hingga banyak melahirkan tragedi. Konflik gajah vs warga yang sering berujung pada ironi gajah mati. Atau tanaman di sawah ladang hancur, habis dilibas rombongan gajah liar. 


Suhadak merupakan penduduk asli Brajaharjosari, Kecamatan Barajaselebah, Lampung Timur itu, akhirnya menggagas paket wisata. Ancaman serangan gajah liar ke area pertanian warga, justru dikemas jadi keunikan sendiri bagi kawasan desa wisata.


Gayung bersambut, bekerjasama dengan Unila dan banyak lembaga, kawasan desa penyangga terutama kampung Suhadak, punya kemasan desa wisata yang menarik dan unik.


Tercatat, sering ada rombongan bule dari Australia maupun negara lain, ikut tandur, menanam padi secara manual dengan mundur dan membungkuk, serta kaki terendam lumpur. Lalu malamnya, bermain gamelan dan dihibur aneka tari tradisional. Bule-bule itu tinggal dan bermalam di rumah-rumah warga. 


Bersama rombongan bloger juga, saya pernah berkunjung ke Brajaharjosari. Yang menurut Balai TNWK dilaman waykambasdotorg disebut, mutiara desa penyangga.


Mutiara Desa Penyangga Kawasan

Ketika masuk nominasi 21 orang dan organisasi peraih Anugerah Kalpataru 2021, kami sempat berbincang melalui telepon. Suaranya masih khas. Akrab dan cerdas mendedah soal-soal hutan, pariwisata, kepentingan warga, dan kelestarian lingkungan. 


Suhadak secara bijak meramu solusi agar lingkungan kawasan hutan terjaga, namun warga juga tak dirugikan. 


Caranya, menurut dia, bersahabat dengan hutan. Orang kota yang punya uang, butuh paket wisata yang unik, dan semua itu, dimiliki oleh warga dan disediakan alam perdesaan di sekitar kawasan. Gajah jinak yang melakukan atraksi, menarik. Akan tetapi, gajah liar yang bisa menyerang area ladang juga punya magnet memikat wisatawan. Rumus meramu dengan meminimalisir konflik gajah vs manusia itu, menjadi tantangan tersendiri, namun kemudian, sejak dua tahun belakangan, nyaris tidak ada konflik gajah vs manusia. Sebab, ada upaya maksimal melibatkan semua pihak untuk bahu membahu membangun kehidupan yang harmoni. Yakni, bersahabat dengan hutan dan akarb berteman dengan gajah liar.


Suhadak juga aktif membangun kegiatan ekonomi alternatif agar mampu meningkatkan ekonomi atau pendapatan masyarakat. Bersama dengan tim Komponen 4 (Jurusan Biologi FMIPA Unila) yang telah membekali desa penyangga TNWK, selama hampir tiga tahun berjalan program Alert /TFCA-Sumatera, menurut Suhadak juga punya dampak besar dalam pelatihan dan pendampingan masyarakat.


Pengembangan wisata di desa penyangga TNWK merupakan salah satu upaya untuk menjembatani kebutuhan akan rasa aman, nyaman, dan tentram, serta mampu mengangkat perekonomian masyarakat perdesaan melalui kegiatan turunannya. 


Menurut Suhadak, ada 22 desa penyangga TNWK yang semua pontensi berbeda yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan warga tanpa merusak alam.


Desa Brajaharjosari merupakan salah satu desa penyangga yang masih memiliki nilai kearifan lokal yang tinggi dan potensi yang besar, baik dari segi landscape maupun hasil buminya. 


Letak desa Brajaharjosari dengan TNWK hanya dipisahkan oleh sungai Kuala Penet. 


Tingginya keanekaragaman hayati di daerah peralihan membuat lokasi ini menjadi lebih spesial. Burung-burung air seperti kuntul, blekok, trinil, dan cangak ungu, dapat terlihat dengan mudah dibentangan sungai Kuala Penet. Pesona atraksi dari burung pemangsa seperti elang dan raja udang, memberikan panorama alam yang menakjubkan. Jika beruntung, kita juga dapat melihat langsung rombongan gajah liar yang jumlahnya bisa 74 ekor, sedang mencari makan di rawa-rawa perbatasan.


Kita layak bersyukur atas diraihnya Anugerah Kalpataru 2021 untuk warga biasa yang telah mendedikasikan hidupnya untuk harmoni alam, gajah, hutan, dan manusia. Namun kita juga perlu secara kritis melihat, hutan di Provinsi Lampung bukan hanya TNWK, ada hutan di Gunung Rajabasa yang mulai gundul, hutan di Gunung Betung yang jadi ladang kakau. Begitu juga di Tanggamus, Bukit Barisan, bahkan di Tulangbawang dan Mesuji, yang areal hutan sudah jadi ladang singkong, meski izin HGU sebenarnya untuk tanaman keras. 


Begitu juga di Waykanan, Inhutani memberi izin lebih 12 ribu hektare untuk tanaman keras bagi perusahaan. Lacur, di lapangan, bukan kayu dan tanaman keras yang ditanam, melainkan singkong. Terhampar nun sejauh mata memandang. 


Di Waybungur, Lampung Timur yang notabene masuk kawasan penyangga TNWK sendiri, ada perusahaan kelas dunia yang menambah investasi sampai US$ 350 juta atau setara dengan Rp.5 triliun, ditarget selesai pada 2022, sedang mengembangkan kilang minyak kelapa sawit. (*)

Endri Kalianda

Esais, Tinggal di Bandarlampung

LIPSUS