Cari Berita

Breaking News

Degradasi Fungsi Taman Budaya

INILAMPUNG
Kamis, 25 November 2021

SEJAK proyek Taman Budaya (TB) dirintis oleh rezim Orde Baru pada tahun 1982 melalui proyek rintisan di Solo, Yogyakarta, dan Bali, dan setiap tahun bertambah provinsi mendirikan TB di wilayah masing-masing, sehingga setiap provinsi di Indonesia memiliki TB, merupakan usaha rezim pada waktu itu untuk menampung kegiatan kaum seniman. 

Proyek ini sesungguhnya menjadi proyek politik kebudayaan bagi rezim untuk mencoba mengelola kaum seniman yang selalu identik dengan suara-suara kritis, dan pada sisi lainnya juga dijadikan sebagai ruang bagi kaum seniman mengekspresikan dirinya tapi dalam koridor tatanan nilai yang diinginkan oleh penguasa. TB yang didirikan di setiap provinsi dengan klasifikasi A-B-C, misalnya seperti Solo, Yogyakarta, Bali, Makassar,  Jawa Timur, Sumatera Barat, Sumatera Utara memiliki klasifikasi A, sedangkan provinsi lainnya berada di bawah klasifikasi itu. Klasifikasi ini didasarkan kepada potensi kultural dan infrastruktur sosial  yang menjadi ukuran utama, yang berkaitan dengan dukungan infra struktur lembaga pendidikan kesenian maupun kampus yang dianggap berkaitan dengan kesenian, misalnya lembaga pendidikan kesenian menengah dan kampus-kampus kesenian, atau seperti IKIP yang memiliki jurusan Sendratasik.
    
Salah satu yang paling menarik dari TB sejak dirintis pada tahun 1982 itu, adalah konsep tentang suatu ruang kebudayaan yang disebut “taman” sebagai ruang publik dan sekaligus sebagai ruang laboratorium kesenian dan berbagai khasanah kebudayaan. Sebagai “taman”, TB diidentikan dengan posisi lembaga ini untuk menciptakan suatu pergaulan sosial melalui khasanah senibudaya dengan berbagai disiplinnya, seperti teater, musik, tari, senirupa, sastra, dalam sudut pandang tradisi, modern dan kontemporer serta yang bersifat eksperimental dan kolaboratif.

“Taman” ini dikonsep untuk menciptakan suatu pergaulan kreatif yang menghasilkan “pepohonan”, “kembang” serta “buah” dari khasanah seni budaya yang ada di dalam masyarakat. Melalui pergaulan kreatif itu “taman” ini diharapkan menghasilkan berbagai jenis-jenis “buah” dari “kawin silang” berbagai “pepohonan” sebagai produk kreatifitas. Dalam konteks produk khasanah baru dari kreatifitas itu, kuat kaitannya dengan konsep lain yang mengiringinya, yakni sebagai ruang penyajian konservasi senibudaya, khususnya berkaitan dengan khasanah tradisi, agar masyarakat bisa mengetahui tentang kekayaan jenis-jenis seni tradisi yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam kaitan dengan hal ini, penyajian karya-karya konservasi ini juga kuat hubungannya dengan konsep proses pencarian nilai-nilai baru yang berhubungan dengan sistem nilai tradisi. Dengan kata lain, karya-karya baru seni budaya dalam berbagai disiplin itu diharapkan berangkat dari ruang sejarah sosial lingkungan masyarakatnya melalui pemahaman, pelacakan dan riset-riset seni tradisi. 

TB yang diidentikan sebagai “Art Center” dari setiap propinsi yang juga sebagai ruang publik dan ruang penyajian konservasi itu bukanlah sekedar ruang penyajian belaka. Bukan hanya “show room” bagi karya yang ada dan dihasilkan oleh masyarakatnya saja.  Di balik itu, justeru yang terpenting TB juga sebagai ruang laboratorium senibudaya. Sebagai ruang laboratorium TB dirumuskan untuk menjadi ajang bagi kaum seniman melakukan eksplorasi, eksperimentasi dan mampu melakukan kerja-kerja kolaboratif dengan berbagai disiplin kesenian, agar kaum seniman bisa bukan hanya menciptakan karya-karya baru, tapi juga karyanya menjadi khasanah yang mengikuti zaman dalam kaitannya dengan isu-isu dan tema-tema pembaharuan dalam perspektif kajian seni pertunjukan dan kajian budaya. Dalam kaitan ini konsep TB memiliki posisi yang sangat menarik karena “taman” ini bisa melibatkan kaum akademisi pada bidang senibudaya untuk terlibat di dalam riset-riset mutahir dan riset khasanah tradisi diujicobakan melalui pergaulan kreatif.

Apa yang saya paparkan di atas merupakan refleksi historis atas posisi TB yang saya ketahui sejak tahun 1982 resmi dicanangkan oleh pemerintah, dan ikut terlibat di dalam merumuskan serta praktek dari konsep yang disusun oleh tim ahli Kemendibud. Selama seperempat abad saya melibatkan diri dengan Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di Solo yang dikenal dengan Taman Budaya Solo (TBS), di bawah kepemimpinan Murtijono (alm), mampu menciptakan berbagai aksi dan gerakan senibudaya, serta menciptakan jejaring antar komunitas dan lembaga kesenian bukan hanya di Indonesia tapi juga dengan berbagai negeri lainnya.

Salah satu prinsip yang diterapkan oleh Murtijono selalu pimpinan TBS adalah debirokratisasi, di samping membebaskan kaum seniman untuk menggunakan berbagai fasilitas tanpa dipungut biaya karena TB  sudah diberikan dana oleh pemerintah.

Debirokratisasi diterapkan agar kaum seniman tidak mengalami hambatan di dalam menggunakan fasilitas yang ada, dan pada sisi lainnya debirokratisasi sebagai wujud dari prinsip manajemen TB sebagai “taman” yang sesungguhnya memang ruang publik milik warga dan masyarakat, dan staf TB hanyalah pelayan seniman dan masyarakat. 

Kembali kepada refleksi historis tentang TB saya sajikan, sehubungan dengan informasi yang saya dengar melalui media sosial dan facebook, tentang berbagai halangan yang dialami oleh kaum seniman di Lampung di dalam menggunakan fasilitas, dan di sisi lainnya terasa pengelola TB Lampung dianggap tidak memiliki program kerja yang jelas. 

Informasi yang saya baca di media sosial juga menyatakan bahwa penggunaan fasilitas oleh kaum seniman justru dikenakan biaya yang lumayan tinggi, sehingga grup-grup kesenian tak mampu menyajikan karyanya di TB Lampung.

Jika kita merefleksikan posisi TB sebagai ruang publik dan sebagai “taman” ruang pergaulan masyarakat dan kaum seniman, kita semestinya juga mengingat kepada Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan yang beberapa tahun lalu disahkan, yang menyatakan, bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan fasilitas kegiatan senibudaya. Jadi, secara prinsip, jika pengelola TB Lampung meminta biaya yang bahkan lumayan tinggi kepada kaum seniman yang ingin menyajikan karyanya, sesungguhnya tindakan pengelola TB Lampung telah melanggar Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan hasil Kongres Kebudayaan yang juga dihadiri oleh semua pimpinan beserta  staf TB se Indonesia. 

Praktik komersialisasi TB Lampung ini merupakan wujud ketiadaan komitmen pengelolanya terhadap kehidupan senibudaya, yang sekaligus juga sesungguhnya merupakan pelanggaran yuridis, dan pada sisi lainnya, menciptakan degradasi, kemerosotan secara moral fungsi dari ruang publik. (*)


Halim HD.
Networker Kebudayaan

LIPSUS