Cari Berita

Breaking News

Di Balik Pantun 'Bunda'

INILAMPUNG
Kamis, 04 November 2021

Isbedy Stiawan ZS (ist/inilampung)

PANTUN sebagai bagian dari karya sastra terutama di masyarakat adat, tak punah oleh waktu. Pantun selalu hidup dan dihidupkan oleh masyarakat.

Bahkan, beberapa tahun belakangan, pejabat publik kerap membuka pidato/sambutan dan juga pada penutup, di isi dengan (ber)pantun. Seakan pantun menjadi "wajib" selain ucapan salam beberapa keyakinan yang dianut masyarakat.

Adalah Raja Ali Haji, rajanya pantun dari Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau, telah menulis Gurindam 12. Lalu para pemantun di berbagai daerah di Tanah Air terus menghidupkan. Buku-buku pantun diterbitkan dan diedarkan. Termasuk pantun dari (masyarakat tradisi) Lampung. Baik dilisankan pada acara-acara adat, maupun dibacakan di kala acara seremonial.

Pantun yang terdiri dari dua baris sampiran dan dua baris berikut adalah isi atau kandungan yang dimaui pemantun; nasihat, sindiran, dan sebagainya.

Dari presiden hingga di bawahnya kadang tak lupa berpantun. Dari gubernur sampai walikota/bupati turut pula menyiapkan pantun jika ingin memberi sambutan/pidato. Jadilah pantun yang kadang tak jelas sampiran maupun isi/pesan. Misalnya, sampiran ditulis dua baris awal dan isi terdiri dua baris pula.

Seperti pantun Wali Kota Bandarlampung yang akrab dipanggil Bunda Eva (Dwiana) ini:

"Sarapan pagi makan roti
Bunda tak akan ingkar janji"

Karena pantun yang dibaca Eva Dwiana saat paripurna DPRD Kota Bandarlampung kemudian menuai tafsir ganda. Soal ada bagi-bagi "jatah" peraleg Rp50 juta.

Andai tak ada pantun itu, apakah dugaan akan ke gratifikasi tersebut? 

Pantun, seperti juga karya puisi, memang multitafsir. Orang yang membaca ataupun mendengar dapat bebas menafsir makna (isi)nya.

Begitu pula terhadap pantun "Sarapan Pagi" Bunda Eva. Ya. Tak ada makan yang gratis ya?

Apakah di balik pantun Bunda Eva yang dibacakan, ada "tendensi" lain seperti dugaan orang. Dalam rangka "memuluskan" program atau anggaran di Dewan?

Terakhir, marilah tinggikan pantun dengan nilai-nilainya sebagai khasanah kebudayaan Indonesia. Mentradisikan pantun di berbagai gawi atau seremonial pemerintah sangat berguna, agar pantun tak hilang digerus zaman.(*)


Isbedy Stiawan ZS
lahir di Tanjungkarang, Bandarlampung, 5 Juni 1958. Ia adalah sastrawan Indonesia yang dijuluki Paus Sastra Lampung oleh H.B. Jassin.


LIPSUS