Cari Berita

Breaking News

Forum dan Jejaring Komunitas-Grup

Sabtu, 27 November 2021




Oleh Halim HD. – Networker Kebudayaan

    Catatan ini saya sampaikan kepada komunitas-grup kesenian di Lampung berkaitan dengan situasi-kondisi politik lokal dalam kaitannya dengan berbagai hambatan komunitas-grup kesenian di dalam menyelenggarakan kegiatannya misalnya dalam konteks penggunaan fasilitas kesenian di Taman Budaya Lampung maupun dalam kaitannya dengan policy dinas kebudayaan, dinas pariiwisata yang ikut memegang policy kehidupan kesenian sehubungan dengan relasi birokrasi yang diterapkan oleh pengelola daerah. Melalui catatan ini saya ingin menekankan refleksi pentingnya posisi-fungsi komunitas-grup kesenian, termasuk keluarga-keluarga yang mengemban dan mengelola khasanah seni tradisi. Namun demikian, saya juga berharap bahwa usaha untuk terus melakukan kontrol, kritik serta melakukan pendekatan dialog kepada pengelola sarana kesenian seperti TB Lampung tetap dilakukan. Sebab, warga dan masyarakat adalah pembayar pajak, dan memiliki hak dasar di dalam menumbuhkemvbangkan kehidupan kesenian dalam berbagai seginya. Merupakan hak dan kewajiban bagi komunitas-grup untuk selalu secara berkesinambungan memposisikan dirinya sebagai warga kebudayaan yang wajib melakukan kontrol terhadap pembuat keputusan (policy maker). Kewajiban mendasar ini merupakan bagian dari hak-hak azasi yang secara mendasar merupakan wujud dari upaya untuk selalu secara kritis menimbang berbagai hal berkaitan dengan tatacara kehidupan berkesenian dan berkebudayaan. 

    Dalam konteks itulah saya membuat catatan tentang betapa perlunya suatu forum sebagai ruang dan wadah dialog bagi berbagai komunitas-grup kesenian tanpa harus masuk ke dalam jerat birokrasi kelembagaan. Seperti kita ketahui, bahwa sesungguhnya jika kita melacak sejarah sosial kita di dalam kaitannya dengan kesenian dan sehubungan dengan kesenian sebagai unsur penting di dalam pendidikan, maka kita dapatkan, bahwa lembaga-lembaga pendidikan umum dan khususnya lembaga pendidikan kesenian, awalnya dibentuk melalui komunitas-grup kesenian serta dengan dukungan keluarga-keluarga tradisi yang mengemban khasanah nilai-nilai. Kita bisa menyaksikan di dalam sejarah kesenian sejak berdirinya republik dan negara ini pada awal tahun 1950-an mendirikan lembaga pendidikan menengah kesenian (KONRI) yang belakangan menjadi SMKI, dan lalu disusul oleh berdirinya pendidikan kesenian tingkat akademi, seperti ASKI-ASTI (Akademi Seni Karawitan Indonesia, Akademi Seni Tari Indonesia). 

Dari sejarah pendidikan kesenian ini, kita bisa menyaksikan bahwa posisi-fungsi dari komunitas-grup kesenian serta keluarga-keluarga tradisi sebagai bagian penting di dalam pertumbuhan dan pengembangan kesenian serta khasanah kebudayaan melalui proses pendidikan secara formal. 

    Tentu saja kehidupan kesenian dan kebudayaan tak sepenuhnya bisa dikelola melalui lembaga pendidikan formal. Proses pendidikan formal ini merupakan usaha untuk secara sistematika melakukan konservasi dan juga uji coba berkaitan dengan eksperimentasi kearah proses pembaruan, dan pada sisi lain sebagai wujud untuk mendudukan posisi-fungsi seniman, bahwa profesi dalam dunia kesenian setara dengan pendidikan umum melalui jenjang ijazah dan sertifikasi. Tapi sekali lagi, dinamika kehidupan kebudayaan umumnya dan khususnya kesenian tak sepenuhnya bisa dikelola oleh lembaga formal. Disinilah kita bisa menyaksikan bagaimana posisi-fungsi komunitas-grup dalam ikut serta menumbuhkembangkan serta mengelola kesenian melalui proses pendidikan informal. Hal itupun dilakukan oleh sanggar-sanggar serta padepokan, yang bisa kita anggap sebagai komunitas. 

    Jika kita merefleksikan posisi-fungsi komunitas-grup kesenian, kita justeru akan menemukan suatu proses kerja yang sangat menarik, yakni kapasitasnya di dalam kemandirian pengelolaan, dan dilain pihak kesadaran kepada proses untuk uji-coba, suatu proses eksperimentasi kearah pembaharuan. Hal ini bisa kita lihat pada rentang ruang sejarah kesenian mutahir, seperti teater, tari, musik, sastera, senirupa, yang selalu hadir ditengah-tengah masyarakat betapapun dalam kondisi yang paling ringkih dari segi social ekonomi maupun keterbatasan sarana yang dimilikinya. Salah satu watak yang membentuk betapa pentingnya posisi-fungsi komunitas-grup kesenian ini didorong dua unsur utama, yakni kegembiraan dan rasa ingin tahu, kuriositas. Melalui kegembiraan yang menjadi unsur penting di dalam kesenian menjadi wujud ke dalam ekspresi kehidupan kebudayaan yang tak semata-mata mementingkan nilai ekonomi, betapapun masalah ekonomi itu perlu dipikirklan. Kegembiraan menjadi dasar kehidupan manusia di dalam proses pelanjutan dan kesinambungan kebudayaan berkaitan dengan watak manusia sebagai homo ludens, makhluk yang senang bermain, ujar Huizinga. Itulah kenapa betapa pentingnya ruang-ruang bermain bagi anak-anak di dalam proses pembentukan dirinya kearah pendewasaan. Bahkan orang-orang dewasapun masih membutuhkan sebagai upaya di dalam menciptakan relasi sosial melalui khasanah senibudaya, ataupun tindakan-rindakan spontanitas yang didasarkan kepada pengalaman personalnya. 

    Saya bisa menyatakan secara kesejarahan, bahwa taka da kebudayaan dan keseenian di dalam dinamika kehidupannya yang tak berangkat dari komunitas-grup yang ada di dalam masyarakat. Khususnya di nusantara kita bisa melihat melalui data, ribuan komunitas-grup menjadi tulang punggung penting dan pelatuk strategis di dalam pengelolaan kebudayaan. Berkaitan dengan hal itu, satu hal yang kita butuhkan sehubungan dengan perlunya dinamika komunitas-grup kesenian berada di dalam dinamika yang p[rogresif melalui pergaulan, juga sebagai proses pendidikan informasl melalui relasi relasi social yang dibentuk oleh pergaulan melalui forum.

    Forum merupakan wujud dari usaha bersama untuk saling berbagi, dan usaha untuk mempertemukan berbagai gagasan yang beragam ke dalam suatu cara pandang tentang kebudayaan yang bersifat mandiri. Di dalam forum inilah jejaring komunitas-grup bisa tumbuh berkembang dan saling menilai secara dialogis, bahwa kehidupan kesenian membutuhkan kebersamaan (togetherness), dan melalui kebersamaan itu akan tumbuh dan berkembang watak-watak yang otentik. Otentisitas merupakan dasar penting di dalam ekspresi kesenian malalui pengujian yang secara berkesinambungan dalam pematangan hal-hal teknikal dan metode pengembangan dari setiap disiplin seni. Disini kita bisa mewujudkan saling tukar bukan hanya informasi tapi praktek serta usaha untuk menemukan teknik baru  dalam mengekspresikan diri dari setiap pelaku maupun komunitas-grup kesenian. 

“Nasib” dan takdir kehidupan kesenian ditangan kaum pengelolanya. Dan hal itu hanya bisa ditentukan arahnya oleh rasa kebersamaan di dalam menilai dan mempertimbangkan arah kehidupan melalui forum, di mana setiap detak dari jantungnya bisa dirasakan oleh rekan-rekan lainnya. (*)

LIPSUS