Cari Berita

Breaking News

Kisah Pak Modin

INILAMPUNG
Sabtu, 06 November 2021

Ilustrasi/Ist

TERKAIT
maraknya penangkapan terduga teroris di Lampung, saya teringat kisah Pak Modin yang menang Pilkades.

 

Namun demikian, imam penunggu surau di dekat pasar dan tempat pelelangan ikan Pantura itu, sudah dapat stempel layak dicurigai "kartu kuning" oleh Dandim lantaran menolong Wasripin. Gelandangan yang tertidur pulas di teras musala. Pak Modin sudah melindungi anak muda tanpa identitas, ketika akan diseret ke penjara oleh tentara. Jadi musala ini sudah kartu kuning. Dalam pengawasan.

 

Pak Modin, tanpa alasan yang jelas, kemudian ditangkap dan diinterogasi oleh tentara. Demikian alur novel Wasripin & Satinah karya Kuntowijoyo, yang secara gamblang menjelaskan banyak proses penegakkan hukum berbasis asumsi. Prasangka yang latarnya, hanya suka dan tidak suka. Curiga itu kemudian menjelma jadi tuduhan serius yang berujung pada kedzoliman. Yaitu, menangkap orang-orang baik.

 

Pak Modin dan Wasripin adalah potret dan karakter warga kelas bawah. Sebaik apa pun lelaku hidupnya, jika sudah dicatat sebagai warga dengan kode khusus oleh intelejen negara, dipantik urusan politik atau persaingan sosial ekonomi, sekecil apa pun, pasti berujung dengan persoalan hukum. Kadang bisa bebas dengan hanya memberi uang transport disertai permintaan maaf dari tentara yang salah tangkap seperti dialami Pak Modin, terkadang, demi kepentingan tertentu, dibanding malu salah tangkap, langsung dipenjara. Toh, tidak ada pejabat yang menjamin dan warga yang membela pembebasannya secara demonstratif.

 

Mereka, Pak Modin dan Wasripin merupakan warga kelas bawah, seperti sampah. Bebas diperlakukan di luar batas hukum tapi selalu bersikap nrima ing pandhum. Pasrah.

 

Novel itu mengingatkan kita. Apakah yang terjadi belakangan terkait terorisme di Lampung itu ejawantah Pak Modin? Orang baik yang diseret dalam meja interogasi akibat langkah politik yang sama sekali tidak disadarinya sebagai kesalahan atawa memang benar-benar orang yang secara sadar berbuat salah, namun merasa dirinya benar?

 

Saya merasa, tersentak dengan penjelasan alumni Ponpes Al Muhsin Kota Metro itu. Ketika bertanya, saya justru ditanya, kenapa orang-orang baik dan terlihat saleh, teguh beragama serta dermawan itu dianggap teroris? 


Apakah karena pengajian beberapa waktu lalu yang mengulas bab dan bahayanya ajaran komunisme?

 

Lalu, saya banyak mencari, kapan acara pengajian anti-komunisme itu? Terungkap, di laman medsos Ponpes Islam Almuhsin itu, Kajian IKBAL (Ikatan Keluarga Besar Al Muhsin), tertanggal 10 September 2021 dengan pemateri Dr. Ali Murtadlo. Dia menjelaskan bahayanya ajaran komunisme yang harus dihindari.

 

Muncul juga pertanyaan retoris, apakah orang model Faturrahman, Suprihadi, Dwi Raditya Susilo yang kaya raya itu, nyaris bebas bepergian ke banyak tempat bahkan sampai ke luar negeri untuk ikut beragam agenda pengajian di kelompoknya yang memang, terkesan ekslusif merupakan pelaku teroris atau mendukung terorisme?

 

Memang, saya tak banyak tahu bagi kelompok yang kaya, yang kabarnya banyak punya bisnis terutama penjual rempah-rempah kaliber ekspor impor dan punya beragam toko butik itu. Tapi, saya punya pengalaman-pengalaman unik dengan yang hidup sederhana. Antara lain, bengkel sepeda di Kemiling. 


Ketika mengantar untuk dandan sepeda, kontrakan warung di pinggir jalan itu, masih tutup, pintu warung dari rolling dor hanya terbuka sedikit. Sebelum saya teriak salam, nyaring terdengar suara riuh-rendah menderas ayat Al Quran.

 

Sampailah kemudian saya tahu, di dalam bengkel yang juga rumah tinggal itu, tiga anak kecil-kecil sedang bersama ibunya membaca dan menghafal Al Quran. “Jabang bayi, kok anakmu kemriyek. Apa kayak kelinci, tiap bulan babaran.”

 

Kalimat itu, tidak jadi saya ucapkan.

 

Bengkel sepeda itu, pemiliknya mudah dikenali. Berjanggut, celana di atas mata kaki, secara ramah menanyakan beragam kerusakan dan gesit, memainkan kuci, memperbaikinya. Saya meminta ganti ban belakang yang memang gembos. Namun disentak. "Afwan, cuma bocor sedikit kayaknya, masih bisa ditambal. Jangan diganti dulu, eman. Mubazir nanti."

 

Kalimatnya, justru membuat saya bengong. Lancip. Menusuk. Saya yang punya sepeda, saya yang mau ganti, eh, dimarahi. Mubazir lagi. Kawan setan. Masygul. Jelas, dalam hati saya memaki. Bajingan. 

 

Begitu membayar, saya tanya berapa? Dijawab dengan tenang sembari senyum. Dirincinya, dandan ini ganti itu. Banyak sekali. Lupa persisnya. Lalu disebut harganya.

 

"Total, Rp.35 ribu."

 

Lha, dhalah. Kembali saya bengong. Rincian aneka dandan dan ganti ini ganti itu membuat ngeri, ternyata berujung Rp.35 ribu. Entah kenapa, dekat dengan anak muda yang banyak anak, yang jidatnya hitam itu, berjanggut panjang tanpa kumis, berkaos oblong dan bercelana cingkrang itu, sekitar satu jam menunggu, saya sungkan merokok dan sama sekali tak keluar caci maki dari mulut kecut yang sering enteng mengucap, asu. 

 

Lalu, saya juga tahu. Ada keluarga penjual kelanting di Pringsewu. Anaknya enam kecil-kecil, yang perempuan berkerudung hitam hanya terlihat mata, brukut, ubrah-ubruh, lari-lari di sekitar rumah gribiknya. Mereka terlihat bahagia, ceria, tertawa-tawa, rumahnya tanpa televisi dan suara dangdut kesukaan saya, yang merasa risih dan gerah sendiri melihat anak sekecil itu berpenampilan sebrukut itu.


Teman saya, yang tetangga dia, mengaku sering kasihan sama anak-anak yang tidak sekolah itu. "Tapi bagaimana mau membantu, orang kita dianggap kafir, najis mughaladah."

 

Pola keluarga model itu, ada di banyak tempat di semua pelosok Lampung, namun berkelompok-kelompok secara ekslusif.

 

Apakah kemudian mereka menjadi teroris? Entahlah. 


Yang jelas, mereka adalah teman dan tetangga kita, sebagian dulu ada anak-anak yang kuliah di Yogya jurusan komputer. Kemampuan membuat kode pemrograman komputernya sering dapat proyek membangun web berkelas di level kementerian. Ada juga yang baru lulus SMA Negeri, lalu ikut kajian, ikut pelatihan militer ala-ala itu. Pulang-pulang, di ruang tamu rumahnya tiba-tiba dipasang bendera hitam dengan tulisan sahadat putih, di bawah benderanya, ditempel senjata mainan secara menyilang. Tak lama berselang, berita media besar-besar menulis senada; Jaringan Teroris di Lampung Ditangkap Densus 88.

 

Begitu juga yang alumni ponpes yang dianggap pusat terorisme di Jawa Tengah itu. Pernah kami makan somay dan bercanda seputar kenakalan remaja di Jalan Jaksa, Jakarta. Saya selalu mengejek, alumni pondok garis keras kerja di bank? Pantas, rusak. Dia hanya tertawa, sekaligus merasa prihatin, banyak temannya jadi korban doktrin pemahaman sempit yang salah dalam memilih aliran agama.

 

Di Lampung juga, saya sering dengan anak-anak alumni Al Muhsin, yang membincang rencana minum bir atau wine biar mabok, tapi menggunakan bahasa arab. Artinya, maksud saya, fenomena aksi terorisme itu ada. Faktanya, ada yang berani meledakkan diri. Mengebom fasilitas umum. Ada juga yang semangat jihad tapi baru sebulan dua bulan ikut pengajian. Lalu menyerang amalan-amalan saudaranya hanya berbasis doktrin terjemah. Lanyah berkalam bidah, kuburiyun, jahil, kafir, laknatullah, dlsb.

 

Lalu ada yang sangat murni menjaga keluarganya dari interaksi dengan masyarakat, anaknya banyak, tidak ada yang sekolah karena menganggap pemerintah itu thogut, sekolah itu produk kafir, tapi hidupnya tekun sekali, setiap hari berjualan susu kedelai keliling, atau ada yang jual donat. Masuk  waktu salat selalu ke masjid. Sebulan sekali, rutin selalu bepergian, ikut pengajian. Sebulan sekali juga, wajib lapor ke kantor polisi. Sebab, terdata sebagai sel terorisme di jaringan JI Lampung.

 

Kelompok mereka, ada yang bergelimang uang, pandai menghimpun orang bersedekah, ada yang membatasi sehari makan sekali dan beli beras secara nempur, kadang setengah kilo dan satu kilo sehari meski tinggal di lingkungan agraris. 


Di antara mereka sendiri, sebenarnya meski terlihat bersaudara namun seperti langit dan bumi. Satu kelewat kaya satunya kelewat papa. Lihat saja rumahnya. Ada yang magrong-magrong, tapi ada yang seperti...

 

Apakah semua teroris itu orang yang taat beragama? Kenapa hanya dari simpul "ini" yang ditangkap Densus 88 dan dianggap teroris? Saya yakin sekali, ada sebenarnya orang baik dan anti-terorisme di dalam kelompok mereka. Namun seperti film serial Mesiah itu, ada orang yang melatih agar kuat fisiknya sambil menderaskan kumpulan ayat-ayat perang. Ayat yang lain disembunyikan.

 

Beberapa teman saya menyatakan, kelompok itu bernama salafi jihadis. Spesialis penghafal dalil “bunuh orang kafir”. Padahal, di awal doktrin pengajian mereka, meski beragama islam jika di luar kelompoknya, tetap dianggap kafir. (*)


Penulis:

ENDRI KALIANDA

Esais, Tinggal di Bandarlampung



LIPSUS