Ilustrasi/Ist
TERKAIT maraknya
penangkapan terduga teroris di Lampung, saya teringat kisah Pak Modin yang menang
Pilkades.
Namun demikian, imam penunggu surau di dekat pasar dan
tempat pelelangan ikan Pantura itu, sudah dapat stempel layak dicurigai
"kartu kuning" oleh Dandim lantaran menolong Wasripin. Gelandangan
yang tertidur pulas di teras musala. Pak Modin sudah melindungi anak muda tanpa
identitas, ketika akan diseret ke penjara oleh tentara. Jadi musala ini sudah kartu kuning. Dalam pengawasan.
Pak Modin, tanpa alasan yang jelas, kemudian ditangkap dan
diinterogasi oleh tentara. Demikian alur novel Wasripin & Satinah karya Kuntowijoyo, yang secara gamblang menjelaskan
banyak proses penegakkan hukum berbasis asumsi. Prasangka yang latarnya, hanya
suka dan tidak suka. Curiga itu kemudian menjelma jadi tuduhan serius yang
berujung pada kedzoliman. Yaitu, menangkap orang-orang baik.
Pak Modin dan Wasripin adalah potret dan karakter warga
kelas bawah. Sebaik apa pun lelaku
hidupnya, jika sudah dicatat sebagai warga dengan kode khusus oleh intelejen
negara, dipantik urusan politik atau persaingan sosial ekonomi, sekecil apa
pun, pasti berujung dengan persoalan hukum. Kadang bisa bebas dengan hanya
memberi uang transport disertai permintaan maaf dari tentara yang salah tangkap
seperti dialami Pak Modin, terkadang, demi kepentingan tertentu, dibanding malu
salah tangkap, langsung dipenjara. Toh, tidak ada pejabat yang menjamin dan
warga yang membela pembebasannya secara demonstratif.
Mereka, Pak Modin dan Wasripin merupakan warga kelas bawah,
seperti sampah. Bebas diperlakukan di luar batas hukum tapi selalu bersikap nrima ing
pandhum. Pasrah.
Novel itu mengingatkan kita. Apakah yang terjadi belakangan
terkait terorisme di Lampung itu ejawantah Pak Modin? Orang baik yang diseret dalam meja interogasi akibat
langkah politik yang sama sekali tidak disadarinya sebagai kesalahan atawa
memang benar-benar orang yang secara sadar berbuat salah, namun merasa dirinya
benar?
Saya merasa, tersentak dengan penjelasan alumni Ponpes Al Muhsin Kota Metro itu. Ketika bertanya, saya justru ditanya, kenapa orang-orang baik dan terlihat saleh, teguh beragama serta dermawan itu dianggap teroris?
Apakah karena pengajian beberapa waktu lalu yang mengulas bab dan bahayanya
ajaran komunisme?
Lalu, saya banyak mencari, kapan acara pengajian
anti-komunisme itu? Terungkap, di laman medsos Ponpes Islam Almuhsin itu, Kajian IKBAL (Ikatan Keluarga Besar Al
Muhsin), tertanggal 10 September 2021 dengan pemateri Dr. Ali Murtadlo. Dia
menjelaskan bahayanya ajaran komunisme yang harus dihindari.
Memang, saya tak banyak tahu bagi kelompok yang kaya, yang kabarnya banyak punya bisnis terutama penjual rempah-rempah kaliber ekspor impor dan punya beragam toko butik itu. Tapi, saya punya pengalaman-pengalaman unik dengan yang hidup sederhana. Antara lain, bengkel sepeda di Kemiling.
Ketika mengantar untuk
dandan sepeda, kontrakan warung di pinggir jalan itu, masih tutup, pintu warung
dari rolling dor hanya terbuka sedikit. Sebelum saya teriak salam, nyaring
terdengar suara riuh-rendah menderas ayat Al Quran.
Sampailah kemudian saya tahu, di dalam bengkel yang juga
rumah tinggal itu, tiga anak kecil-kecil sedang bersama ibunya membaca dan
menghafal Al Quran. “Jabang bayi, kok anakmu kemriyek. Apa kayak kelinci, tiap bulan babaran.”
Kalimat itu, tidak jadi saya ucapkan.
Bengkel sepeda itu, pemiliknya mudah dikenali. Berjanggut, celana di
atas mata kaki, secara ramah menanyakan beragam kerusakan dan gesit, memainkan
kuci, memperbaikinya. Saya meminta ganti ban belakang yang memang gembos. Namun
disentak. "Afwan, cuma bocor sedikit kayaknya, masih bisa ditambal. Jangan
diganti dulu, eman. Mubazir nanti."
Kalimatnya, justru membuat saya bengong. Lancip. Menusuk.
Saya yang punya sepeda, saya yang mau ganti, eh, dimarahi. Mubazir lagi. Kawan
setan. Masygul. Jelas, dalam hati saya memaki. Bajingan.
Begitu membayar, saya tanya berapa? Dijawab dengan tenang
sembari senyum. Dirincinya, dandan ini ganti itu. Banyak sekali. Lupa
persisnya. Lalu disebut harganya.
"Total, Rp.35 ribu."
Lha, dhalah. Kembali saya bengong. Rincian aneka dandan dan
ganti ini ganti itu membuat ngeri, ternyata berujung Rp.35 ribu. Entah kenapa,
dekat dengan anak muda yang banyak anak, yang jidatnya hitam itu,
berjanggut panjang tanpa kumis, berkaos oblong dan bercelana cingkrang itu,
sekitar satu jam menunggu, saya sungkan merokok dan sama sekali tak keluar caci
maki dari mulut kecut yang sering enteng mengucap, asu.
Lalu, saya juga tahu. Ada keluarga penjual kelanting di Pringsewu. Anaknya enam kecil-kecil, yang perempuan berkerudung hitam hanya terlihat mata, brukut, ubrah-ubruh, lari-lari di sekitar rumah gribiknya. Mereka terlihat bahagia, ceria, tertawa-tawa, rumahnya tanpa televisi dan suara dangdut kesukaan saya, yang merasa risih dan gerah sendiri melihat anak sekecil itu berpenampilan sebrukut itu.
Teman saya, yang tetangga
dia, mengaku sering kasihan sama anak-anak yang tidak sekolah itu. "Tapi bagaimana
mau membantu, orang kita dianggap kafir, najis mughaladah."
Pola keluarga model itu, ada di banyak tempat di semua
pelosok Lampung, namun berkelompok-kelompok secara ekslusif.
Apakah kemudian mereka menjadi teroris? Entahlah.
Yang
jelas, mereka adalah teman dan tetangga kita, sebagian dulu ada anak-anak yang kuliah di Yogya jurusan komputer. Kemampuan membuat kode pemrograman
komputernya sering dapat proyek membangun web berkelas di level kementerian.
Ada juga yang baru lulus SMA Negeri, lalu ikut kajian, ikut pelatihan militer
ala-ala itu. Pulang-pulang, di ruang tamu rumahnya tiba-tiba dipasang bendera
hitam dengan tulisan sahadat putih, di bawah benderanya, ditempel senjata
mainan secara menyilang. Tak lama berselang, berita media besar-besar menulis senada; Jaringan Teroris di Lampung Ditangkap Densus 88.
Begitu juga yang alumni ponpes yang dianggap pusat terorisme di Jawa Tengah itu. Pernah kami makan somay dan bercanda seputar kenakalan remaja di Jalan Jaksa, Jakarta. Saya selalu mengejek, alumni pondok garis keras kerja di bank? Pantas, rusak. Dia hanya tertawa, sekaligus merasa prihatin, banyak temannya jadi korban doktrin pemahaman sempit yang salah dalam memilih aliran agama.
Di Lampung juga, saya sering dengan anak-anak alumni Al Muhsin, yang membincang rencana minum bir atau wine biar mabok, tapi menggunakan bahasa arab. Artinya, maksud saya, fenomena aksi terorisme itu ada. Faktanya, ada yang berani meledakkan diri. Mengebom fasilitas umum. Ada juga yang semangat jihad tapi baru sebulan dua bulan ikut pengajian. Lalu menyerang amalan-amalan saudaranya hanya berbasis doktrin terjemah. Lanyah berkalam bidah, kuburiyun, jahil, kafir, laknatullah, dlsb.
Lalu ada yang sangat murni menjaga keluarganya dari interaksi dengan masyarakat, anaknya banyak, tidak ada yang sekolah karena menganggap pemerintah itu thogut, sekolah itu produk kafir, tapi hidupnya tekun sekali, setiap hari berjualan susu kedelai keliling, atau ada yang jual donat. Masuk waktu salat selalu ke masjid. Sebulan sekali, rutin selalu bepergian, ikut pengajian. Sebulan sekali juga, wajib lapor ke kantor polisi. Sebab, terdata sebagai sel terorisme di jaringan JI Lampung.
Kelompok mereka, ada yang bergelimang uang, pandai menghimpun orang bersedekah, ada yang membatasi sehari makan sekali dan beli beras secara nempur, kadang setengah kilo dan satu kilo sehari meski tinggal di lingkungan agraris.
Di antara mereka
sendiri, sebenarnya meski terlihat bersaudara namun seperti langit dan bumi. Satu
kelewat kaya satunya kelewat papa. Lihat saja rumahnya. Ada yang
magrong-magrong, tapi ada yang seperti...
Apakah semua teroris itu orang yang taat beragama? Kenapa
hanya dari simpul "ini" yang ditangkap Densus 88 dan dianggap
teroris? Saya yakin sekali, ada sebenarnya orang baik dan anti-terorisme di
dalam kelompok mereka. Namun seperti film serial Mesiah itu, ada orang yang melatih agar kuat fisiknya sambil
menderaskan kumpulan ayat-ayat perang. Ayat yang lain disembunyikan.
Beberapa teman saya menyatakan, kelompok itu bernama salafi jihadis. Spesialis penghafal dalil “bunuh orang kafir”. Padahal, di awal doktrin pengajian mereka, meski beragama islam jika di luar kelompoknya, tetap dianggap kafir. (*)
Penulis:
ENDRI KALIANDA
Esais, Tinggal di Bandarlampung