Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian I)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 31 Desember 2021

Novel "Balada Seorang Narapidana" boleh jadi sebuah pengalaman seorang yang sedang menjalani proses hukum -- atau bahkan imajinasi (fiksi) --- penulisnya, lalu diangkat menjadi sebuah novel menarik.


Rubrik budaya INILAMPUNG.COM  yang diasuh Sastawan Isbedy Stiawan ZS, menurunkan novel, prosa, karya Dalem Tehang, seorang penulis opini, politisi sekaligus jurnalis, setiap hari.


 Pilihan untuk dimuat tanggal 1 Januari 2022, momen keramat sekaligus kado Ulang Tahun Dalem Tehang yang nama aslinya masih dirahasiakan. Selamat membaca: 

                                                                               ****        

Ilustrasi jeruji penjara. (Foto:medcom): 

Oleh, Dalem Tehang


JAM menunjukkan pukul 22.40 WIB. Penyidik mengajakku beranjak dari lantai II ruang jatanras, menuju ruang tahanan di bagian belakang mapolres itu.


Ditemani istri dan adik ipar, aku berjalan mengikuti langkah penyidik. Satu di depan. Satunya lagi di samping kananku.


Suasana mapolres itu sunyi. Penjaga yang ada, lebih asyik dengan gadget-nya masing-masing. Hingga seakan tak mempedulikan kami berlima yang lewat di depannya.


Istriku, Laksmi, terus memegang erat telapak tanganku. Getaran halus, ku rasakan. Iya, Istriku amat terpukul oleh apa yang akan aku jalani. Menjadi tahanan polisi. Dengan sangkaan pelaku penipuan dan penggelapan. 


Jarak sekitar 600 meter dari ruang pemeriksaan ke tempat penahanan, kami tapaki tanpa bicara. 

Mulut memang tak bersuara, namun hati dan pikiran yang bersenandung tidak beraturan. Kegalauan membuncah, menepis sepoi angin yang sangat ringan.


Tiga penjaga kompleks tahanan bergerak cepat saat melihat ada yang datang. Berdiri tegap. Penyidik menyerahkan surat-surat administrasi penahanan dan tas kecil berisi pakaianku. Semua yang ada di pos penjagaan tiada yang bersuara.  

  

“Ini yang nganter siapa?” tanya salah satu petugas jaga.


“Ini istri dan adek saya, pak!” kataku. Suaraku tertahan. Tegang.


“Memangnya nggak pakai pengacara?” sahut petugas jaga itu.


Aku angkat bahu sambil memandang istriku. Kami saling berpandangan. Seakan baru tersadar, jika sebenarnya aku punya pengacara. Seharusnya, saat ini ia mendampingiku. 


Tapi sejak petang hari, sebelum aku menandatangani surat penahanan, pengacaraku telah meninggalkan aku sendirian. Di ruang pemeriksaan. Beralasan ada yang sedang diurus, ia pamitan. Pergi tergopoh-gopoh. 


Sampai kemudian, istriku datang selepas menunaikan tugas di kantornya. Atas izin istri, akhirnya ku tandatangani surat penahanan. Dengan satu permintaan agar diberi kesempatan bertemu anak-anakku sebelum dimasukkan ke sel tahanan. Penyidik memenuhi permintaanku.


Istriku buru-buru pulang. Sekalian menyiapkan beberapa lembar pakaian buatku di sel nantinya. Selepas Maghrib, ia datang lagi. Bersama anak-anakku. Kami berkumpul di sebuah ruangan sempit.


Ku sampaikan apa yang terjadi dan harus dijalani. Juga permohonan maaf pada istri dan anak-anakku atas semua kejadian yang dalam mimpi pun tak pernah hadir alurnya ini. 


Meski tampak memahami dan menerima kenyataan yang ada, namun aku tahu persis perasaan anak-anakku. Mereka sangat  terpukul. Batinnya menjerit, mengucurkan tangisan. Tanpa suara, tapi amat menghujam jiwa.


Tak lama, ku minta mereka segera pulang. Karena aku tidak tahan berlama-lama dalam genggaman kesedihan berbalut keterpurukan. Memasuki babak baru kehidupan yang tidak pernah terbayangkan. Menjadi tahanan. 


Tidak disangka, anak bungsuku yang selama ini tak pernah menangis, saat itu mengucur air matanya. Ya, Halilintar, cah ragilku , bahkan hingga sesenggukan. Badannya bergetar kencang. 


Ku rengkuh kepalanya. Ku benamkan di dadaku. Ku peluk erat tubuhnya. Ku satukan jiwaku dalam jiwanya. Gemuruh jiwa kami membahana. Menggeletar hingga ke angkasa. 


Ku angkat kepalanya. Ku tatap matanya. Sorot yang biasanya menerobos jantung itu, mendadak redup. Bahkan mungkin akan sirna. Aku pun meneteskan air mata. Menyahuti rasa yang begitu menyengat separuh jiwanya. 


Anak gadis satu-satunya yang ku khawatirkan akan down, ternyata lebih tegar. Bulan, si nduk, bahkan menepuk-nepuk bahuku beberapa kali. Menyemangatiku dan tentu saja menguatkan dirinya. 

Tak ada setitik pun air mata. Ia justru berbisik di telingaku saat berpelukan, sebelum berpisah: “Ini bukan kiamat, kami pasti kuat. Dan Ayah juga harus kuat”. 


“Kok malah pada ngelamun. Ya sudah, nggak apa-apa tanpa didampingi pengacara, saya cuma tanya aja,” kata petugas jaga. Membuyarkan ingatan ulang yang ku alami beberapa jam sebelumnya.


Genggaman istriku semakin kencang. Getarannya pun kian menguat. Tegang. Ya, prosesi penyerahanku sebagai tahanan memang diliputi suasana tegang. 

 

Petugas penjaga tahanan membuka tas kecil tempat pakaianku. Mendadak ia melemparkan kain sarung dan tiga potong celana pendek ke tempatku berdiri. 


Aku terhenyak. Sambil menghela nafas, ku punguti barang-barang pribadiku yang dilemparkan itu dari lantai. 


“Ini kain sarungnya dibawa pulang aja. Celana-celana pendek ini lepas dulu semua talinya kalau mau dibawa ke dalem,” kata petugas itu, tanpa melihat ke arahku.


“Kenapa nggak boleh bawa sarung, dan mesti dilepas tali celananya?” tanya istriku. Dengan suara terbata. Menahan gelegak jiwanya.


“Aturannya memang begitu, bu. Tanpa toleransi,” sahut petugas jaga itu dengan acuhnya.

“Aturan kan ada alasannya, pak. Kami tanya biar paham,” sela istriku. 


Telapak tangan kanannya dilepas dari telapakku. Kini memegang bahu kiriku. Kencang. Aku tahu, ada amarah terpendam pada istriku. 


“Jadi begini ya, bu. Kenapa tahanan nggak boleh bawa kain sarung dan tali di celana pendeknya harus dilepas? Karena dikhawatirin dijadiin alat untuk bunuh diri. Di mapolres ini, sudah tiga kali kejadian tahanan gantung diri pakai kain sarung dan tali celananya. Pahamkan?!” ucap petugas itu. 

Kali ini matanya menatap tajam ke arah istriku.


Spontan ku peluk istriku. Agar hatinya tenang dan pikirannya tetap terkendali dalam suasana yang amat sangat tidak diharapkan ini.


Petugas jaga itu menjelaskan, tahanan titipan di mapolres ini tidak diperbolehkan memakai kasur atau tikar sebagai alas tidur. Cukup di lantai saja. 


“Kalau sudah semua, ayo masuk, pak Mario!” kata petugas jaga yang lain ke arahku. 

Aku mengangguk. Ku peluk istriku kuat-kuat. Seakan ingin menggelamkan badannya menyatu dalam badanku. 


“Bunda pasti kuat. Jangan nangis ya,” bisikku di telinganya.


Istriku tersenyum. Dikecupnya dahiku. Hangat penuh ketulusan kasih. Menebar ke seluruh sendi tubuhku. Menegarkan jiwa ragaku. 


“Yakin aja, bunda dan anak-anak kuat jalani ujian ini,” kata istriku. 


Kali ini dengan nada suara yang tegas. Keteguhan mental yang selama ini menjadi kekuatannya, perlahan telah kembali. Aku menarik nafas. Sedikit lega.


Ku peluk adik iparku. Yang kedekatan batinnya melebihi sekandungku sendiri.

“Jaga ayukmu. Titip dan jaga ponakan-ponakanmu,” pesanku. Laksa, adik kandung istriku, mengangguk.   

Yang sabar ya, kak. Kami yakin, kakak kuat,” ucap Laksa. Dengan suara terbata. 


Kami bersalaman. Genggamannya kuat sekali. Seakan tengah memasukkan kekuatan tersendiri untukku.


Tepat di pintu masuk menuju kompleks ruang tahanan, aku menengok ke belakang. Ku lihat istriku mengusap matanya. Sebutir air mengalir. Jatuh ke lantai ruang pemeriksaan tahanan. 

  

Aku berbalik. Mendekati istriku. Menyeka sisa air mata yang ada di sudut bibirnya.


“Tegar ya. Nggak ada yang perlu dikhawatirin,” kataku. Ku genggam erat kedua telapak tangannya.

Assalamualaikum,” ucapku kemudian. Tanpa berpaling dan menunggu jawaban. Aku melangkah mengikuti petugas, yang membawaku masuk kompleks tahanan. (bersambung)


LIPSUS