Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 10)

INILAMPUNG
Senin, 10 Januari 2022


Oleh, Dalem Tehang


IJAL menyiapkan makan malam. Menunya rawon yang dibawakan istriku petang tadi. Setiap bungkus nasi dimakan berdua. Telor asinnya juga dibagi berdua. Kebersamaan dalam keterbatasan itu penuh makna yang sulit dijabarkan dalam kata.


“Ini sayur apa namanya, om?” tanya Ijal.


“Rawon, Jal. Kampungan amat sih kamu?” sela Iyos. 


“O, ini yang namanya rawon itu ya? Sering denger, tapi baru kali ini rasainnya,” ucap Ijal. Terus terang. 


“Dasar orang umbulan. Untung kamu masuk sini, kalau nggak, jangan-jangan seumur hidup nggak pernah tahu yang namanya rawon,” kata Joko sambil tertawa. Semua ikut tertawa.   


Seusai makan, Edi minta semua penghuni kamar 10, duduk di tempatnya masing-masing. 


“Jadi gini, Mario perlu ngenal kita semua. Bukan cuma nama, tapi juga perkara yang bawa kita jadi sekamar di tempat ini,” kata Edi. Memulai pembicaraan. 


“Aku kena kasus makelar tanah. Kalau bahasa kerennya, mafia tanah. Kalau si Doni ini, kasusnya perzinahan. Beberapa hari sebelum nikah, dia tiduri bekas pacarnya yang sudah jadi janda. Pas Doni nikah sama pacarnya yang beneran, si janda itu nggak terima. Dia lapor polisi. Doni ditangkep lagi acara resepsinya. Ngenes nasib orang gede badan ini,” kata Edi sambil melihat ke arah Doni yang duduk ongkang kaki di sudut, menghisap rokok. 


“Kalau si Iyos, bendahara kita yang ganteng ini, kena sial aja sebenernya. Dia ini pemilik konter hp di mal. Ada kawannya dateng jual hp. Enam biji. Karena harganya murah, dia beli. Nggak tahunya, barang curian. Iyos ditangkep. Kawannya yang nyuri, kabur. Maka ku bilang dia kena sial. Dianggep penadah,” lanjut Edi.  


“Kalau si Joko sama Ijal, Mario sudah tahu ceritanya kan? Sekarang Asnawi. Dia ngejambret. Pas mau kabur, motornya malah nabrak mobil polisi. Sempet digebukin warga, sampai kakinya mengsol. Waktu pertama masuk sini, dia ngegelosor jalannya,” Edi menguraikan.


Sekarang Pak Aris, sambung Edi. Dia kena kasus tipikor. Waktu dapetin proyek, dia diminta setoran. Begitu hasil kerjaan nggak maksimal, dia dilaporin ke polisi sama LSM. Padahal dia kan juga mau dapet untung. Tapi akhirnya malah buntung. Anehnya, sampai sekarang berapa kerugian negara, juga belum jelas. Belum ada hasil audit BPK. 


“Sabar-sabar aja ya, pak Aris. Bongkar aja nanti di pengadilan permainan setor-menyetor buat dapetin proyeknya,” ucap Edi sambil menatap Aris. Pria perlente itu hanya tersenyum penuh arti.


“Nah, yang empat orang ini baru masuk juga. Duluan sehari dibanding kamu, Mario. Kalau Tomy sama si Irfan ini sepaket. Ngebongkar konter hp. Puluhan unit mereka sikat. Sialnya, yang punya konter itu polisi. Belum sempet ngelego hasil kerjaannya, mereka sudah ketangkep,” kata Edi sambil memandangi dua pria berusia 30 tahunan yang wajahnya masih penuh lebam. Buntut jadi sansak hidup petugas.


“Kalau yang kerempeng ini namanya Arya. Dia jago metik. Sudah belasan motor orang yang dia ambil cuma dalam waktu tiga detik. Biasanya ngejelajah di Bekasi dan Depok. Begitu pulang kampung, kena sialnya. Aksinya kepergok massa dan sempet mau dibakar. Untung ada polisi yang nyelametin dia. Yang terakhir, yang duduk di ujung itu. Namanya Reza. Sopir mobil boks. Kecelakaan. Mobilnya masuk jurang. Korbannya cuma barang yang diangkutnya. Daun melinjo. Mau dibawa ke Pasar Jatinegara. Sial, bosnya lepas tangan. Walau kecelakaan sendiri, tetep aja dia diproses. Jangan tanya kok bisa gitu ya? Inilah seninya hukum kita dan penegakannya,” kata Edi. Bersemangat. 


Aku perhati perkataan Edi dengan serius. Saling mengenal memang diperlukan. Apalagi kami satu kamar. Setikar seketiduran. Senasib sepenanggungan. 


“Jadi, Mario. Kita ini bukan temen apalagi saudara. Kenal juga disini. Tapi saat ini, kita dipaksa oleh keadaan untuk bisa jadi temen dan saudara. Inget bener ini. Jaga kebersamaan kita. Bukan cuma selama kita jalani hukuman, tapi sampai nanti kita sudah bebas lagi,” ucap Edi dengan bahasa-bahasa penekanan. 


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Memahami nilai kehidupan yang sedang ia salurkan. 


“Sekarang giliran kamu, Mario. Ceritakan kasusmu,” lanjut Edi. Ia tatap mataku. Tajam. Membawa pesan untuk menyampaikan kejujuran.


“Aku kerja di koperasi simpan pinjam. Direktur pengembangan jabatanku. Perputaran uang di koperasi perharinya cukup besar. Puluhan juta. Aku kegoda sama temen. Kami main judi online. Kalah terus. Nggak kerasa, akhirnya uang koperasi yang aku pakai sama temenku sudah ratusan juta. Aku disuruh mulangin, tapi nggak bisa. Temenku lepas tangan. Nyari selamet sendiri. Akhirnya aku dilaporin dan sekarang bersama kawan-kawan disini,” ucapku. Semua terdiam. 


“Semua sudah denger kan kasusnya Mario. Jadi semua kita sudah saling tahu. Aku nggak mau di kamar ini ada selisih. Kita semua sudah jadi saudara. Jaga bener itu,” kata Edi. Kami semua menganggukkan kepala. 


Perbincangan selesai. Masing-masing kembali ke tempatnya. Aku ambil kaos, ku taruh di lantai, di bagian punggung bila ku rebahkan badan. Agar tidak masuk angin. Begitu pesan istriku, Laksmi. 


Lantai ruang tahanan yang hanya semen itu, menyimpan hawa dingin dan menyusup sampai ke tulang. Di kompleks tahanan titipan ini tidak diperbolehkan tahanan tidur dengan alas kasur. Hanya mengampar di lantai semen. 


Ku pejamkan mata. Menutupi putaran pikiran yang tengah berkelana. Mengendalikan jiwa yang terus meronta. Merajut doa buat istri dan anak-anak di rumah. (bersambung)


LIPSUS