Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 11)

INILAMPUNG
Selasa, 11 Januari 2022


Oleh, Dalem Tehang


SAAT mataku mulai terkantuk, terdengar suara pintu kamar dibuka. Edi berjingkat. Keluar. Diikuti Doni dan Iyos. 


Ku tengok sebelah kiriku. Joko masih melamun. Tatapannya menembus plafon kamar yang berwarna kusam.


“Mereka itu mau ngumpul di depan kamar 1. Kamar tahanan perempuan. Happy-happy,” kata Joko tiba-tiba, dengan suara perlahan. 


“Emang nggak ditegor penjaga?” tanyaku. Juga dengan suara pelan. Joko menggeleng.  


“Kok bisa?” kataku lagi. Terheran.  


“Apa yang nggak bisa diatur sih, Mario. Sepanjang ada fulus,” ucap Joko.   


Aku manggut-manggut. Aris berdiri dari tempat tidurnya. Dia duduk di dekatku. Tepatnya di bagian kakiku. Buru-buru aku duduk juga. Joko ikut bangun.


“Bisa minta rokokmu, Mario?” kata Aris.


Ku sodorkan rokokku. Tak lama kemudian, Aris tampak asyik menyedot rokok ditangannya. 


Asapnya dihamburkan perlahan dari mulutnya. Seakan ia tengah bersenandung lewat gerakan asap rokok itu. 


“Kamu mau telepon istri?” ujar Aris tiba-tiba, sambil memandangku. 


“Emang bisa?” tanyaku. Dahiku mengernyit.


Tanpa menjawab pertanyaanku, Aris menengok ke arah Ijal yang sedang bermain catur dengan Tomy. 


“Jal, ambil botolnya. Mario mau telepon istrinya,” kata dia.


“Maksudnya botol itu apa?” kataku. Bingung.


“Botol itu maksudnya hp. Istilah keren disini,” jelas Joko, sambil tersenyum. 


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Kebiasaan baru yang terus ku lakukan nyaris tanpa sadar. Ekspresi spontan dari keterkejutan-keterkejutan.


Ijal masuk ke kamar mandi. Terdengar suara air berkecipak dari ember. 


“Om sini,” kata Ijal memanggilku.


Aku terperangah. Ijal tengah membuka plastik kecil diikat karet yang diambilnya dari dalam ember tempatnya merendam pakaian. Saat plastik terbuka, ia keluarkan sebuah hp jadul.


“Ini om. Teleponnya sambil jongkok di kloset ya, biar nggak kepantau cctv,” kata dia sambil menyerahkan hp ke tanganku.     


Ku ikuti arahannya. Ku pencet nomor hp istriku. Sampai tiga kali putus tidak diangkat. Aku paham. Jarang istriku mau mengangkat hp-nya jika ada telepon dari nomor yang tidak dikenal. 


“Telepon terus aja, Mario. Nanti pasti diangkat. Ijal, kamu dideket teralis sana,” kata Aris menyemangatiku dan menugaskan Ijal memantau situasi diluar sel.


Benar perkataan Aris. Setelah delapan kali putus, ku dengar suara istriku. Lirih. 


“Hallo,” katanya dari seberang. Tampaknya ia terbangun dari tidurnya.


“Bunda, ini ayah,” ucapku. Dengan suara perlahan.


“Ya Allah. Kok bisa telepon? Ayah baik-baik ajakan?” sahutnya dengan suara terkejut.    


“Iya, baik aja. Alhamdulillah. Bunda sama anak-anak juga baik-baik ajakan? Ini hp dipinjemi pak Aris,” kataku. Tetap dengan suara pelan.


“Alhamdulillah. Iya, kami baik-baik aja. Hati-hati lo, kalau ketahuan petugas nanti jadi masalah. Besok ayah mau dibawain apa?!” kata istriku.


Inshaallah aman. Yang penting jangan lama-lama. Terserah bunda aja mau bawa apa. Cium kangen buat bunda dan anak-anak ya. Gitu dulu ya,” kataku lagi. Dengan suara gemetar. Khawatir dipergoki petugas jaga.


Yo wes, ayah tidur ya. Paksain harus bisa tidur. Jaga kondisi. Perjalanan masih panjang,” ucap istriku berpesan.


Iyo. Assalamualaikum,” kataku sambil mematikan hp.


Sesaat ku pejamkan mata. Ku hembuskan nafas dalam-dalam. Ada rongga yang terbuka, meski hanya sedikit. Kelegaan. Ijal mendekat. Ku serahkan lagi hp ke tangannya.


Aku kembali ke tempatku. Aris dan Joko sedang bercengkrama. 


“Terimakasih, Aris. Seneng bener aku malem ini, bisa menyapa istri. Semua  berkat bantuanmu,” ujarku. Aris tersenyum.


“Kapan pun kamu pengen telepon istri atau anak-anak, bilang ya. Sepanjang kondisi aman, pakai aja hp itu,” kata Aris.


Malam makin larut. Namun terdengar suara riuh orang bernyanyi diiringi tetabuhan dari galon air mineral. Mengusik kesunyian kompleks rumah tahanan.


“Kita nikmati mereka yang happy-happy dari sini aja. Bukan dunia kita lagi yang begituan. Sudah lewat masa kita,” kata Aris, seakan mengerti pertanyaan di hatiku. 


“Memangnya itu dimana sih?” tanyaku.


“Di depan kamar 1. Pas di sebelah pos jaga. Kamar 1 dan 2 itu tempatnya tahanan perempuan. Ya biasalah, namanya tahanan cari hiburan. Yang penting kita nggak ikutan,” Joko menimpali.    


“Tiap malem ada hiburan gini ya?” tanyaku lagi.


“Ya, yang punya duit dan mau ngambur-ngamburin, bisa tiap malem. Sambil nyanyi dan joget-joget, mereka juga bisa minum. tuak atau miras,” lanjut Aris.


“Kok bisa ya? Ini kan kompleks tahanan?” ucapku. Masih diliputi keheranan. Aris dan Joko tertawa berbarengan. 


Nggak ada yang nggak bisa diatur di dunia ini, Mario. Yang penting ada duitnya. Yang repot itu kalau duit nggak laku,” kata Aris. Disusul tawanya yang lepas. (bersambung)

LIPSUS