Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 12)

INILAMPUNG
Rabu, 12 Januari 2022


Oleh, Dalem Tehang


TIDAK tahu bagaimana awalnya, ternyata aku terlelap. Ketiduran. Dan baru bangun saat kakiku ditepuk-tepuk.


“Subuhan, om!” kata Ijal. Yang menepuk kakiku.


“Astaghfirullah. Iya, Jal!” sahutku sambil duduk. 


Ku lihat, beberapa kawan sudah siap untuk solat. Buru-buru aku ke kamar mandi. Wudhu.


Selepas mengimami solat Subuh, aku tak beranjak dari sajadah. Ku coba wirid. Membaca apa saja yang bisa. Dengan satu niat, tetap ada benang merah yang menggelantung dari langit ke diriku. 


Begitu terpusatnya alam pikir dan batinku, hingga tidak tahu jika kawan-kawan keluar kamar. Meregangkan otot di depan kamar sel. Berjalan berputaran di sepanjang selasar. Saat melipat kaos yang menjadi sajadah, baru tahu adanya kegiatan olahraga di depan kamar.


“Sini, Mario. Olahraga sekadarnya. Yang penting badan tetap bergerak,” ajak Aris yang sudah berdiri di depan pintu kamar.


Sambil keluar kamar, ku lihat Edi, Doni, dan Iyos masih lelap dalam tidurnya. Aku tak tahu, jam berapa mereka kembali ke kamar.


Tidak semua kamar tahanan dibuka pagi itu. Hanya setengahnya saja. Itu pun sudah sulit untuk berolahraga. Sesak.


Puluhan orang berada di selasar yang lebarnya hanya 2,5 meter dan panjang sekitar 15 meter itu. Kebanyakan mereka hanya duduk nongkrong. Sambil mengobrol dan bercandaan.


Joko memanggilku. Dikenalkannya aku pada Gustav. Pria bertubuh tambun berusia sekitar 40 tahunan. 


“Gustav ini kepala blok di rumah tahanan, Mario. Dia penguasa disini,” kata Joko.


Kami bersalaman. Selintas Gustav menunjukkan senyumnya.


“Baik-baik disini ya, bang. Cepet nyatu aja dengan lingkungan,” kata Gustav. Aku mengangguk. 


Dipanggilnya empat anak muda yang sedang mengobrol di dekat pos penjagaan. Bergegas mereka datang.


“Mereka ini tamping disini, bang. Ada perlu apa-apa, panggil aja mereka,” ucapnya. Mengenalkan tamping yang ada. 


“Dan kalian semua, ini abangku. Jangan sampai ada yang macem-macem sama abangku. Kasih tahu semua tahanan yang sering reseh. Jangan senggol bang Mario,” katanya lagi sambil memandang empat tamping yang berdiri di depannya.


“Siap..!” sahut para tamping itu penuh hormat.


“Terimakasih bantuannya, Gustav,” kataku. Dia hanya tersenyum.  


“Santai aja, bang. Hidup disini harus saling bantu dan mesti banyak-banyak kawan. Ayo ngobrol di kamarku aja,” ajak Gustav. 


Ku pandang Joko. Ia mengangguk. Kami ikuti langkah Gustav menuju kamarnya. Kamar 5. Paling sudut di jejeran kamar dari kompleks ruang tahanan berposisi L itu. 


Kamarnya bersih. Dipasang karpet plastik warna coklat. Di depan kamar mandi, tersusun rapih boks dari kayu untuk tempat pakaian. Juga ada kipas angin. Ada rak kecil tempat piring dan gelas.  


Mataku terpaku pada kotak kecil di sudut dekat tas ransel. Aku tahu, itu tempat kompor gas kecil. 


“Kalau abang mau buat kopi atau mie yang airnya bener-bener mendidih, bawa sini aja. Abang sudah lihat disini ada kompor gas kecilkan?!” kata Gustav. Paham dengan gerakan mata dan pikiranku.


“Iya, terimakasih, Gustav. Ngomong-ngomong berapa orang isi kamar ini?” tanyaku.


“Cuma enam orang. Kalau abang kasus narkoba, pasti sudah ku lobi petugas jaga biar abang di kamar ini. Tapi karena bukan kasus narkoba, nggak bisa abang tinggal disini,” kata Gustav lagi.


“Kok kamu tahu aku bukan kena kasus narkoba?” tanyaku. Penasaran.


Gustav tertawa. “Daun mau jatuh disini aja, aku sudah dikasih tahu, bang,” ucapnya. Masih sambil tertawa.


Gustav bercerita. Ia seorang ASN dan sudah tiga kali ini masuk bui. Dengan kasus yang sama; narkoba.


“Tapi kamu nggak dipecat ya?” tanyaku. Gustav menggeleng.


“Memang berapa lama sebelumnya kamu dihukum?” tanyaku lagi.


“Ya, lumayan lama. Yang pertama kena dua tahun. Jalaninya setahun tiga bulan. Yang kedua kena tiga tahun, jalani satu tahun delapan bulan. Nah yang ketiga ini, baru bebas dua minggu, sudah masuk lagi,” urainya tanpa beban.  


“Kamu pemakai aja, apa bandar juga?” ucapku lanjut.


“Sebenernya ya pemakai, ya bandar, bang. Berkat lobi-lobi sejak awal, aku cuma dikenai pasal pemakai. Ya, biasalah, bang. Jual beli pasal itu,” jelas Gustav. Tak ada beban sama sekali dalam ucapannya.


Bagi Gustav seakan kembali masuk ruang tahanan akibat kenikmatan sesaat dari narkoba, bukan pilihan hidup yang menyusahkan. Ia jalani semuanya dengan nyaman-nyaman saja. 


Sebenarnya, masih banyak yang ingin aku dapati dari cerita kehidupan Gustav. Tapi Joko mengajakku kembali ke sel. 


“Kapan aja, silahkan abang main kesini. Apa aja yang abang suka, bisa aku adain. Tenang aja, kita yang ngatur disini. Malah enak, kita selalu ada yang jagain di pos itu, jadi lebih aman,” kata Gustav saat kami berpamitan. 


Saat melewati pos penjagaan, ada suara memanggil namaku. Ku pandangi wajah pria yang memanggil, tapi tidak mengenali. (bersambung)

LIPSUS