Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 13)

INILAMPUNG
Kamis, 13 Januari 2022


Oleh, Dalem Tehang


ITU pak Rudy. Komandan kompleks rumah tahanan titipan disini,” bisik Joko.


Buru-buru aku anggukkan kepala. Memberi hormat. Pria berpakaian preman itu juga menganggukkan kepalanya. 


Dia perintahkan penjaga pos membuka pintu penyekat antara ruang jaga dengan kompleks ruang tahanan.


“Sini, pak Mario,” kata pak Rudy dengan suara lembut.


Aku pun melangkah. Masuk ke ruang pos penjagaan dan duduk disamping pak Rudy, setelah menyalaminya.


“Saya temannya pak Rahmad. Rahmad Kardinal, teman pak Mario saat kuliah. Tadi malam dia telepon saya, nitipin bapak,” ucap pak Rudy.


Aku terhenyak. Rahmad Kardinal adalah teman satu kost-an saat kuliah. Tak ku sangka dia masih ingat padaku.


“Bukannya Rahmad sekarang di Australia, pak? Bagaimana dia tahu saya masuk sini?” tanggapku. Pak Rudy tersenyum.


“Kabar pak Mario masuk ini kan sudah mendunia. Pak Rahmad bilang dia baca di media online internasional tadi malam. Dan langsung telepon saya. Nitipin bapak,” kata pak Rudy lagi.  


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Subhanallah desahku pelan. Terbayang, betapa runtuhnya mental istri dan anak-anakku jika kolega, guru atau teman-teman mereka memperbincangkan kondisiku saat ini. 


“Santai saja, pak Mario. Anggep-anggep saja bapak sedang sial. Atau kalau mau lebih adem lagi, bapak dikasih kesempatan sama Tuhan untuk menebus kesalahan selagi masih di dunia, jadi punya kesempatan untuk memperbaiki diri dan lebih hati-hati ke depannya. Coba kalau langsung dipanggil Tuhan pulang ke pangkuan-Nya, nggak ada kesempatan lagi buat berbenah diri,” kata pak Rudy panjang lebar. Suaranya datar. 


“Iya, pak. Terimakasih motivasinya,” ucapku pelan, sambil menatap wajahnya.


“Saya paham kok, begitu masuk sini pasti rasanya langit sudah runtuh. Kiamat buat bapak dan keluarga. Tapi sebenernya nggak begitu. Semua ini pasti berhikmah. Yakin saja. Apalagi bapak pasti tahu, diluaran sana banyak orang berbuat salah dan melanggar hukum yang lebih parah. Tapi kenapa mereka nggak masuk sini? Ya, mungkin karena masih bernasib baik atau justru karena Tuhan tidak memberi kesempatan buat mereka menebus dosa-dosanya di dunia, melainkan nanti langsung di akherat. Lagian, mana tahu kita tulisan takdir Tuhan,” pak Rudy berkata lagi. Kali ini dengan penekanan. 


Aku hanya diam dan menunduk. Mencoba menelaah kata demi kata dari ucapannya. 


“Pak Mario nggak usah banyak pikiran ya. Ikuti saja prosesnya. Tetap jaga kesehatan. Kalau perlu apa-apa, bilang sama penjaga. Saya sudah beri arahan mereka. Sepanjang tidak berlebihan atau menimbulkan kecemburuan sesama tahanan disini, apapun silahkan bapak lakukan. Tentu tetap kordinasi dengan penjaga,” katanya lagi. 


Pak Rudy berdiri, menyalamiku dan mempersilahkan aku masuk kembali ke ruang tahanan. 


“Siap, pak. Terimakasih banyak bantuannya,” ucapku sambil menyalaminya dengan kencang. Pak Rudy menganggukkan kepalanya seraya tersenyum.


Begitu masuk kamar dan duduk di tempatku, Joko dan Aris langsung mendekat. 


“Memang kamu sebelumnya sudah kenal sama pak Rudy ya, Mario?” tanya Joko. Aku menggeleng. 

              

“Kok dia bisa manggil dan ngajak ngobrol di pos jaga?” sela Aris. Ada nada penasaran. 


“Dia bilang kalau temannya Rahmad. Rahmad itu dulu waktu kuliah ngekost bareng aku. Sekarang Rahmad kerja di Australia dan nikah sama orang sana. Kata dia tadi, Rahmad semalem telepon dan nitipin aku. Makanya dia panggil tadi,” uraiku. Joko dan Aris manggut-manggut.


“Kok bisa temen kamu di Australia tahu kamu ditahan?” tanya Joko. Mengernyitkan dahinya.


“Katanya dia tahu dari baca media online internasional yang memuat soal aku ini,” kataku. Mengutip apa yang disampaikan pak Rudy. 


Joko dan Aris sama-sama mengernyitkan dahi. Ada pertentangan antara percaya dan tidak percaya dalam kernyitan dahi mereka.


Sesaat kami sama-sama diam. Bermain dengan pikiran masing-masing. Hidup penuh ketidakterdugaan makin biasa ku alami. 


Pintu sel dikunci. Apel pagi berlangsung. Petugas jaga dari samapta dan divisi tahanan titipan (tahti) berjalan dari kamar ke kamar. Mengecek jumlah tahanan dan menanyakan kesehatan masing-masing.


Semua penghuni sel berbaris rapih dan berhitung dari satu sampai selesai sesuai jumlahnya, setiap kali petugas berdiri di depan kamar. Yang sedang tidur harus dibangunkan. Yang di kamar mandi pun wajib menunda aktivitasnya. 


Selepas apel, aku buru-buru mandi. Gerah sekali pagi ini. Baju kotor, ku masukkan kantong plastik yang memang sudah disiapkan istriku. 


“Om, taruh aja. Nanti aku cuciin,” kata Ijal saat melihatku memasukkan baju kotor ke kantong plastik.


“Nggak usah, Jal. Terimakasih. Biar nyuci di rumah aja,” kataku.


Seorang tamping berdiri di depan kamar sel. Pandangannya mengarah padaku sambil memberi isyarat. Aku berdiri. Pintu sel dibuka. Aku ikuti langkahnya. Ke pos jaga.


Ku lihat Rayhan, sopir di rumahku. Dengan tugas utama antar jemput anak-anakku sekolah dan kegiatan lainnya. Dia berdiri dengan kaku dan tegang. 


Dia menenteng dua kantong plastik berisi bungkusan. Petugas jaga memastikan padaku kalau aku mengenal Rayhan.


Tanpa diperiksa, kantong plastik yang dibawa Rayhan langsung dimasukkan setelah pintu penyekat dibuka. Tamping yang menerimanya bergerak, membawa kantong plastik itu ke kamarku.


“Silahkan kalau mau ngobrol dulu, pak,” kata petugas jaga. Dengan sopan.


Aku mendekat ke terali besi. Rayhan menyalamiku. Bahkan mencium tanganku. Matanya memerah. Ada kesedihan disana. 


“Disuruh ayuk anter sarapan abang. Ayuk buru-buru ke kantor,” kata Rayhan. Setelah bisa mengendalikan dirinya.


“O iya, terimakasih. Ayuk dan anak-anak baik-baik ajakan? Anak-anak juga tetep pada sekolah kan?” kataku. Rayhan mengangguk. 


“Titip baju kotor ya. Ayuk pesen pakaian kotor dibawa pulang aja, biar dicuci di rumah,” kataku lagi.


Buru-buru aku kembali ke kamar sel. Mengambil pakaian kotor yang sudah ku jadikan satu di kantong plastik.


“Ayuk tadi bilang, inshaallah sepulang kantor bisa kesini,” kata Rayhan. Aku menganggukkan kepala. (bersambung)

LIPSUS