Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 15)

INILAMPUNG
Sabtu, 15 Januari 2022


Oleh, Dalem Tehang


SIANG itu, kami makan besar. Berbagai lauk tersedia. Dari masakan padang, sate sampai ayam geprek. Juga ada bakso dan mie ayam. 


Tidak berlebihan memang, jika waktu besukan bagaikan lebaran bagi para tahanan.


Setelah solat Ashar, seorang tamping memberitahu bila istriku datang. Bergegas aku keluar kamar.   

  

Ku peluk istriku dari balik teralis. Ku rapihkan sedikit jilbabnya yang agak melorot. Ku elus pipinya.


Seorang petugas jaga mendekat. Menyerahkan kertas berisi catatan. Nama beberapa orang yang ku kenal. Ada sepuluh orang yang berniat membesukku. 


“Mereka tadi mau besuk, pak. Tapi bapak kan pesen tidak terima tamu kecuali istri bapak. Jadi kami tolak dan minta tulis nama saja,” kata petugas jaga itu. Aku mengangguk. 


“Kenapa nggak mau terima tamu?” tanya istriku. Aku hanya angkat bahu.


“Terima ajalah kalau ada yang besuk. Itu bentuk simpati,” kata istriku. 


Tangannya mengelus rambutku. Pelan penuh sentuhan kasih sayang.


“Belum tentu niat mereka yang besuk itu bagus. Bisa aja mereka malah ngetawain setelah dari sini,” kataku.  


“Ya biar aja. Semua kita kan dibalas sesuai niatnya. Yang penting kita tetep berniat dan bersikap baik,” kata istriku menimpali.


“Iya, nanti kalau lagi mood, aku terima siapa aja yang dateng,” kataku. Menenangkan. 


Istriku cerita jika siang tadi ditelepon pengacaraku. Rudolf. Dia bilang ingin segera menemuiku untuk kordinasi kelanjutan perkara yang melilitku. 


“Nggak usah lagi sama dialah. Pengacara kok nggak tanggung jawab sama klien. Tahu ayah mau ditahan, dia malah ngilang,” kataku. Menahan emosi. Istriku terkejut.


“Maksudnya apa? Mau nyabut kuasa?” tanya istriku. Aku mengangguk.


“Terus nanti gimana?” ucapnya. Penuh keraguan.


“Ayah ngerasa, dia nggak fair jalani profesinya sebagai pengacara. Jangan mentang-mentang belum dibayar, terus dia malah bermain,” kataku lagi.


“Maksudnya malah bermain itu kayak mana?” tanya istriku. Penasaran.


“Waktu itu kan mestinya Anom yang nerima uang, juga diperiksa penyidik. Rudolf yang bermain, Anom nggak jadi diperiksa. Bahkan namanya hilang dalam perkembangannya. Cuma Yudi aja, itu pun sekadar formalitas. Selain itu, Aceng direktur utama, kan mestinya juga didalami pemeriksaannya. Tapi meriksanya malah di kantor, nggak di kantor polisi. Dan pas penyidik mau bawa laptop-nya untuk ke kantor meriksa Aceng, ada berkas jatuh. Ku lihat, itu berkas pemeriksaan buat Aceng. Berkas itu sudah terisi lengkap. Tinggal ditandatangani aja. Artinya, pemeriksaan itu cuma formalitas juga. Dan ini semua permainan pengacara kita si Rudolf itu,” uraiku. Panjang lebar.


Istriku terbelalak. Penuh ketidakpercayaan. Aku mengerti bila istriku terkejut dengan apa yang ku sampaikan. 


Sebab, penampilan Rudolf memang selalu tenang, bicaranya pun runtut, dan sangat meyakinkan. Apalagi dia termasuk pengacara ternama di kota ini. Banyak kasus besar yang ditanganinya. Bahkan mayoritas pejabat menggunakan jasanya jika terserimpet perkara hukum.


“Dan yang lebih parah lagi, dia malah menghilang waktu ayah mau dimasukkan ke sel. Ayah yakin, dia sudah tahu sebelumnya kalau ayah bakal ditahan. Dia pasti kirim-kiriman WhatsApp sama penyidik. Gilanya lagi, sampai hari ini dia juga nggak dateng kesini,” lanjutku. Menahan emosi.


“Katanya tadi dia kesini, tapi nggak bisa ketemu karena ayah sudah pesen hanya istri yang boleh ketemu,” kata istriku.


“Dia itu nggak serius mau ketemu. Dia kan pengacara ayah, minta aja sama penyidik untuk nge-bond ayah, kan bisa? Dia sekadar pengen lihat ayah kayak mana sekarang. Ayah ngerasa, dia sudah dikendaliin orang lain sekarang ini,” sahutku. 


Ku lanjutkan ceritaku. Betapa kasus ini bermula dari ajakan Yudi, direktur keuangan koperasi tempatku bekerja, untuk bermain judi online. Juga Anom, orang kepercayaan Yudi. 


Yudi dan Anom pulalah yang banyak mengambil uang perusahaan dan sebagian diberikan kepadaku untuk memenuhi hasrat meraih untung dari permainan tersebut. 


Dalam perjalanannya, Aceng direktur utama, mengetahui perilaku tidak jujur kami. Yudi memaksaku menandatangani surat pinjaman dana di depan notaris, dengan janji ia akan menjual tanahnya untuk membayar uang koperasi yang kami pakai berjudi. 


Untuk meyakinkanku, ia tunjukkan sertipikat tanah seluas 1.000 M2 lebih atas namanya. Anom juga menjanjikan akan membantu mengembalikan uang perusahaan yang dia pakai untuk judi online.


Namun, Yudi berkhianat. Ia melepaskan tanggungjawab dan belakangan ia bersatu dengan Aceng, melaporkan aku ke polisi.


Dalam beberapa kali pemeriksaan, ku sampaikan runtut peristiwa yang sebenarnya. Tapi penyidik bersikukuh dengan bukti penerimaan dana yang ku tandatangani di depan notaris. 


Meski notaris juga beberapa kali menyampaikan bila saat penandatanganan surat pernyataan pinjaman itu tidak terjadi penyerahan dana.


Penyidik hanya memiliki bukti surat pengakuan pinjaman dana yang ku tandatangani dan tidak pernah menemukan alur waktu penerimaan dana tersebut. Kecuali cerita rekayasa Yudi, Anom, dan staf-staf koperasi, yang selalu aku bantah. Karena memang tidak pernah terjadi.


Tapi inilah dunia hukum kita. Penyidik acapkali menempatkan dirinya sebagai malaikat pencabut nyawa. Penentu yang terperiksa akan diposisikan sebagai apa. Apalagi bila sudah ada pesan tersembunyi. Dan inilah yang dijadikan penyidik menstatuskanku sebagai tersangka serta langsung ditahan. (bersambung)


LIPSUS