Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 16)

INILAMPUNG
Minggu, 16 Januari 2022

Oleh, Dalem Tehang

DALAM setiap pemeriksaan, selalu ayah sampein yang sesungguhnya terjadi. Tapi Rudolf nggak pernah nunjukin sikapnya mendukung pernyataan ayah. Dia cuma duduk, diam, dan perhatiin aja proses pemeriksaan. Nggak ada upaya-upaya untuk dilakuin konfrontir. Baik dengan Yudi, Anom, apalagi Aceng. Atau upaya-upaya lain sesuai ketentuan hukum. Rudolf sekadar nempatin diri kalau ayah punya pengacara. Nggak ada pembelaan sama sekali,” uraiku panjang lebar. Suaraku bergetar. Menahan jiwa yang bergolak. Marah.

Istriku menempelkan dahinya ke teralis besi yang menjadi pemisah posisi kami. Aku tahu, pikirannya tengah berkecamuk. Selaras dengan perasaannya yang tidak pernah tenang sejak aku ditahan. 

Ku elus kepalanya. Berkali-kali. Kami sama-sama terdiam. Ku tempelkan dahiku ke dahinya. Kedua tanganku merengkuh badannya dari sela-sela jeruji. Ku dengar suara sesenggukan. Pelan. Istriku menangis. 

Kubiarkan ia meletupkan kesedihannya yang terpendam. Mengalir perlahan. Menggoncang badannya yang tetap dalam pelukanku. 
Kami nikmati rona kesedihan berlapis keterpurukan itu dengan cara kami sendiri. Mulut terdiam, batin yang bercerita. Melebihi rangkaian ribuan kata.

Sampai akhirnya kami tersadar saat suara adzan Maghrib menggema dari masjid di samping mapolres. Ku lepas istriku pulang dengan perasaan tidak karuan. 

Aku tahu persis, betapa sejuta ketidaktenangan mengendap ditubuhnya. Hanya karena memiliki mental yang tangguh sajalah, ia masih bisa tetap bertahan menjalani tapakan kehidupan. 
Satu kantong plastik berisi bawaan istriku, diserahkan petugas jaga. Sambil berjalan menuju kamar, ku lihat isinya. 

Tidak hanya berisi makanan, tapi juga ada kain sarung, baju koko, dan kopiah. Ditambah vitamin. 

Waktu menjadi imam solat Maghrib di kamar, aku pakai kain sarung, baju koko juga kopiah yang dibawa istriku. Ada beda dibatinku. Lebih merasa nyaman dan menyatu saat menghadap Yang Maha Agung.

Ku ajak kawan-kawan mengaji. Membaca surah yasin. Semua ikut. Membuat lingkaran. Satu demi satu ayat suci kami suarakan. Ada getaran-getaran yang menyusup ke khalwat batin terdalam. Kedamaian. 

Selepas solat Isya, petugas melakukan apel. Aku masih tetap bersarung dan berbaju koko. Seorang petugas tampak mengawasiku dengan serius. Seakan aku melakukan kesalahan. 

Saat bersamaan, petugas disampingnya berbisik. Petugas yang mengawasiku pun mengangguk. Setelah memastikan isi sel sesuai daftar, petugas itu berbalik arah. Kembali ke pos jaga.

“Kamu lihat petugas tadi mau negor kamu?” kata Joko. Aku mengangguk.

“Kenapa kok nggak jadi?” lanjut dia. Aku hanya angkat bahu.

“Karena kamu sudah dapat dispensasi, Mario. Pak Rudy komandan tahti pasti sudah sampein ke jajarannya untuk jaga kamu. Tapi kamu jangan bangga dulu. Ini penjara. Ada aja nanti yang nggak suka dan cari-cari masalah dengan kamu,” ucap Joko dengan serius. 

Aku menganggukkan kepala. Makin memahami dinamika hidup di sel seperti ini.

Baru saja kami menggelar makanan untuk makan malam, mendadak pintu sel dibuka dengan cepat. Ada razia provos dan tim dari satnarkoba.

Kami semua diperintahkan berdiri. Menempelkan badan ditembok dengan kaki sebelah diangkat dan kedua tangan diangkat. 
Aku sudah akan protes dengan perlakuan petugas. Tapi mulutku dibekap oleh Aris yang berada disebelahku, sambil ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Meminta aku menahan diri. 

Para petugas yang merazia benar-benar kasar. Seluruh tas dikeluarkan isinya. Diacak-acak dan ditabur ke lantai. Setiap bungkus rokok diperiksa. 

Semua bahan makanan yang ditaruh Ijal di dalam ember, tidak luput dari pemeriksaan. Semua dihamburkan. Seakan tak berguna. 
Hampir 30 menit, petugas berjumlah lima orang itu memeriksa kamar kami. Semua rokok dimasukkan kantong plastik dan dibawa keluar kamar. Makanan yang sebelumnya tersusun rapih di lantai untuk kami makan malam, berhamburan. 

Setelah petugas keluar, masing-masing merapihkan lagi pakaian dan barang-barang pribadinya. 

Beberapa vitamin yang sore tadi dibawakan istriku, hilang tanpa bekas. Rokok ku pun tak tersisa lagi walau satu batang.

Hatiku bergemuruh tidak karuan. Tak menerima perlakuan yang tidak berperikemanusiaan itu. 
Ku pinjam hp Aris yang disembunyikan di dalam ember rendaman pakaian yang ada di kamar mandi, dan tidak diketemukan petugas saat razia tadi. 

Ku kabari Laksa, adik istriku, lewat sms. Ku beberkan perilaku petugas yang arogan. Kamar kami bukan tempat tahanan narkoba, tapi razia narkoba. Dan pelaksanaan razianya sangat tidak manusiawi.

“Inilah dunia penjara, Mario. Kapan aja kita bisa diperlakuin semau-mau petugas,” kata Joko. Yang memahami gejolak hatiku.

“Mereka dalam bertugas punya protap, Joko. Nggak bisa juga semaunya gini. Kita ini bukan binatang. Jangan diperlakuin seenaknya,” kataku dengan nada marah.

“Jadi kamu mau apa? Mau ngelawan?” mendadak Doni menimpali. 

Ku tatap dengan nanar, pria yang telah berkali-kali menunjukkan ketidaksukaannya padaku itu. 

“Iya, aku pasti lawan perilaku petugas yang razia tadi. Kamu mau apa?!” sahutku dengan nada tinggi. 

Ku tatap Doni dengan mata memendam amarah. Aku berdiri. Menunggu dia bergerak dari tempat duduknya. 

Tiba-tiba Asnawi yang duduk disamping Doni, berdiri. Pria yang tersangkut kasus penjambretan ini spontan menjatuhkan badannya ke arah Doni. Membekapnya. Membenturkan dahinya ke tembok. Berkali-kali. Doni meraung-raung kesakitan. 

Bergeraklah seisi kamar memisahkan. Dahi Doni berdarah. Tangan kanannya terkilir akibat tindihan mendadak badan Asnawi yang kekar. 
Aku yang masih terus berdiri, hanya diam. Amarahku masih menggelegak. Hingga membuat sekujur badanku bergetar. (bersambung)

LIPSUS