Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 17)

INILAMPUNG
Senin, 17 Januari 2022


Oleh, Dalem Tehang


TIBA-tiba datang petugas. Dia membuka pintu kamar. Ditemani Gustav, kepala blok tahanan. Kami semua buru-buru kembali ke tempat masing-masing. Seakan tidak terjadi apa-apa.


“Bang Mario, rokok abang tadi berapa bungkus?” tanya Gustav padaku yang masih berdiri.


“Ada tiga bungkus. Memangnya kenapa, Gustav?” sahutku.


Gustav menengok ke petugas yang bersamanya masuk ke kamar. Petugas itu mengeluarkan tiga bungkus rokok. Gustav menyerahkan padaku.


“Ini apa maksudnya?” tanyaku. Masih dengan nada kesal.


“Tadi kan rokok abang diambil petugas waktu razia, ini dikembaliin,” ucap Gustav.


“Kalau mau ngembaliin, punya kami semua dong, Gustav. Aku nggak mau terima kalau cuma punyaku aja yang dibalikin,” kataku. Tegas.   


Gustav menatap ke arah petugas yang bersamanya. Sesaat mereka diam. Baru kemudian beringsut. Keluar kamar tanpa bicara apapun.


“Mestinya kamu terima aja tadi itu, Mario. Kalau begini caranya, bakal timbul masalah,” kata Aris. Dengan suara was-was.


“Biar sekalian timbul masalah, Aris. Sudah tanggung. Kita lihat aja nanti kayak mana. Aku siap apapun yang bakal kejadian,” kataku dengan sungguh-sungguh.


Edi mendekatiku. Mengeluarkan sebatang rokok dari lipatan celana pendeknya. Sudah penyet dan nyaris patah rokok itu. Disulutnya dan diberikannya padaku. Ku hisap rokok pemberian Edi. Ku coba turunkan amarah lewat hembusan asap yang mengepul bergulungan dari mulutku.  


“Maaf ganggu. Tolong sebutin masing-masing berapa rokok yang tadi kebawa petugas yang merazia,” tiba-tiba seorang tamping berdiri dari balik teralis besi sambil membawa kertas dan pulpen. 


“Jangan bilang kebawa ya. Tapi emang dibawa. Tepatnya dirampas,” kataku. Dengan nada tinggi.


“Iya, om. Maaf, saya salah ngomong,” kata tamping itu sambil membungkukkan badannya. 


Tercatat ada 18 bungkus rokok dengan berbagai merek yang diambil petugas dari kamar kami saat razia tadi. 


Edi masih duduk di tempatku. Ku rebahkan badan. Sambil menikmati rokok pemberiannya. Mencoba menurunkan gelegak amarah yang mendadak sulit dikendalikan.


“Slow aja, Mario. Penjara memang dunia keras. Bahkan kasar. Tapi jangan buat kita jadi manusia kasar juga. Mengalahlah untuk menang,” kata Edi. Menasihati. 


“Aku paham itu. Tapi kalau keterlaluan, pasti ku lawan. Petugas nggak bisa semaunya aja. Ada aturan yang harus mereka patuhi juga. Kayak kita, mesti taat sama aturan yang ada,” kataku.


Sesaat kemudian pintu kamar ada yang membuka. Seorang tamping meminta Edi ke pos jaga. Edi buru-buru bergerak.    


Tidak sampai 15 menit, Edi sudah kembali. Ia menenteng kantong plastik. Berisi 18 bungkus rokok yang tadi diambil petugas. Ijal membagikan rokok sesuai siapa pemiliknya. 


“Terimakasih, Mario. Baru sekali ini rokok yang disita petugas bisa balik,” kata Edi sambil menatapku. Aku hanya acungkan jempol.


Mendadak Doni mendekatiku. Aku yang masih berbaring, refleks menggerakkan kaki kanan dengan kencangnya. Menghantam wajahnya. Badan Doni terpelanting. Jatuh ke lantai bawah. Joko memelukku. Menghentikan upayaku untuk bangun. 


Doni tertatih, mencoba bangkit. Dibantu Arya dan Tomy. Aris dan Asnawi mengerubungiku. Duduk di kiri kananku. Menjagaku.


“Maaf, Mario. Aku mau minta maaf sama kamu. Bukan mau apa-apa,” kata Doni sambil mengelap darah yang mengucur dari sudut bibirnya. Terkena hantaman refleks kakiku. 


Aku hanya diam. Joko yang semula memelukku, melepaskannya. Aku duduk. Ku tatap wajah Doni. Dahinya membiru dan masih ada bekas darah akibat dibenturkan Asnawi ke tembok. Bibirnya pecah karena hantaman kakiku. 


Edi memberi isyarat pada Doni untuk menyalamiku. Sambil menahan sakit, ia beringsut. Mendekat. Menyalamiku. Ku terima uluran tangannya.


Ia mendekatkan badannya. Ingin memelukku. Ku tolak. Cukup bersalaman. Masih ada amarah di hatiku. Selain insting penjagaan diriku memberi sinyal untuk tetap waspada. Hidup di penjara penuh dengan segala ketidakterdugaan.


Aris menepuk-nepuk bahuku. Berharap aku sabar. Aku tahu, sabar memang amat diperlukan hidup di dalam sel, namun tidak mesti hilang ketegasan. Karena kesabaran adalah memilih waktu yang paling tepat untuk bertindak. (bersambung)


LIPSUS