Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 18)

INILAMPUNG
Selasa, 18 Januari 2022

 

Oleh, Dalem Tehang


EDI memandangiku yang selonjoran di sudut tempat tidurku. Aku tahu, ada yang mau dia sampaikan.


“Mario, kami semua biasa puasa di hari Senin dan Kamis. Kamu mau puasa nggak besok lusa,” kata Edi.


Aku diam. Ku pandangi satu persatu penghuni kamar. Belum ada yang tidur. Meski mayoritas sudah merebahkan badannya di lantai. 


“Iya, aku ikut puasa,” kataku kemudian.       


“Bener kamu mau puasa? Emang selama ini biasa puasa sunah?” Aris menyela. 


“Iya bener, aku mau ikut puasa Kamis lusa. Selama ini jarang juga sih puasa sunah. Paling juga karena ngimbangin istri yang puasa aja,” kataku. Polos.

 

“Alhamdulillah kalau kamu mau mulai puasa Senin Kamis, Mario. Aku, Joko, Asnawi juga Edi, baru puasa sunah itu setelah masuk sel ini,” sambung Aris sambil tersenyum penuh arti.


Aku menganggukkan kepala. Terngiang lagi ucapan ustad waktu aku belajar mengaji dulu: bila musibah itu membuatmu semakin dekat dengan Tuhan, itulah nikmat. Tetapi jika nikmat membuatmu kian jauh dari Tuhan, itulah musibah.


“Syukur kalau kita semua di kamar ini mau puasa Senin Kamis. Yang paling penting, kita nggak usah sok suci, sebab kita semua sama. Cuma beda dalam hal milih dosa aja,” sela Joko. Ucapannya penuh bahasa bersayap.


Sambil menghisap rokoknya, Edi bercerita bagaimana selama ini ia memainkan mafia tanah. Yang berakibat bolak-balik masuk  bui.


“Aku nggak pernah takut masuk penjara. Karena buatku, hanya ada dua pilihan buat menang di kehidupan ini. Yaitu keberanian atau keikhlasan. Kalau nggak berani, ya ikhlaslah nerima apapun juga. Kalau nggak ikhlas, ya harus berani mengubahnya,” kata Edi dengan tenang. 


“Tapi kan tetep nggak mau terus-terusan di penjara gini, Kap?” ucap Aris. 


“Sudah pasti kalau itu mah, Ris. Justru di sel begini aku makin banyak berdoa. Karena emang hanya doa itulah yang bisa dilakuin. Berdoa dan berdoa. Kalau hati dan pikiran kita sudah nggak bisa nampung beban lagi, bukankah hanya pada Tuhan juga kita berseru? Ini keindahannya di penjara itu, dan selalu ku nikmati sejak awal jalani hukuman sampai yang sekarang ini, sudah kelima kalinya,” urai Edi. Enteng dan terkesan tanpa beban sama sekali.


“Jadi om Edi ini sudah lima kali masuk penjara?” tanya Ijal. Dengan mulut ternganga. Edi menganggukkan kepala sambil melepas tawanya. Renyah. 


“Pengalaman apa yang paling bermakna selama bolak-balik di penjara, Kap?” Asnawi angkat bicara juga.


Nggak kehitung lagi pengalamannya, Asnawi. Untuk ukuran kemanusiaan, aku bisa nilai tangan mana yang nyambutku saat susah dan kaki mana yang ngelangkah pergi waktu aku minta tolong. Untuk ukuran kemakhlukan, aku sadari bener kalau Tuhan akan selalu bukain jalan walaupun kelihatannya nggak mungkin ada jalan. Tapi hakekat kehidupan yang berarti bener buatku adalah kalau pada akhirnya sabar itulah yang ngajarin kita untuk tetep tegar,” ucap Edi dengan suara bergetar.


“Kuncinya jalani hidup disini itu sabar dan ikhlas aja ya,” lanjut Asnawi.


“Iya itu aja sebenernya. Dua kata itu mudah diomongin, tapi sulitnya minta ampun buat dijalani. Ikhlas itu berasa tapi nggak terasa. Ikhlas itu nggak terucap. Dan sabar itu tak berujung. Nggak mudah wujudinnya,” sahut Edi. 


Ku simak perkataan Edi yang begitu sarat makna. Guliran kehidupan yang begitu luas, ia simpulkan penuh kesederhanaan dari ruang tahanan nan sempit. 


Penjara memang membatasi gerak lahiriyah, namun tidak pernah mampu meredam alur pemikiran dan gelegak jiwa yang membedah langit meraih tangan Tuhan.


Keasyikan kami terusik dengan datangnya seorang tamping. Memberi isyarat pada Edi untuk keluar kamar. 


Malam makin temaram, angin terus berdatangan masuk lewat jeruji besi, merayapi kami. Sampai mendinginkan tulang sumsum. 


Ditemani Iyos, Doni, dan Asnawi, Edi keluar kamar. Joko dan Aris berpandangan, dan saling tersenyum. Sebuah sikap pengertian yang tidak diucap dengan kata, ternyata lebih indah. 


Ku rebahkan diriku. Setelah ku rapihkan bantal dari botol air mineral yang terikat dengan karet. 


Banyak pengalaman yang ku dapati dalam sel tahanan walau baru beberapa hari. Beraneka karakter orang yang dipaksa menyatu dalam satu ruangan sempit, ternyata tidak selalu menimbulkan persoalan. Ada kesadaran yang memaksa dilahirkannya sebuah kebersamaan. 


Selepas mengimami solat Subuh, aku berdiri di jeruji besi. Ku pandangi mentari yang mulai meninggi. Menunjukkan tanda kehadirannya. Menerangi seantero bumi. Mengubur malam yang menebar kegelapgulitaan.


Mendadak terbayang kebiasaan melepas anak berangkat sekolah, dengan mencium kepala mereka dan menerima ciuman ditangan. Disusul istri yang berangkat ke kantornya. Melepas dengan ciuman dan pelukan. 


Tidak terasa, sebutir air menetes dari sudut mataku. Semua kebersamaan itu kini hilang. Tinggal kenangan. Dan entah kapan akan bisa berulang. Ataukah takkan pernah berulang. (bersambung).

LIPSUS