Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 19)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 19 Januari 2022


Oleh, Dalem Tehang


PAK Rudy, komandan kompleks tahanan titipan, tahu-tahu sudah berdiri di depanku. Aku terhenyak. Tidak menyadari kehadirannya. Akibat begitu dalamnya terbawa lamunan.


“Lagi melamun, pak Mario?” sapa pak Rudy sambil tersenyum penuh simpatik.


Buru-buru ku hapus air mata yang masih tersisa di pipiku. Ku lepas seulas senyum. Getir. 


Inget anak istri ya?” lanjutnya dengan nada suara setengah bercanda. 


Aku mengangguk. Spontan. Mendadak ia berikan handphone-nya. 


“Silahkan telepon istri atau anaknya, pak. Biar terobati kangennya,” kata pak Rudy, yang langsung bergerak pergi.


Aku masih terdiam di depan jeruji besi. Ku perhatikan hp pak Rudy yang ada ditangan. Ku lihat waktu di telepon genggam itu. 06.45 WIB. 


Biasanya, jam itu anak-anakku sedang di jalan menuju sekolahnya, dan istriku tengah berdandan untuk selanjutnya berangkat ke kantor.


Ku putuskan telepon Rayhan, sopir yang mengantar anak-anakku ke sekolah. Sekali panggilan telepon masuk, langsung diangkat. 


Dia kaget saat mendengar suaraku. Tanpa banyak tanya, diserahkan hp-nya ke anak gadisku. Bulan.


“Ayah, sehat ya. Kami semua sehat. Alhamdulillah, ayah bisa telepon. Kami ulangan mulai hari ini selama seminggu. Doain ya ayah,” kata Bulan dengan ceria.


“Iya, ayah selalu doakan kalian semua. Bismillah aja ya. Kalian pasti bisa jalani ulangan dengan baik dan dapet nilai yang baik juga,” ucapku dengan suara tercekat.


“Ayah, ini adek mau ngomong,” ujar Bulan.


“Halo, ayah. Kok bisa telepon, emang pakai hp-nya siapa?” tanya anak bungsuku. Halilintar. Yang biasa dipanggil Adek.


“Ayah dipinjemi hp sama komandan disini, dek. Alhamdulillah. Adek gimana persiapan ulangannya,” sahutku.


“Baik juga ya komandan di tahanan itu, ayah. Padahal katanya, penjaga tahanan itu serem-serem dan sering nyiksa tahanan. Ini kok malah minjemi hp, baik bener orang itu ya. Adek sudah belajar ditemeni bunda dan yakin aja pasti dapet nilai bagus nanti,” kata Halilintar. Juga dengan suara ceria dan penuh optimisme. 


“Cerita serem-serem soal penjaga di tahanan itu nggak bener, dek. Nyatanya komandannya aja baik sama ayah. Mau minjemi hp. Ya sudah, tetep semangat ya. Inget, nggak usah ngoyo jadi yang terbaik, tapi tetep jadilah orang baik yo,” kataku. Memaksa mengurai kata yang bisa menyejukkan hati cah ragilku. 


“O iya, ayah. Adek kan mau nyalon jadi ketua OSIS. Nanti habis ulangan ini ada acara debat visi misi. Gimana caranya biar bisa narik simpati kawan-kawan. Sebab calonnya ada tiga orang,” lanjut Halilintar.


Sampein visi misi dan program yang adek rencanain dengan jelas. Jangan buru-buru ngomongnya. Slow tapi teges. Dan jangan sekali-kali nyerang pribadi saat berdebat. Kritisi program kawan yang juga nyalon penuh dengan etika, jangan ngerendahin apalagi nyepelein. Tampil yang elegan. Sampein kalau adek yang terpilih, program calon-calon yang lain juga akan dimasukkan jadi program selama adek ketua OSIS. Pasti adek banyak dukungan,” ucapku. Menyemangati.  


“Siap. Terimakasih masukannya, ayah. Ini mbak mau ngomong lagi,” kata Halilintar dan menyerahkan hp ke Bulan.


“Ayah, kasih kami air doa kayak biasa kalau lagi ulangan ya. Bisakan?” kata Bulan. Aku terdiam.  


Kebiasaanku saat anak-anak ulangan atau ujian, selalu ku siapkan air dalam gelas yang sudah ku doakan untuk mereka minum. Air doa itu menjadi sugesti tersendiri dan melahirkan keyakinan maha dahsyat buat anak-anakku selama ini. 


“Iya, inshaallah nanti ayah siapin. Nanti ayah juga telepon bunda untuk ngambil di tempat ayah sepulang kerja,” kataku kemudian.


Selepas telepon anak-anak, ku telepon istriku. Berulangkali ku telepon, tak diangkatnya. Tidak putus asa. Ku telepon terus. Hingga akhirnya tersambung.


“Assalamualaikum, sayangku,” sapaku.


“Waalaikum salam. Masyaallah, ayah ya rupanya yang telepon. Nggak ngenali nomernya. Ini lagi di jalan. Buru-buru mau apel di kantor. Ini hp-nya siapa? Awas lo, kalau ketahuan petugas, nanti jadi masalah,” kata istriku. Laksmi. 


“Ini hp dipinjemi pak Rudy. Komandan di tempat ayah ditahan ini. Dia tadi lihat ayah ngelamun, langsung nyambung kalau lagi mikirin bunda dan anak-anak. Nggak disangka, spontan dia pinjemi hp-nya buat telepon,” ucapku. Dengan sedikit bangga.


“Alhamdulillah, selalu dipertemukan dengan orang baik walau di tempat orang yang dibilang bukan tempatnya orang baik-baik,” kata istriku dengan suara terharu.


“Tadi ayah juga sudah telepon anak-anak. Alhamdulillah tetep semangat ngadepin ulangannya. Mereka minta air doa. Sepulang dari kantor nanti, mampir ya. Nanti disiapin dulu,” ujarku.


“Alhamdulillah, anak-anak tetep bisa dapet support dari ayah. Sejak ayah ditahan, Bulan tidurnya di sajadah ayah terus. Si Adek tidur disamping bunda, tempat ayah biasa tidur. Kaos ayah yang kemarin dibawa pulang itu, dijadiin sarung bantal sama mereka,” urai istriku. Suaranya bergetar. Diliputi keharuan.


Sontak jiwaku bergelora. Disesaki rasa bersalah yang menghimpit. Begitu berat beban batin istri dan anak-anakku akibat kejadian ini. 


Tidak terasa, air mata kembali berguliran di pipiku. Ekspresi kemanusiaan yang tercuat dari derasnya gelombang yang tak beraturan di dalam jiwa. 


“Ya sudah, yang penting ayah jaga kesehatan ya. Tetep sabar dan nrimo aja. Nanti sore, inshaallah bunda besuk ayah. Ini sudah di parkiran kantor, mau nguber ikut apel. Kalau nggak apel, tukinnya dipotong,” kata istriku. Dan mematikan telepon. (bersambung)

LIPSUS