Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 2)

INILAMPUNG
Minggu, 02 Januari 2022
Views

Oleh, Dalem Tehang 

SEPANJANG lorong menuju sel tahanan, ku tengok setiap ruangan. Penuh sesak. Para tahanan, kompak berdiri. Berjejer di balik jeruji besi. Mayoritas bertelanjang dada. Memandangiku. 

Ada yang melempar senyum. Bersimpati. Tak jarang yang menatapkan matanya dengan tajam. Seakan mendapat mangsa baru.

Sampai kemudian, langkahku berhenti di sel paling ujung. Ruang tahanan nomor 10. Petugas membuka gembok pintunya.

“Edi, ini tahanan baru,” kata petugas itu.

Seorang pria paruh baya berbadan kerempeng, berkulit hitam dengan wajah sangar, menyahut: “Siap, Dan!”

Resmilah aku masuk ke sel tahanan. Ada 12 orang di ruangan berukuran 8 x 4 meter itu. 

Dengan isyarat, pria yang tadi dipanggil Edi, menyuruhku menaruh tas kecilku di sudut kiri. Paling ujung. Berdampingan dengan kamar mandi.  
  
Aku menyalami satu demi satu tahanan di kamar 10. Sambil mengenalkan diri. 

Ada yang menyambut uluran tanganku dengan ramah, kebanyakan hanya basa-basi semata. Bahkan ada yang sebelum menerima tanganku, memasukkan jari tangan ke hidungnya. Menaruh umbel di jemarinya.

Edi menyuruh semua penghuni kamar duduk di tempatnya masing-masing. Ia mengenalkan diri sebagai kepala kamar.

“Ada kebiasaan disini yang harus dijalani buat yang baru masuk. Pertama, ngenalin diri. Kedua, ngasih tanda persahabatan berupa tiga bungkus rokok. Kalau malem ini belum bawa, besok juga nggak apa-apa. Kalau nggak mau ngasih rokok, wajib nyanyi tiga lagu. Ketiga, bayar uang kebutuhan kamar buat sebulan Rp 600.000,” kata Edi mengenalkan tatakrama di sel tahanan.

Aku mendengarkan arahannya dengan cermat. Sambil ku perhatikan satu demi satu penghuni sel 10 ini. Mayoritas seumuran. Ada beberapa yang berusia dibawah 40 tahunan. 

“Sekarang, silakan ngenalin diri,” lanjut Edi sambil memberi isyarat untuk aku berdiri.

Aku pun berdiri. Tepat di samping pintu sel. Sehingga semua memandang ke satu arah. Ke posisiku berdiri.

“Terima kasih. Izinkan saya memperkenalkan diri,” kataku dengan suara pelan, mencoba tetap santai.

“Kamu Islam bukan? Kalau Islam, assalamualaikum dulu. Kalau beragama lain, cukup selamat malam,” ketus Edi dengan nada tinggi.

Tercekat tenggorokanku. Tak dinyana, di sel tahanan pun, masih ada etika menjaga kekhasan agama. 

“Assalamualaikum. Terimakasih atas penerimaan kawan-kawan semua. Nama saya Mario. Umur 50 tahun. Saya ditahan karena kasus dugaan penipuan dan penggelapan,” aku memulai memperkenalkan diri. 

“Kalau sudah ditahan gini, jangan ngomong dugaan lagi ya. Bilang aja kena kasus 378 dan 372,” kata seorang pria berbadan kekar tanpa memakai baju, yang menyandarkan badannya ke tembok. Matanya tajam menatapku. Aku mengangguk.

“Jangan dipotong dulu omongannya, Doni. Ayo lanjut,” kata Edi sambil menengokkan wajahnya pada pria yang tadi menyela pembicaraanku.

“Iya, maaf kalau ada bahasa saya yang kurang pas. Soal tanda persahabatan dengan rokok tiga bungkus, mungkin besok baru bisa saya penuhi,” kataku lagi.

“Emang kamu nggak ngerokok ya,” ucap pemuda tampan yang duduk di samping Edi.

“Saya ngerokok. Cuma tadi diambil sama petugas di pos penjagaan,” kataku.

Mendadak semua penghuni kamar 10,  tertawa lepas. Aku diam. Tidak paham apa yang mereka tertawakan.   

“Nggak usah heran kalau kawan-kawan ketawa, Mario. Mereka sebenernya lagi ngetawain diri sendiri,” ujar Edi. Aku masih diam. Semakin tidak paham.

Setelah diam sesaat, aku bertanya: “Maksudnya apa, pak Edi?”

“Disini ngerokok itu nggak dilarang, Mario. Cuma belinya harus lewat petugas yang lagi jaga. Kalau nggak lewat mereka, ya disita. Kami semua sudah ngalami duluan apa yang kamu alami malem ini. Makanya pada ketawa tadi. Anggep-anggep mengenang pengalaman waktu masuk pertama kali kesini,” jelas Edi. Juga sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa.

“Gimana soal dana kebutuhan kamar, Mario?” lanjut Edi menanyakan sikapku.

“Saya siap ikut aturan disini. Cuma kalau boleh tahu, buat apa dana sebesar itu setiap bulannya?” tanyaku.

Edi menengok ke pria berwajah tampan dengan kulit bersih yang duduk di sebelahnya.

“Ini namanya Iyos. Dia bendahara di kamar ini. Biar dia aja yang jelasinnya,” kata Edi.

“Jadi dana Rp 600.000 perbulan itu sepenuhnya buat kebutuhan kita disini. Dalam sehari, minimal dua kali pintu kamar dibuka selama beberapa jam. Nah, itu sekali buka, wajib bayar Rp 50.000. Istilahnya uang ngangin. Belum lagi kalau disuruh sokongan beliin rokok yang jaga atau yang ngecek tahanan. Itu minimal Rp 100.000 perkamar. Atau pas ada kawan kita yang besukan, itu harus kasih uang besuk, istilahnya kopelan Rp 20.000. Iya kalau yang ngebesuk ngasih duit, kalau nggak, ya uang kas inilah yang kita pakai. Juga buat beli sarapan atau makan malem kalau nggak ada yang kiriman,” kata Iyos. Panjang lebar.
Aku manggut-manggut. Mencoba memahami keunikan hidup dalam sel tahanan. 

“Dan semua dana yang masuk juga keluar, ada catatannya. Tapi semua pakai kode. Cuma kita sesama penghuni kamar aja yang paham kode-kode itu,” sambung Iyos. Ia keluarkan buku kecil dari bawah lipatan pakaiannya.

“Kenapa begitu?” tanyaku lagi. Terheran.

“Kalau ditulis apa adanya, terus buku ini diambil provos, kita semua bisa kena masalah. Misalnya dicatet, penjaga A kita kasih uang Rp 50.000. Kalau dia sampai diperiksa provos dan kena hukuman, nanti giliran dia bebas, dia ngehukum kita juga. Susah kita dibuatnya. Banyak kejadian kayak gitu. Kita disini kan mau nyaman to, walau mana ada di tahanan yang namanya kenyamanan,” lanjut Iyos. Kali ini sambil nyengir.

“Kamu sudah paham kan, Mario. Nggak usah sampai detailnya-lah. Nanti juga paham sendiri. Kalau sudah masuk sini, paling cepet 2,5 bulan kamu baru keluar. Jadi siapin aja apa-apa yang kamu perluin selama disini. Yang penting, jaga kebersamaan penghuni kamar,” kata Edi. Menyudahi penjelasan Iyos.

Aku mengangguk. Perkenalan pun selesai. Aku kembali ke tempatku. Paling sudut. Ku taruh tas kecilku berisi pakaian untuk bantalku. 

“Pakai ini dibawah tasmu. Biar lebih tinggi kayak bantal beneran,” kata laki-laki separuh baya yang tidur di sebelahku. Namanya Joko. 

Ia sodorkan dua botol air mineral ukuran 1 liter berisi air keran dari kamar mandi yang sudah disatukan dengan karet.

“Terimakasih,” kataku. Joko tersenyum. 

“Santai aja. Nanti kamu nanti tahu betapa nikmatnya hidup di sel,” ujar dia sambil menaruh kepalanya di botol air mineral seperti yang diberikannya padaku. 

“Nikmat apa yang kamu dapati?” tanyaku. Disela-sela menata tas kecil di atas botol air mineral yang diberinya, untuk ku jadikan bantal.

“Ketemu kawan-kawan baru yang sebenernya berhati baik dan kesetiaannya luar biasa. Dan kehilangan orang-orang yang dulu kita sangka kawan baik. Nikmati ajalah. Ada yang datang dan ada yang pergi,” kata Joko sambil tersenyum. 

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Sederhana perkataannya, namun amat dalam maknanya. (bersambung)

LIPSUS