Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 20)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 20 Januari 2022


Oleh, Dalem Tehang

        

BURU-buru ku kabari Rayhan, sopirku. Yang akan mengantar sarapan ke tempat penahananku, setelah menurunkan anak-anak di sekolahnya. 


Ku pesankan untuk membeli air mineral dua botol. Untuk ku doakan buat Bulan dan Halilintar yang sedang ulangan. 


Ku minta tamping membuka pintu kamar. Aku mau kembalikan hp ke pak Rudy.


“Maaf, om. Lagi di-keong. Nggak boleh buka kamar,” kata Adit. Tamping itu.


Akhirnya, hp pak Rudy ku titipkan Adit. Untuk dikembalikan. Pak Rudy masih ada di pos penjagaan. Berbincang dengan jajarannya.


“Maksudnya di-keong itu apa?” tanyaku pelan, pada Ijal. 


“Maksudnya semua pintu kamar sel nggak boleh dibuka, om!” ucap Ijal.


“Memangnya kenapa? Biasanya pagi gini kan pintu sel dibuka walau sebentar?” tanyaku lagi.


“Bisa aja lagi mau ada pemeriksaan atau apa gitu, om. Biasa di-keong kayak gini kok. Bahkan pernah sehari semalem nggak boleh keluar kamar sel,” lanjut Ijal. 


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Makin memahami betapa hidup di penjara memang penuh dengan aneka kisah yang tidak sewajarnya.


Tidak selang lama, Adit si tamping membawa bungkusan makanan. Dia masukkan lewat sela-sela jeruji besi.


“Kiriman sarapan, om. Sama air mineral,” kata Adit sambil menatapku.


“Terimakasih ya, Adit!”sahutku. Anak muda itu mengangguk sambil tersenyum.


Ijal buru-buru menyiapkan piring. Pagi ini, istriku mengirim sarapan nasi pecel, yang diantarkan oleh Rayhan. Dilengkapi tempe bacem dan kerupuk.


Semua penghuni kamar 10 sarapan. Satu bungkus dimakan berdua. Hanya aku dan Edi kepala kamar, yang makan satu bungkus sendirian.


Selepas sarapan, buru-buru aku wudhu, dilanjutkan dengan solat sunah dua rokaat. Membaca surah yasin dilanjutkan doa. 


Dua botol air mineral yang sudah ku buka, ku taruh di depan tempat duduk. Ku tiupkan doa ke dalam botol itu. Penuh kesungguhan. Penuh pengharapan. Penuh kepasrahan. Allah Sang Pengatur Kehidupan adalah satu-satunya tempat apapun digantungkan.


Sore hari, istriku datang. Namun tidak bisa ku temui. Kami masih di-keong. Adit si tamping, yang menyerahkan kantong plastik berisi bawaan istriku, ke kamar. Aku menitip pakaian kotor dan dua botol air mineral doa buat Bulan dan Halilintar yang dimasukkan ke kantong plastik, untuk diberikan pada istriku.   


Petang itu aku kecewa sekali. Karena tidak bisa bertemu istriku. Dan aku juga tahu, betapa resahnya hati istriku karena tak bisa ketemu denganku. 


Sejuta kemungkinan memang isi dari kehidupan dalam tahanan. Dan memang, jangan pernah berharap hadirnya kelaziman.


Saat adzan Maghrib menggema, seorang petugas memanggilku dari balik teralis besi. 


“Telepon istrinya, pak. Sepertinya tadi ada yang penting mau disampaikan,” kata petugas itu, sambil menyerahkan telepon genggamnya.


Tanpa membuang waktu, ku telepon istriku.

 

 “Hallo, sayangku!” sapaku begitu dia mengangkat telepon.


“Alhamdulillah. Ayah sehat ya? Kenapa sih kok nggak bisa ketemu? Katanya lagi di-keong gitu ya?” kata istriku dari seberang.


“Iya, dari pagi tadi di-keong. Katanya bisa sampai malem. Ya, semau petugas ajalah. Tadi ayah titip pakaian kotor sama air doa buat anak-anak,” ucapku.


“Iya, ini sudah bunda bawa. Bukan, katanya Kamis besok mau puasa? Terus kayak mana sahurnya?” lanjut istriku.


“Rencananya emang mau puasa besok. Nggak tahu gimana sahurnya. Nanti tanya kawan-kawan dulu, biasanya kayak mana,” ujarku.


“Gimana kalau bunda kirim makanan buat sahur, bisakan?” tanya istriku.


“Nanti coba telepon ke nomor petugas ini aja. Bicarain. Inshaallah ada jalan keluarnya,” kataku. Mencari solusi.


“Iya juga ya? Oke kalau gitu. Ayah jaga kesehatan ya. Kami semua selalu doain ayah. Sudah dulu ya. Nanti bunda telepon petugasnya di nomor ini,” kata istriku lagi.


Selepas menjadi imam solat Maghrib, aku membaca yasin bersama Joko, Aris dan Ijal. Perlahan, Tomy dan Irfan mendekat. Juga Arya, Reza, dan Asnawi. Mereka mendengarkan kami mengaji.


Saat adzan Isya menggema, kami baru selesai mengaji yasin. Aris minta untuk dilanjutkan dengan Isyaan berjamaah.


Baru saja aku melipat kain sarung,  petugas jaga yang sore tadi meminjamkan hp-nya, membuka pintu kamar. Membawa dua kantong plastik berisi makanan.


“Babe, ini kiriman dari ibu. Pesannya untuk makan sahur nanti,” kata petugas itu sambil menatapku dan menaruhkan kantong plastik di lantai.


“O iya, Alhamdulillah. Terimakasih bantuannya, pak!” kataku dengan sukacita.


“Santai aja, Babe. Kalau perlu apa-apa, bilang ya,” ucap petugas itu. Membungkukkan badannya. Memberi hormat. Dan kembali mengunci pintu kamar sel.


“Kok kamu dipanggil Babe ya, Mario?” tanya Joko. Aku mengangkat bahu.


“Emang kamu sudah kenal sebelumnya ya?” sela Edi. Aku menggeleng.


“Kalau gitu, mulai sekarang Mario kita panggil Babe aja ya. Kayaknya lebih keren,” kata Aris sambil menebar senyuman.


“Setuju..!” tiba-tiba serentak penghuni kamar 10 sel tahanan titipan di mapolres berteriak. Kami pun tertawa bersama. Dan sejak itu, aku dipanggil Babe.


Yang  tetap disyukuri, dalam keterbatasan pergerakan badan nan menyesakkan jiwa, masih ada ruang untuk meletupkan percikan bahagia. Meski hanya sesaat getarannya, namun mampu menjaga keseimbangan dimensi kemanusiaan.


Ada kesadaran, tidak ada pilihan kecuali harus berdamai dengan keadaan. Ada takdir, ada pahala, dan tentu saja ada dosa. Yang mengambil adalah yang memberi. Yang mencerabut adalah yang menganugerahkan. (bersambung)


LIPSUS