Oleh, Dalem Tehang
SETELAH apel malam, Ijal membuka kantong plastik berisi makanan kiriman istriku.
“Wah, luar biasa sahur kita nanti. Semua harus puasa ini,” kata dia begitu membuka satu demi satu bungkusan makanan.
“Emang kenapa, Jal?” tanya Aris.
“Istri Babe ngirim 12 bungkus nasi pecel lele. Ditambah tahu dan tempe goreng. Alhamdulillah,” ucap Ijal dengan wajah berseri-seri.
Ia rapihkan kembali bungkusan makanan dan menaruhnya dengan tertata apik di sudut kamar. Depan kamar mandi.
“Alhamdulillah. Sampein terimakasih kami semua ke istrinya ya, Be. Inshaallah makin banyak rejekinya,” kata Edi mewakili penghuni kamar 10. Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum.
Ku lihat Aris memberi kode pada Ijal. Anak muda berstatus mahasiswa yang terjerat kasus penganiayaan itu beringsut dari tempat duduknya. Menuju kamar mandi. Tak selang lama, dia memanggilku.
Ku pandangi Aris. Dia memberi isyarat untuk aku ke tempat Ijal. Ke kamar mandi. Ternyata, Ijal menyerahkan hp Aris. Aku paham maksudnya.
Sambil berjongkok di kloset, ku telepon istriku. Yang mengangkat teleponnya, anak gadisku. Bulan.
“Ayah, terimakasih air doanya ya. Mbak sama adek sudah minumnya. Tapi nggak langsung habis. Kata bunda, dicampur air biasa juga boleh. Biar habisnya pas kami selesai ulangan,” kata Bulan, begitu tahu aku yang telepon.
“Alhamdulillah. Iya, boleh dicampur air biasa, yakin Allah selalu membimbingmu, nduk. Belajarnya tetep harus maksimal ya. Ayah selalu doain,” ucapku dengan pelan.
“Mbak sama adek serius belajarnya kok, ayah. Apalagi bunda bilang, kalau kami harus nunjukin walau ayah sekarang nggak ada di rumah, kami tetep bisa survive,” kata Bulan dengan suara optimis.
Mendadak hatiku merintih. Teriris. Sedih. Pedih. Terbayangkan betapa berat beban istriku memotivasi anak-anak untuk tetap berdiri tegak. Sedang dia pun mesti hadir dalam kegiatan keseharian dengan pembawaan yang penuh ketegaran.
“Ayah, ini bunda baru selesai mandi,” suara Bulan menyadarkan aku dari tarikan perasaan yang begitu menyesakkan.
“Makanan untuk sahurnya sudah diterima ya, ayah? Alhamdulillah, petugasnya baik. Dia mau bantu karena untuk makan sahur,” ujar istriku.
“Alhamdulillah. Iya sudah diterima. Terimakasih ya, sayang. Inshaallah besok ayah puasa, bareng kawan-kawan semua,” kataku.
“Besok untuk buka puasanya dibawain pas mampir pulang kantor ya,” lanjut istriku.
“Iya, mana sempetnya aja. Yang penting, jangan ganggu kegiatan di kantor. Tadi pak Edi kepala kamar ngewakili temen-temen nyampein terimakasih kiriman buat makan sahurnya. Banyak bener itu. Kayaknya semua puasa besok,” kataku lagi.
“Alhamdulillah. Itu memang rejeki kawan-kawan ayah di kamar. Allah sudah ngaturnya begitu. Yang nggak biasa puasa, ya jangan dipaksa. Yang penting semua sehat dan jadi sahabat,” kata istriku.
Tiba-tiba Ijal lewat di depan kamar mandi. Memberi isyarat untuk aku tidak bersuara. Ada petugas jaga yang sedang mengontrol kamar. Buru-buru ku matikan sambungan telepon.
Setelah menyiramkan air beberapa kali ke kloset, aku keluar kamar mandi. Petugas yang baru aplusan beberapa saat sebelumnya itu, tampak memandangiku. Ada kecurigaan dari tatapannya.
“Lama bener di kamar mandi? Sakit perut atau habis apa?” tanya dia.
“Sakit perut, pak!” sahutku pendek. Sambil naik ke tempat tidurku.
“Makanya, kalau mau nakal itu waktu masih muda. Jangan sudah tua baru masuk penjara. Susah jadinya,” ucap petugas itu lagi. Tanpa beban.
Tersengat aku dengan perkataannya. Ku tatap petugas yang berdiri berbatas jeruji besi itu. Ada perlawanan dibatinku. Tiba-tiba Joko menepuk-nepuk pahaku. Pelan. Meredamkan.
“Edi, ajak yang tua-tua ini keluar kalau malem. Biar ada hiburan. Nongkrong di depan kamar 1 sana. Jadi nggak sedikit-sedikit sakit,” ucap petugas sambil memandang Edi si kepala kamar.
“Siap, Dan!” sahut Edi yang langsung berdiri dan mendekat ke tempat petugas jaga itu berdiri.
Ku lihat Edi merogoh saku celana pendeknya. Dan sesaat kemudian, tangannya menyerahkan sesuatu ke tangan petugas yang memegangi jeruji besi. Petugas itu tersenyum. Sejurus kemudian, berbalik. Pergi. Kembali ke pos penjagaan.
“Pak Edi kasih berapa tadi?” tanyaku, begitu Edi duduk kembali ke tempatnya. Kepala kamar 10 itu memberi isyarat Rp 50.000.
“Besok ku ganti uangnya,” kataku. Edi mengangguk sambil tersenyum.
“Nggak usah jadi pikiran, Babe. Kelakuan petugas kayak tadi itu karena dia lagi buntu berat. Jangan-jangan rokok aja nggak punya, padahal tugas jaga sampai besok pagi,” sela Iyos. Juga sambil tersenyum.
Cerita diluaran bila tahanan bak sapi perah atau penambah pundi-pundi pendapatan petugas jaga, memang bukan sekadar kisah. Meski tidak semua petugas memperlakukan orang-orang bermasalah yang dijaganya, untuk menangguk seseran. Banyak bahkan memberi makanan dan perhatian ekstra. Semua kembali berpulang kepada individunya.
Tepat pukul 03.30 WIB, kami makan sahur. Semua penghuni kamar 10 dinihari itu berniat puasa sunah. Kebersamaan dalam kondisi penuh keterbatasan untuk tetap mendekat pada Tuhan, terasa lebih penuh makna. (bersambung)