Oleh, Dalem Tehang
SELEPAS solat Subuh berjamaah, ku rebahkan badan. Kembali mencoba memejamkan mata. Sambil menikmati semilir angin pagi yang menerobos jeruji besi. Menyapa seisi sel.
Terdengar sayup-sayup suara Aris mengaji. Pelan sekali. Duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Setiap membaca satu ayat, ia berhenti. Membaca artinya. Beberapa kali kepalanya mengangguk-angguk. Pertanda ia mencoba memahami tuturan tatanan kehidupan yang diciptakan Robbul Izzati. Tuhan pemilik langit dan bumi.
Kegiatan rutin apel pagi berlangsung singkat. Petugas jaga hanya berdiri di depan kamar. Memperhatikan jumlah penghuni kamar dan menyesuaikan dengan daftar nama di papan tulis yang ada di sudut pintu.
Namun, ketenangan pagi itu terusik dengan terdengarnya teriakan kesakitan dan jerit permintaan ampunan dari kamar 9. Diiringi suara gedebukan akibat pukulan dan tendangan. Seorang tahanan sedang menjadi pelampiasan amarah seorang petugas.
“Subhanallah,” desah Aris. Merasa terganggu konsentrasinya dalam mengaji.
Suara teriakan kesakitan itu kian menguat. Diiringi suara hantaman. Bahkan beberapa kali tembok pemisah kamar, berdentuman. Kami semua terdiam. Suasana menjadi sedikit mencekam.
Tidak selang lama, seorang petugas jaga dengan wajah penuh amarah tiba-tiba berdiri di depan kamar kami.
Matanya memerah. Tangannya memegang erat jeruji besi dengan bergetar. Wujud begitu menggilanya amarah yang tengah membakar kalbunya.
“Siapa di kamar ini yang kasus curanmor,” kata petugas itu dengan suara tinggi.
Arya bergegas berdiri sambil mengangkat tangannya.
“Siapa lagi?” kata petugas itu. Masih dengan nada tinggi.
“Cuma dia aja, pak!” ucap Edi, kepala kamar. Dengan suara setengah terbata.
Seakan tidak puas dengan jawaban Edi, petugas berbadan kekar itu melihat papan daftar nama penghuni kamar beserta pasal yang disangkakan.
“Keluar kamu. Aku baru ngejagal satu pelaku curanmor di kamar 9. Kabarnya banyak yang masuk sini,” kata petugas itu. Memerintahkan Arya keluar kamar.
Seorang tamping membukakan pintu kamar. Arya keluar. Berjongkok di depan pintu. Spontan kaki petugas itu bergerak. Brak!. Arya terpental. Bibirnya pecah. Darah segar mengalir.
“Kamu sudah metik motor berapa?” tanya petugas itu dengan geram.
“Sekitar 18 motor, pak!” jawab Arya sambil mengelap darah di bibirnya.
“Jangan bilang sekitar, pastiin berapa yang sudah kamu petik,” ucap petugas itu lagi. Tangannya bergerak cepat. Menampar wajah Arya.
“Iya, 18 motor, pak,” sahut Arya dengan suara menahan sakit.
Tangan kanan petugas itu kembali bergerak. Mengepal kencang. Menghantam dada Arya yang baru saja akan berdiri. Tubuh Arya terjerembab. Jatuh menghantam pintu kamar.
Spontan aku dan Aris berdiri. Mendekati Arya yang setengah sadar akibat hantaman petugas dan benturan dengan pintu kamar dari besi baja itu.
Kami angkat badan Arya. Masuk ke kamar. Ijal buru-buru memberi minum. Mengelap darah segar yang masih mengucur dari sudut bibirnya.
“Kalian berdua ini sok pahlawan ya? Mau coba-coba sama aku!” kata petugas itu sambil memandangku dan Aris.
“Jangan kelewatanlah, pak. Kami ini orang-orang bermasalah makanya ada disini. Tapi jangan anggap kami kayak binatang, bisa dikerjain semaunya,” kata Aris. Suaranya bergetar. Menahan amarah.
“O, jadi mau ngelawan? Begitu!” sergah petugas itu. Matanya melotot tajam ke arah Aris.
Tanpa sadar, aku buka kaos. Bertelanjang dada. Berjalan mendekati pintu sel.
“Kalau memang mau nyoba, buka baju dinas kamu. Masuk ke kamar sini. Kita bergulat,” tantangku pada petugas itu, dengan serius.
Petugas itu terdiam. Ku gerak-gerakkan kedua telapak tanganku. Memintanya masuk ke dalam kamar sel.
“Masuk kalau memang jagoan, pak!” kata Aris yang berdiri di belakangku.
Petugas itu masih terdiam. Tiba-tiba terdengar suara sepatu berjalan kencang ke arah kamar. Ternyata pak Rudy dan beberapa petugas lainnya.
“Ada apa ini?” tanya pak Rudy, komandan kompleks ruang tahanan titipan.
Ku minta Edi menjelaskan. Kepala kamar itu menyampaikan apa yang terjadi, termasuk yang dilakukan petugas itu di kamar 9.
Pak Rudy memerintahkan petugas itu kembali ke pos jaga. Dia juga memintaku memakai kaos yang tergeletak di lantai.
“Salah paham itu biasa, tapi jangan sampai terjadi baku hantam. Nanti sama-sama susah. Belajarlah untuk menguatkan kesabaran,” kata pak Rudy.
Aku dan Aris yang masih berdiri di pintu kamar, menganggukkan kepala. Edi meminta kami kembali duduk di tempat masing-masing.
“Inget, kita lagi puasa. Emang ada aja cobaannya,” kata Edi. Menenangkan.
Arya masih meringis kesakitan. Sesekali ia membasahi bibirnya yang pecah dengan ludahnya, dan masih mengalirkan darah. Walau hanya sesekali. (bersambung)